Membidik obligasi berimbal hasil tinggi



Jakarta. April 2013 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,1%. Meski demikian, jika dihitung sejak awal tahun, inflasi telah mencapai 2,32% atawa tertinggi sejak lima tahun terakhir. Adapun jika kita hitung dalam periode setahun terakhir, inflasi malah sudah mencapai 5,57%. Padahal, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) mematok: inflasi tahun ini ada di kisaran 4,5% plus minus 1%.Masalahnya, tekanan inflasi belum akan berakhir. Sikap pemerintah yang plin-plan soal harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi membuat harga barang terlanjur melambung, jauh sebelum kebijakan itu diputuskan. Belum lagi jika kita bicara soal inflasi musiman yang datang setiap Ramadan, Hari Raya Idul Fitri, dan akhir tahun.Nah, ancaman inflasi tinggi yang ada di depan mata itu layak membuat para investor yang menyimpan obligasi cemas. Sebab, orang sering bilang, inflasi adalah musuh investor obligasi. Inflasi tinggi bisa memicu kenaikan bunga acuan. Tahap selanjutnya, harga obligasi akan turun karena para investor obligasi menuntut imbal hasil (yield) yang lebih tinggi.Tapi jangan ciut nyali dulu. Para analis, tampaknya, masih kalem menghadapi kondisi ini. Mereka bilang, masih terlalu dini bicara soal perubahan kebijakan moneter bank sentral, terutama soal suku bunga acuan. Sebab, BI masih memiliki berbagai instrumen sebelum menaikkan BI rate. Misalnya, dengan mengotak-atik suku bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FasBI). Bank sentral juga bisa menaikkan persentase giro wajib minimum (GWM) bank.Kalaupun pemerintah, akhirnya, menaikkan harga BBM, Direktur Utama Bahana Securities Eko Yuliantoro memprediksi, dampaknya terhadap suku bunga acuan tidak akan berlebihan. “BI rate naik itu mungkin, tetapi tidak akan berlebihan. Pemerintah pasti bakal menjaga tingkat bunga agar tetap menarik, bukan?” ujarnya.Lagipula, Indonesia masih dianggap sebagai surga investasi di pasar keuangan. Real interest rate, atawa selisih suku bunga nominal dengan inflasi, masih positif. Dalam kondisi ini, kupon obligasi yang dijajakan pasti masih akan bisa mengalahkan inflasi.Tak heran jika kemudian dana asing menyerbu masuk ke Indonesia. Khusus di surat berharga negara (SBN) saja, nilai kepemilikan asing per 16 Mei 2013 mencapai Rp 306,60 triliun. Sebagai perbandingan, pada 16 Mei tahun lalu, asing hanya memiliki SBN Rp 225,61 triliun.Pilihan obligasi baruArtinya, prospek investasi obligasi masih cerah, dong? Eko bilang, asalkan likuiditas atau dana masih membanjir, prospek investasi obligasi tetap akan bagus. Buktinya, selama ini, surat utang yang beredar selalu terserap dengan baik.Ini berarti belum telat jika Anda masuk pasar obligasi sekarang. Kebetulan, belakangan, banyak perusahaan, termasuk perusahaan publik, mencari dana di pasar utang.Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), nilai emisi obligasi korporasi yang sudah tercatat hingga 10 Mei 2013 mencapai Rp 22,03 triliun. Nah, untuk sisa tahun 2013 ini, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) sudah menerima proposal pemeringkatan obligasi dari 33 emiten. Total nilainya mencapai Rp 29,38 triliun.Seperti biasa, penerbitan obligasi korporasi didominasi oleh sektor finansial, baik perusahaan pembiayaan maupun bank. Sebagian lagi berasal dari perusahaan properti, perusahaan industri berbasis kayu dan perkebunan, serta infrastruktur.Analis obligasi Danareksa Sekuritas Yudistira Slamet bilang, investor akan memiliki pilihan obligasi yang lebih bervariasi. Pasalnya, profil penerbit obligasi kian beragam. “Yang pasti, memang penerbitan obligasi masih akan marak tahun ini. Investor tinggal pandai-pandai memilih yang prospektif saja,” ujar Yudistira.Nah, berikut ini KONTAN menyuguhkan analisis obligasi terbitan beberapa korporasi. Simak ulasannya.ROTIPT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI) berniat menerbitkan obligasi berkelanjutan senilai Rp 1 triliun. Namun, untuk tahap pertama di tahun ini, nilai obligasi akan diterbitkan baru sekitar Rp 500 miliar. Tahap berikutnya, senilai Rp 500 miliar, akan dilepas tahun depan.Pefindo telah memberi peringkat (rating) idAA- untuk surat utang ROTI ini. Perusahaan pemeringkat efek itu menyebut, rating tersebut salah satunya mencerminkan posisi ROTI yang kuat di bisnis roti. Dengan delapan pabrik, 24 lini produksi, dan total kapasitas terpasang lebih dari tiga juta potong roti per hari, ROTI mendominasi industri dengan pangsa pasar mencapai sekitar 90%.Jurubicara ROTI Stephen Orlando menyebut, obligasi yang jatuh tempo tahun 2018 ini menawarkan kupon 7,75%–8,5% per tahun. Sebagai perbandingan, dengan tenor dan peringkat utang yang sama, Desember tahun lalu, PT AKR Corporindo (AKRA) menawarkan kupon obligasi 8,4%. Kalau dilihat dari sini, analis obligasi Securities I Made Adi Saputra menilai, boleh jadi kupon yang akan diberikan ROTI juga tidak akan terlalu jauh dari kisaran 8,4%.Rencananya, ROTI akan mengalokasikan sekitar 56% dana obligasi itu untuk dana pembangunan pabrik baru. ROTI berencana membangun tiga pabrik baru di Cikande, Purwakarta, dan Pasuruan. Ketiganya diharapkan beroperasi akhir 2013. Dalam keterbukaan informasinya ke bursa, manajemen perseroan ini menyebut, nilai investasi satu pabrik bervariasi, antara Rp 100 miliar hingga Rp 200 miliar.Nah, ROTI menargetkan, ketiga pabrik ini bisa mendongkrak kapasitas produksi ROTI menjadi dua kali lipat dari posisi saat ini yang sebanyak tiga juta roti per hari. “Sebelum pabrik-pabrik tersebut beroperasi, obligasi ini bakal menggerus earning perusahaan. Setelah produksi maksimal, baru akan menunjang kinerja perusahaan,” kata I Made Adi Saputra, analis obligasi NC Securities.Selain untuk ekspansi, 44% dana obligasi akan digunakan untuk membayar utang kepada Bank Central Asia senilai Rp 280 miliar. Utang berbunga 8,25% per tahun yang akan dibayar tersebut jatuh tempo pada 2 November 2017. Setelah emisi obligasi, Pefindo memperkirakan, rasio utang terhadap ekuitas (DER) ROTI tetap terjaga di sekitar 1,1 kali tahun ini.Cuma, Made menyarankan agar investor menyimpan obligasi ROTI untuk investasi jangka panjang. Pasalnya, kinerja obligasi milik ROTI belum terlihat di secondary market. Maklum, ini memang kali pertama Nippon Indosari menerbitkan obligasi. “Likuiditasnya belum terlihat karena masih nama baru di pasar, meski secara fundamental, ROTI adalah perusahaan yang bagus,” ujar Made.LTLSPT Lautan Luas Tbk (LTLS) juga menawarkan obligasi berkelanjutan dengan total nilai Rp 1,2 triliun. Untuk tahap pertama tahun ini, emiten yang bergerak di bidang usaha distribusi dan manufaktur bahan kimia dasar tersebut menerbitkan surat utang senilai Rp 700 miliar. Tahun depan, LTLS akan kembali merilis obligasi tahap II senilai Rp 500 miliar.Obligasi tahap pertama terbagi dalam dua seri. Seri A yang bertenor lima tahun menjanjikan estimasi kupon 9,18%–9,9% per tahun. Sedangkan, seri B dengan tenor tujuh tahun memberikan kupon 9,5%–10,2% setahun. Operations & Support Director LTLS Herman Santoso bilang, obligasi tenor tujuh tahun sengaja diterbitkan untuk menarik minat investor.Pefindo mengganjar obligasi LTLS dengan peringkat “idA-” dan outlook stabil. Rating ini mencerminkan target pasar dan produk perseroan ini yang terdiversifikasi dan operasional yang terintegrasi dengan baik.Jika berminat membeli, penjamin emisi penerbitan obligasi ini adalah Bahana Securities dan BCA Sekuritas. Masa penawaran awal obligasi berkelanjutan tahap I berlangsung 17 Mei–30 Mei 2013. “Emiten sektor ini cukup menarik dan peluang pasarnya terbuka luas. Respons pasar bakal baik, mengingat bisnis LTLS sendiri berjalan solid,” terang Eko.Catatan saja, dana hasil penerbitan obligasi itu seluruhnya akan dipergunakan untuk membayar utang kepada sejumlah bank yang jatuh tempo 2013–2014. Di antaranya utang ke Bank CIMB Niaga, OCBC NISP, BII, dan Bank DBS Indonesia. Tingkat bunga pinjaman ini berkisar antara 7,25%–8,49%.Analis Millenium Danatama Asset Management Desmon Silitonga menilai, obligasi ini berisiko tinggi. Soalnya, peruntukan dananya digunakan untuk membayar utang. Sementara, DER LTLS sendiri telah mencapai 2,7 kali di kuartal pertama ini.Tak heran, apabila kupon yang dipasang lebih tinggi sekitar 200 basis poin (bps) dari obligasi bertenor sama. Investor sudah pasti akan meminta kupon lebih tinggi karena risikonya pun tinggi. “LTLS juga menggunakan strategi dua tahap, ini lantaran mereka tidak yakin obligasinya akan terserap optimal,” pungka Desmon.Agak berbeda, Head of Investment PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri Deni Hamzah memperkirakan, obligasi ini masih punya cukup banyak peminat karena prospek bisnisnya yang bagus. “Cuma dia agak terpengaruh fluktuasi nilai tukar karena bahan bakunya ada yang dari luar,” kata Deni.APLNPengembang kawasan terpadu PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) bakal menerbitkan obligasi berkelanjutan tahap I senilai Rp 1,2 triliun. Indikasi kupon surat utang ini adalah antara 8,25% - 9,25% per tahun, dengan tenor lima tahun.Rencananya, 42% duit obligasi atau Rp 500 miliar akan APLN gunakan untuk membayar sebagian pinjaman sindikasi. Per 31 Maret 2013, perusahaan ini memiliki utang sindikasi ke Bank BNI, BII, dan Bank CIMB Niaga senilai Rp 600 miliar. Pinjaman yang jatuh tempo Juli 2014 itu berbunga 10,5% per tahun.Selain itu, APLN akan memakai sekitar 58% lagi untuk pengembangan proyek properti di beberapa tempat. Di antaranya Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Bali. Wakil Direktur Utama II APLN Indra Wijaya bilang, tahun ini, APLN mengincar membangun tiga hingga lima proyek properti baru lagi. Ini tidak termasuk tiga proyek yang sudah berjalan. “Hasil obligasi bakal membantu pengembangan proyek dan akuisisi lahan baru,” terang dia.Dalam catatan Made, kupon obligasi APLN kali ini lebih rendah ketimbang sebelumnya. Pada 2011, APLN menerbitkan obligasi bertenor tiga dan lima tahun dengan kupon masing-masing 10% dan 11%. Tahun lalu, Agung Podomoro kembali merilis obligasi bertenor 5 tahun dengan kupon 9,375%. Namun, ini terbilang wajar mengingat di pasar sekunder, imbal hasil obligasi 2012 milik perseroan ini sudah di bawah 9%.Hari B. Mantoro, Direktur Utama HSBC Securities Indonesia, sebagai penjamin emisi obligasi ini, berpromosi, kupon yang ditawarkan APLN cukup menarik. Apalagi, aset tetap APLN yang dijaminkan mencapai 100%. Dus, dia optimistis, obligasi ini akan laris manis menarik minat investor. “Kupon itu cukup menarik untuk instrumen investasi yang risikonya cukup rendah,” tutur Hari.Yudistira yakin, emiten sektor infrastruktur dan properti akan menorehkan prestasi tahun ini. Makanya, instrumen investasi yang ditawarkan pun akan laris. “Appetite investor di sektor ini masih tinggi,” imbuh dia.Desmon juga menilai surat utang APLN prospektif dan menarik untuk koleksi. Alasannya, kinerja bisnis dan keuangan perseroan properti ini cukup cemerlang. “Ini menarik. Toh, cash flow APLN masih cukup bagus dan net gearing-nya juga masih rendah,” ungkapnya.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 35 - XVII, 2013 Obligasi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Imanuel Alexander