Memberi sanksi akademik bagi koruptor



 
Patgulipat dari berbagai kasus korupsi memberikan pemahaman bahwa tidak ada efek jera selama ini yang bisa mereduksi perilaku korupsi. Bahkan, mahalnya biaya politik pilkada dari sistem demokrasi di republik ini juga menjadi kambing hitam dari maraknya kasus korupsi.
 
Bahkan, muncul juga wacana untuk mengembalikan ke model perwakilan seperti dulu. Selain itu, maraknya politik dinasi sebagai upaya melanggengkan kekuasaan juga disinyalir menjadi muara terjadinya korupsi. Ironisnya, tren kasus korupsi tidak lagi dilakukan sendiri tetapi juga berjamaah dan modus pengesahan penganggaran dalam APBD-APBN masih menjadi kasus yang mengemuka. Argumen yang mendasari karena adanya kepentingan antara eksekutif dan legislatif sehingga keduanya melakukan politik tawar menawar sesuai bargaining masing-masing.
 
Fakta saling sandera antara kepentingan eksekutif dan legislatif itulah yang akhirnya menguak terjadinya praktik korupsi berjamaah, tidak saja dalam kasus E-KTP tapi juga di Sumatra Utara karena 38 anggota DPRD periode 2009-2014 dan 2014-2019 menjadi tersangka terkait kasus mantan Gubernur Sumatera Utara yaitu Gatot Pujo Nugroho.
 
Modusnya adalah melancarkan empat agenda yaitu, pertama: pengesahan APBD 2014 dan 2015, kedua: penolakan penggunaan hak interpelasi DPRD Sumut pada 2015, ketiga: persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemprov Sumut 2012-2014 dan keempat: persetujuan perubahan APBD anggaran 2013-2014.
 
Kasus lainnya menjerat 18 anggota DPRD Malang dengan modus suap terkait pembahasan APBD-P Kota Malang anggaran 2015. Ironisnya, rentang waktu 2017 sampai triwulan I 2018 semakin banyak kepala daerah terjerat OTT KPK. Bahkan, ada diantaranya yang kini menjadi petahana.
 
Fakta maraknya korupsi di republik ini sejatinya menjadi titik nadir untuk mengambil tindakan tegas karena jerat hukum seolah tidak lagi mampu memberika efek jera. Selain itu, perlakuan istimewa kepada koruptor oleh peradilan dan negara secara tidak langsung juga memicu sentimen terhadap rasa ketidakadilan hukum.
 
Artinya, dalih sebagai negara hukum seolah hanya menjadi pemanis berita media sedangkan praktiknya sangat jauh dari harapan. Oleh karena itu ketidakadilan hukum ini menjadi tantangan bagi semuanya untuk membangun suatu sanksi yang bisa memberatkan hukuman bagi koruptor yang kemudian bisa berdampak sistemik terhadap efek jera secara berkelanjutan.
 
Membuat efek jera
 
Argumen yang mendasari karena perilaku korupsi yang kian marak telah memutus mata rantai kesejahteraan masyarakat. Paling tidak, realitas dari kemanfaatan keuntungan dari sisi ekonomi yang dinikmati seseorang melalui korupsi sejatinya telah mereduksi banyak aspek kesejahteraan yang seharusnya bisa dinikmati masyarakat. Di satu sisi, dana yang dikorupsi sejatinya adalah uang rakyat yang salah satunya disetor melalui pajak.
 
Di sisi lain taraf kesejahteraan dan fakta kemiskinan seharusnya menjadi perhatian yang utama bagi pejabat publik. Bukan justru sebaliknya mengeruk demi kepentingan pribadi yang kemudian memicu ancaman ketidaksejahteraan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, munculnya sejumlah tuntutan sanksi bagi koruptor menjadi menarik dicermati.
 
Selaras dengan tuntutan itu, setidaknya sudah ada sejumlah wacana sanksi yang muncul. Pertama: sanksi sosial. Pemahaman tentang sanksi sosial tidak hanya mengacu kepada individu pelaku korupsi tapi juga keluarga intinya sebagai bagian untuk dapat mereduksi niat korupsi selanjutnya. Argumen yang mendasari karena korupsi tersebut dimanfaatkan dan dinikmati oleh keluarga koruptor untuk gaya hidup dan meningkatkan kesejahteraan sementara mengebiri hak-hak hidup masyarakat yang lain.
 
Oleh karena itu sanksi sosial yang tidak hanya diberikan kepada pelaku tetapi juga keluarga utamanya menjadi sangat relevan untuk membangun pondasi demokrasi dalam jangka panjang. Kedua: sanksi akademik. Tidak bisa dipungkiri kini muncul wacana baru agar koruptor dicabut gelar akademiknya, disemua strata yang pernah diraihnya. Tentunya ini wacana baru yang sangat menarik dicermati.
 
Argumen yang mendasari karena perguruan tinggi asal si pelaku korupsi juga berkepentingan untuk menjaga nama baik almamater sebagai upaya mempertahankan reputasi perguruan tinggi. Tidak bisa dipungkiri meraih jenjang akademik adalah sulit sehingga peraihnya harus mempertahankan gelar itu. Bila gelar akademik menjadi ancaman terhadap dampak dari perilaku korupsi, termasuk juga misalnya dicabut oleh perguruan tinggi pemberinya maka tentu ini menjadi model baru yang bisa dipertimbangkan untuk mereduksi maraknya kasus korupsi di republik ini.
 
Ketiga: sanksi dimiskinkan. Betapa tidak, korupsi memang berdampak sistemik terhadap masyarakat apalagi dana yang dikorupsi juga berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat sehingga koruptor yang dimiskinkan adalah imbal balik dari dampak yang diciptakannya dari perilaku korupsi.
 
Setali tiga uang dengan sanksi pencabutan gelar akademik, maka sanksi dimiskinkan juga dirasa lebih mengacu keadilan, termasuk juga dampak terhadap keluarga utamanya agar tidak meniru perilaku korupsi.
 
Selain itu, politik dinasti yang ada juga sangat rentan memicu perilaku korupsi. Bahkan, terkuak juga kalau ada bapak dan anak yang sama-sama melakukan korupsi. Fakta ini benar-benar menjadi ironi dan korupsi seolah tidak ada lagi yang bisa memberi efek jera, termasuk ancaman hukuman berat sekalipun.
 
Keempat: sanksi demokrasi. Pencabutan hak politik koruptor melalui wacana melarang koruptor dipilih dan memilih juga menjadi penting karena muara dari korupsi tidak lain adalah mahalnya biaya politik dan demokrasi di republik ini. Oleh karena itu, mereduksi sedari dini niat korupsi harus juga dimulai dari muaranya yaitu mencabut hak politik pelaku korupsi. Setidaknya anggota keluarga utamanya akan berpikir ulang jika akan meniru korupsi.
 
Semua wacana diatas nampaknya masih menjadi perdebatan, apalagi jika sampai diundangkan karena masih banyak politisi yang terjerat ancaman hukuman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi