Membikin produk unik dari bahan limbah plastik



Memproduksi produk fesyen dari bahan limbah plastik mendatangkan laba cukup menggiurkan. Bahan bakunya melimpah, tak cuma sampah bekas kemasan produk, tapi juga billboard cetak bekas iklan. Pembeli asing menggemari produk ini. Mengolah barang bekas menjadi produk yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari memang sudah dilakukan oleh banyak orang. Tapi, tidak banyak orang yang mampu menyulap limbah itu menjadi produk unik yang memiliki nilai jual tinggi. Menariknya, selain sampah kemasan plastik, kini, para pengolah bahan bekas itu juga mulai memakai bahan baku lembaran cetakan billboard. Adalah Beike Van Den Broek dan Karen Isdaryono yang merintis pemakaian billboard sebagai bahan baku. Pada pertengahan 2008, keduanya memutuskan masuk ke bisnis pengolahan sampah lembaran cetak digital dan kemudian menyulapnya menjadi produk fesyen bernilai tinggi. Filosofi utama mereka adalah memanfaatkan sampah plastik yang tidak dapat busuk begitu saja di dalam tanah. Selain turut menjaga lingkungan, aksi Beike dan Karen ini juga mendatangkan nilai ekonomi. Lewat perusahaan bernama Dyrt Design, Beike dan Karen memproduksi aneka produk berbahan sampah billboard. Di antaranya adalah tas, keranjang, hingga peralatan kantor bermerek Dyrt. Business Development Director Dyrt Indonesia Beike Van Den Broek menjelaskan, nama Dyrt diambil dari kata dirty (kotor). Mereka sengaja memilih kata itu untuk menjelaskan bahwa jika diolah secara inovatif, sesuatu yang kotor bisa menjadi produk unik. Dalam bahasa Norwegia, dyrt juga berarti mahal. “Kami ingin menunjukkan bahwa Dyrt Design mampu menciptakan produk bernilai tinggi,” tandas Beike.Dalam sebulan, Dyrt mampu memproduksi sekitar 100 hingga 200 unit produk fesyen berlapiskan potongan lembaran billboard seperti tas laptop, dompet, produk interior rumah serta perkantoran, alat olahraga, hingga produk fesyen bagi anak-anak dan dewasa. Hampir semua produk Dyrt selalu terjual habis. Pembelinya berasal dari pasar domestik dan luar negeri. “Sekitar 60% produk kami ekspor ke berbagai negara. Sisanya diserap pasar lokal,” kata Asisten Manajer Dyrt Sekar Ayu Saraswati.

Dyrt sudah mengekspor produknya ke Eropa, Australia, Selandia Baru, dan Singapura. Belakangan ini, mereka juga sedang menjajaki pasar Amerika Serikat dan Jepang. Dyrt menjual pula barangnya di toko buku Aksara dan Alun-alun Indonesia, Grand Indonesia. Produk Dyrt digarap oleh para tenaga profesional dari perusahaan rumahan di Bogor dan Jakarta. Tak heran, harga produk Dyrt cukup mahal, mulai Rp 25.000 hingga Rp 375.000 per unit. Kalau dihitung-hitung, dalam sebulan, omzet Dyrt bisa mencapai sekitar Rp 300 juta. Selain Dyrt, Plastic Works juga rutin mengekspor 70% aneka produk olahan sampah plastik seperti tote bag, tas laptop, koper mini, sandal, travel wallet, gorden mandi, serta map folder ke Amerika, Belanda, Inggris, Australia, Singapura, dan Jerman. “Segmen pasar kami adalah kalangan menengah ke atas,” ungkap Aswin Aditya, pemilik usaha Plastic Works. Aswin menjual produknya dengan harga Rp 25.000 hingga Rp 350.000 per unit. Setiap bulan, Plastic Works menerima banyak permintaan dari sejumlah negara. Bahkan, mereka sampai kewalahan memenuhinya. Rata-rata, sekali memesan, permintaan pembeli sekitar 1.500 item hingga 3.000 unit. “Sebagian besar permintaan datang dari green organization seperti A Lot To Say dari Inggris,” ungkap Aswin. Jika sudah sampai di luar negeri, harga produk itu melonjak drastis. “Tas laptop yang biasa saya jual Rp 350.000, di sana bisa sampai € 46,” tutur Aswin. Bahan baku melimpahBisnis pengolahan sampah plastik ini seolah tak pernah kekurangan bahan baku. Toh, meski bahan limbah melimpah, baik Dyrt maupun Plastic Works memilih membangun jaringan pemasok sendiri yang secara rutin akan memasok bahan baku kepada mereka. Dyrt, misalnya, menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan, seperti Rainbow Outdoor Advertising, Nindotama Kharisma, Citibank, dan HSBC. Kerjasama ini bersifat saling menguntungkan. Beberapa perusahaan periklanan memberikan sampah billboard itu sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan. “Kami berkomitmen dengan menandatangani surat perjanjian untuk tidak menyalahgunakan digital print bekas itu,” kata Beike. Langkah agak berbeda diambil Aswin. Ia memilih mengambil pasokan bahan baku usahanya dari pemulung. Ia bahkan berani membeli sampah plastik itu sedikit di atas harga standar. “Saya beli Rp 2.000 per kilogram (kg),” ungkapnya. Menurut Aswin, banner ukuran 40 m x 2 m bisa dirangkai menjadi satu tas laptop, sedangkan banner ukuran 40 m x 30 m cukup untuk membuat empat tote bag. “Memang, modal awalnya tidak seberapa,” tambahnya. Selain memenuhi pesanan ekspor, Aswin menjual produknya ke reseller, pemakai langsung, maupun perusahaan. “Biasanya, perusahaan memesan khusus dengan bahan yang ada logo mereka,” ungkapnya. Semua pesanan itu datang hanya berdasarkan informasi dari mulut ke mulut.Khusus untuk pemesanan dalam jumlah banyak, Aswin memasang harga Rp 30.000-Rp 100.000 per unit. Tak heran, dalam sebulan, Plastic Works bisa meraup omzet Rp 20 juta sampai Rp 60 juta. Adapun total produk yang terjual mencapai 500 sampai 1.000 item. Produk Dyrt banyak memikat pembeli asing, khususnya perusahaan. “Peminatnya selalu ada,” kata Sekar. Maklum, beberapa perusahaan sengaja memanfaatkan produk berbahan limbah plastik ini untuk menunjukkan kepedulian mereka kepada lingkungan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi