Sudah jadi pengetahuan umum, Indonesia adalah negara pengimpor daging sapi. Maklum, produksi dalam negeri tidak mampu menutup permintaan daging sapi yang terbilang cukup tinggi. Tahun ini, misalnya, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), prognosa produksi daging sapi hanya sekitar 354.770 ton. Padahal, perkiraan kebutuhan daging sepanjang 2017 mencapai 604.968 ton. Kondisi ini cukup meresahkan bagi Dharma Anjarrahman dan rekan-rekannya. Di satu sisi, permintaan daging sapi di dalam negeri cukup tinggi.
Tapi di sisi lain, banyak peternak yang kesulitan untuk membeli atau menggemukkan sapi gara-gara kekurangan biaya. Hidup kebanyakan peternak pun dirasa Dharma tidak sejahtera. Ketika mengunjungi peternakan di beberapa daerah, kondisinya cukup memprihatinkan. Banyak peternak yang sejatinya punya kandang yang bisa menampung puluhan ekor sapi. Tapi, mereka hanya memiliki beberapa ekor sapi. “Ada peternak yang kandangnya muat untuk 20 ekor sapi, tetapi cuma punya tiga ekor sapi sehingga kandangnya sering kosong,” ucap Dharma. Padahal sebetulnya, peternak mampu merawat atau menggemukkan sapi, namun tidak sanggup membelinya. Nah, Dharma melihat, sebenarnya banyak orang yang tertarik berinvestasi termasuk di dunia peternakan. Hanya, pilihan investasi yang ada di Indonesia tidak cocok dengan kebutuhan investor pemula. Anak-anak muda yang baru lulus kuliah atau baru punya penghasilan kerap bingung menemukan instrumen investasi yang pas. “Kalau mau beli properti, mereka harus menabung lama. Kalau beli produk reksadana, imbal hasilnya rata-rata 6,5% saja per tahun,” kata lulusan Universitas Telkom, Bandung, Jawa Barat, ini. Alhasil, Dharma yang memang bercita-cita jadi
social entrepreneur mempunyai ide untuk menjawab berbagai masalah tersebut lewat usaha rintisan yang ia bangun. Namanya: Vestifarm. Melalui Vestifarm, dia menyediakan platform
online yang menawarkan investasi di bidang peternakan. Dengan konsep patungan, uang yang terkumpul dari beberapa investor digunakan untuk membeli sapi. Seekor sapi dibagi menjadi enam
slot dan diperjualbelikan layaknya saham. “Investor bisa membeli minimal satu
slot,” terang Dharma, yang juga
Chief Executive Officer (CEO) Vestifarm. Dalam tempo lima bulan, investor sudah meraup imbal hasil dari investasi peternakan sapi ini. Ide merintis Vestifarm sejatinya sudah muncul tahun lalu. Tapi, baru awal tahun ini Dharma mewujudkan
start-up ini. Ia butuh enam bulan untuk meluncurkan Vestifarm. Selama enam bulan, dia dan teman-temannya mempersiapkan skema investasi, mengumpulkan peternak yang berkualitas, serta mengembangkan platform
online berbasis web untuk memudahkan para investor. Tepat 1 Januari 2017, untuk periode pertama, Vestifarm menawarkan 48
slot buat investasi sapi. Setelah semua
slot terjual, Vestifarm membeli sapi untuk digemukkan oleh peternak yang menjadi mitra. Dharma bercerita, para peternak memerlukan waktu empat bulan untuk menggemukkan sapi. Selanjutnya, Vestifarm butuh dua minggu untuk persiapan investasi dan paling lama dua pekan buat menjual sapi yang sudah lewat proses penggemukan. Dharma mengatakan, investor periode pertama sudah mengantongi imbal hasil sekitar 9% dalam kurun lima bulan saja. Dengan skema bagi hasil, investor dan Vestifarm mendapatkan keuntungan masing-masing sebesar 50%. Sementara para peternak yang bergabung di Vestifarm memperoleh penghasilan Rp 6 juta–Rp 7 juta. Asas transparansi Meski begitu, Dharma menyadari, banyak yang masih ragu menitipkan dananya untuk dikembangkan di bisnis peternakan. Untuk itu, pria kelahiran Samarinda, 24 tahun yang lalu ini pun menerapkan asas transparansi agar para investor percaya kepada Vestifarm. Masing-masing investor menerima surat kepemilikan ternak. Selain itu, tiap pemodal mendapat laporan bulanan yang isinya perkembangan kondisi sapi yang tengah digemukkan, termasuk foto hewan ini. Tidak hanya kabar manis soal kenaikan berat sapi yang dirawat peternak, Dharma bilang, Vestifarm juga menyertakan laporan bila mengalami kendala riil di peternakan. Investor maupun calon investor pun bisa mengunjungi peternakan kalau ingin melihat langsung proses penggemukan sapi. Untuk risiko kematian, Vestifarm memproteksi sapi-sapi di peternakan melalui asuransi dari PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo). Dus, bila ada sapi yang mati, Asuransi Jasindo bakal mengganti sebesar 85% dari harga jual sapi. Nilai itu yang bakal dibagi-bagi antara investor dan Vestifarm. Dharma juga membangun komunikasi dengan para investor. Ia mengingatkan potensi kehilangan uang layaknya instrumen investasi lain. “Prinsipnya, investor harus siap untung tapi harus siap rugi juga, karena kami bukan bank yang menawarkan imbal hasil deposito yang tetap,” ucapnya. Sejauh ini, Vestifarm sudah membuka empat periode investasi penggemukan sapi. Pada Maret, mereka menawarkan kembali investasi penggemukan sapi berjumlah 120
slot. Tak hanya sapi, Vestifarm juga berkembang dengan penawaran investasi tambak udang. Ada 1.200
slot yang ditawarkan untuk investasi udang pada Mei lalu. Lalu di Juli, Vestifarm kembali menawarkan 400
slot investasi udang. Dus secara total, Vestifarm sudah mengumpulkan dana hampir Rp 6 miliar dari empat periode investasi tersebut, baik dari penggemukan sapi maupun udang. Untuk investasi udang, imbal hasil yang ditawarkan lebih besar lagi, berkisar 13%–24% dalam lima bulan. “Tapi, risikonya juga cukup tinggi karena belum ada asuransi untuk tambak udang,” tegas Dharma. Untuk tiap periode investasi, Dharma menambahkan, akad yang ditawarkan kepada investor bisa berubah. Dalam investasi udang, Vestifarm menarik biaya layanan untuk tiap
slot investasi sebesar 15% dari nilai investasi. Kemudian, keuntungan dari tambak udang dibagi masing-masing 50% untuk investor dan petambak. Butuh regulasi Hanya secara resmi, Vestifarm belum terdaftar di lembaga keuangan pemerintah. Soalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator belum menyediakan aturan main untuk skema
crowd-investing seperti yang dilakukan Vestifarm. Toh, Dharma mengaku, dirinya kerap berkoordinasi sama OJK, agar pemerintah menyadari keberadaan Vestifarm dan menyiapkan aturan guna mengembangkan
startup ini. Yang jelas, Dharma melanjutkan, ketiadaan regulasi menghalangi investor dari luar negeri untuk bergabung dengan Vestifarm. Menurut dia, banyak warga Indonesia yang tinggal di negara lain tertarik menanamkan dana di investasi peternakan seperti yang ditawarkan Vestifarm. “Ada TKI di Hong Kong dan Arab Saudi yang mau jadi investor, tapi kami masih terkendala dari sisi platform pembayaran untuk investor dari luar negeri,” tuturnya. Sebetulnya, sejak setahun lalu OJK sudah menyadari potensi teknologi finansial (tekfin) dan mengajak partisipasi industri ini untuk mendaftarkan diri. Tapi sampai sekarang, baru tekfin sektor
peer to peer (P2P)
lending alias peminjaman uang yang sudah punya ketentuan: POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Langsung Berbasis Teknologi Informasi. Meski belum terdaftar, Dharma mengungkapkan, banyak perusahaan modal ventura yang berniat mengucurkan dana untuk pengembangan Vestifarm. “Kami belum mendapat pendanaan karena belum menemukan mitra yang se-visi dengan
startup ini,” sebut dia.
Sejak merintis perusahaan ini, Dharma dan rekan-rekannya menggelontor dana lebih dari Rp 100 juta untuk modal. Sebagian besar uang yang berasal dari kantong sendiri alias
boothstrapping tersebut digunakan untuk menggaji tim yang ada di Vestifarm. Rencananya, ia bakal mengembangkan Vestifarm dengan merekrut setidaknya 50 peternak dan petambak baru hingga akhir tahun. Siapa mau bergabung menjadi investor Vestifarm? Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: S.S. Kurniawan