KONTAN.CO.ID - Memasuki tahun 2020 dan juga menengok yang terjadi tahun lalu, rasanya banyak orang akan sepakat satu tahun lebih belakangan ini adalah masa muram dunia investasi Indonesia. Pasalnya, ada sejumlah kasus penipuan (fraud) investasi dalam berbagai skala, yakni dari kecil hingga kelas kakap.Untuk menyebut dua kasus fenomenal adalah kasus penipuan perumahan syariah di Tangerang Selatan yang berhasil menipu 3.680 orang dengan total kerugian sementara Rp 40 miliar. Satu lagi yang berskala nasional bahkan internasional karena korbannya ada yang berasal dari Korea Selatan, yakni kasus produk bancassurance Asuransi Jiwasraya. Tidak tanggung-tanggung, jumlah kerugian kasus Jiwasraya hampir Rp 13 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah melansir ada kerugian negara di sana dan Kejaksaan Agung (Kejagung) pun telah menetapkan beberapa tersangka. Belum lagi yang terbaru, kasus investasi Memiles di Surabaya yang menipu ratusan investor hingga miliaran rupiah dan juga menjerat sejumlah selebritas sebagai endorser.Indonesia dan masyarakatnya seakan tak pernah belajar dari kasus-kasus finansial yang sudah ada. Padahal, program-program investasi berisiko yang bisa memiskinkan para nasabah dan investornya banyak bertebaran. Seperti diberitakan KONTAN pada 2014 misalnya, ada arisan Dua Belas Suku (DBS) di Jawa Timur yang menjamin investor mendapatkan pokok investasi plus imbal hasil 19% hanya dalam waktu tujuh hari setelah mereka mentransfer dana investasi. Ada juga investasi di peternakan bebek PT QSAR. Juga, kasus investasi emas PT Gold Bullion Indonesia (GBI) yang kemudian dinyatakan pailit dan pemiliknya berhasil melarikan diri.Tak urung, calon investor perlu waspada terhadap tawaran investasi yang beredar, apalagi di tengah kondisi dunia perekonomian global dan nasional yang masih muram saat ini. Nasabah bisa silau dan khilaf jika mendapatkan tawaran investasi dengan imbal hasil muluk. Padahal, alih-alih laba, investor justru mendapatkan kerugian yang akan membuat ludes tabungan masa depan mereka.Prinsip-prinsip investasi.Untuk itu, calon investor harus membekali diri dengan peranti memadai untuk menghindari perangkap investasi berisiko. Setidaknya ada empat prinsip bagi calon investor untuk membentengi diri mereka dari produk investasi berisiko. Pertama, jika suatu skema investasi terlalu muluk, memang demikianlah adanya. Tentu indah bisa memetik keuntungan berpuluh-puluh persen dari investasi. Apalagi, jika membandingkan dengan produk semisal deposito atau reksadana yang imbal hasilnya hanya 5%25% per tahun. Hanya saja, mengharapkan itu bagai mimpi di siang bolong. Menurut konglomerat George S. Clason dalam The Richest Man in Babylon (Plume, 1959), emas akan lari dari orang yang memaksanya untuk memberi penghasilan yang mustahil atau yang mengikuti bujukan mulut manis para penipu maupun pemimpi di siang bolong, atau yang tidak berpengalaman dan muluk-muluk dalam berinvestasi.Kedua, no pain, no gain. Tidak ada keuntungan berlipat ganda tanpa bekerja keras. Produk di luar deposito sekalipun pasti memiliki risiko. Produk yang diklaim aman seperti obligasi negara misalnya, apalagi obligasi swasta punya risiko gagal bayar (default). Sebagai contoh, pemerintah Yunani pernah gagal bayar kepada pemegang obligasi negaranya karena mengalami kebangkrutan. Apalagi produk reksadana berembel-embel terproteksi, potensi gagal bayarnya tentu jauh di atas obligasi. Patut diingat bahwa keuntungan hanya datang lewat mentalitas kerja keras, sikap hemat, dan kemauan belajar untuk memantau pergerakan investasi. Jadi, jika satu produk investasi menjanjikan imbal hasil besar tanpa memaksa investor bekerja keras, produk itu dijamin berisiko tinggi atau malah abal-abal. Ketiga, hindari investasi bermodel gali lubang tutup lubang.
Membentengi Diri dari Investasi RisikoTinggi
KONTAN.CO.ID - Memasuki tahun 2020 dan juga menengok yang terjadi tahun lalu, rasanya banyak orang akan sepakat satu tahun lebih belakangan ini adalah masa muram dunia investasi Indonesia. Pasalnya, ada sejumlah kasus penipuan (fraud) investasi dalam berbagai skala, yakni dari kecil hingga kelas kakap.Untuk menyebut dua kasus fenomenal adalah kasus penipuan perumahan syariah di Tangerang Selatan yang berhasil menipu 3.680 orang dengan total kerugian sementara Rp 40 miliar. Satu lagi yang berskala nasional bahkan internasional karena korbannya ada yang berasal dari Korea Selatan, yakni kasus produk bancassurance Asuransi Jiwasraya. Tidak tanggung-tanggung, jumlah kerugian kasus Jiwasraya hampir Rp 13 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah melansir ada kerugian negara di sana dan Kejaksaan Agung (Kejagung) pun telah menetapkan beberapa tersangka. Belum lagi yang terbaru, kasus investasi Memiles di Surabaya yang menipu ratusan investor hingga miliaran rupiah dan juga menjerat sejumlah selebritas sebagai endorser.Indonesia dan masyarakatnya seakan tak pernah belajar dari kasus-kasus finansial yang sudah ada. Padahal, program-program investasi berisiko yang bisa memiskinkan para nasabah dan investornya banyak bertebaran. Seperti diberitakan KONTAN pada 2014 misalnya, ada arisan Dua Belas Suku (DBS) di Jawa Timur yang menjamin investor mendapatkan pokok investasi plus imbal hasil 19% hanya dalam waktu tujuh hari setelah mereka mentransfer dana investasi. Ada juga investasi di peternakan bebek PT QSAR. Juga, kasus investasi emas PT Gold Bullion Indonesia (GBI) yang kemudian dinyatakan pailit dan pemiliknya berhasil melarikan diri.Tak urung, calon investor perlu waspada terhadap tawaran investasi yang beredar, apalagi di tengah kondisi dunia perekonomian global dan nasional yang masih muram saat ini. Nasabah bisa silau dan khilaf jika mendapatkan tawaran investasi dengan imbal hasil muluk. Padahal, alih-alih laba, investor justru mendapatkan kerugian yang akan membuat ludes tabungan masa depan mereka.Prinsip-prinsip investasi.Untuk itu, calon investor harus membekali diri dengan peranti memadai untuk menghindari perangkap investasi berisiko. Setidaknya ada empat prinsip bagi calon investor untuk membentengi diri mereka dari produk investasi berisiko. Pertama, jika suatu skema investasi terlalu muluk, memang demikianlah adanya. Tentu indah bisa memetik keuntungan berpuluh-puluh persen dari investasi. Apalagi, jika membandingkan dengan produk semisal deposito atau reksadana yang imbal hasilnya hanya 5%25% per tahun. Hanya saja, mengharapkan itu bagai mimpi di siang bolong. Menurut konglomerat George S. Clason dalam The Richest Man in Babylon (Plume, 1959), emas akan lari dari orang yang memaksanya untuk memberi penghasilan yang mustahil atau yang mengikuti bujukan mulut manis para penipu maupun pemimpi di siang bolong, atau yang tidak berpengalaman dan muluk-muluk dalam berinvestasi.Kedua, no pain, no gain. Tidak ada keuntungan berlipat ganda tanpa bekerja keras. Produk di luar deposito sekalipun pasti memiliki risiko. Produk yang diklaim aman seperti obligasi negara misalnya, apalagi obligasi swasta punya risiko gagal bayar (default). Sebagai contoh, pemerintah Yunani pernah gagal bayar kepada pemegang obligasi negaranya karena mengalami kebangkrutan. Apalagi produk reksadana berembel-embel terproteksi, potensi gagal bayarnya tentu jauh di atas obligasi. Patut diingat bahwa keuntungan hanya datang lewat mentalitas kerja keras, sikap hemat, dan kemauan belajar untuk memantau pergerakan investasi. Jadi, jika satu produk investasi menjanjikan imbal hasil besar tanpa memaksa investor bekerja keras, produk itu dijamin berisiko tinggi atau malah abal-abal. Ketiga, hindari investasi bermodel gali lubang tutup lubang.