Memburu aktor intelektual skandal Century



JAKARTA. Ketika sebagian masyarakat dan pejabat negara menikmati libur kerja di hari Sabtu, Wakil Presiden (Wapres) Boediono justru ‘menikmati’ suasana sebaliknya.

Sabtu (23/11/2013), orang nomor dua di Indonesia itu harus menjalani pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait masalah bail out Bank Century.

Meski sempat samar-samar kebenaran kabar Wapres diperiksa KPK pada Sabtu kemarin, namun akhirnya wartawan mendapat kepastian tersebut dari mulut Boediono sendiri.


Dalam sebuah konferensi pers di Istana Wapres, Jakarta, pada Sabtu kemarin pukul 19.00 WIB, Boediono akhirnya mengakui bahwa dirinya telah menjalani pemeriksaan KPK.

Boediono mengaku diperiksa penyidik KPK selama lebih dari tujuh jam. Ia diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada tahun 2008.

Pemeriksaan Boediono oleh KPK ini, hanya berselang delapan hari setelah lembaga anti rasuah itu menahan Mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya dalam statusnya sebagai tersangka kasus ini.

Untuk itulah, Boediono dimintai keterangan KPK sebagai saksi Budi Mulya. Pemeriksaan yang berlangsung di Kantor Wapres itu dimulai pukul 10.00 WIB hingga 18.00 WIB.

"KPK membutuhkan keterangan saya sebagai saksi dalam masalah Bank Century," tutur Boediono dalam konferensi pers di Kantor Wapres, Sabtu malam (23/11). Boediono mengatakan, ia bersedia diperiksa KPK, karena itu merupakan kewajibannya sebagai warga negara yang berkedudukan sama di mata hukum.

Wapres mengaku mendapat banyak pertanyaan selama pemeriksaan tersebut. Namun, ia tidak mau membeberkan isi pemeriksaan, dengan dalih hal itu merupakan kewenangan KPK.

"Saat ini, saya belum dapat menyampaikan secara terperinci kepada publik, apa-apa saja yang saya sampaikan kepada KPK, karena itu dapat menganggu jalannya penyidikan," imbuh dia.

Boediono bilang, ia telah memberikan keterangan sebanyak-banyaknya kepada KPK tentang keputusan pemberian dana talangan (bail out) kepada Bank Century yang berdampak sistemik.

Keputusan pemerintah memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik terjadi pada 2008.

Kronologi pemberian FPJP

KONTAN mencatat, keputusan pemberian FPJP itu dilakukan lantaran pada tahun tersebut Bank Century mengalami gejolak likuiditas.

Beberapa nasabah besar menarik dana yang disimpan di bank besutan Robert Tantular itu, sehingga Bank Century mengalami kesulitan likuiditas.

Sejumlah nasabah kakap yang menyimpan dananya di Century, antara lain, Budi Sampoerna, PT Timah Tbk, dan PT Jamsostek.

Namun, pada 1 Oktober 2008, Budi Sampoerna tak dapat menarik uangnya yang mencapai Rp 2 triliun di Bank Century.

Gejolak likuiditas tersebut tercium oleh BI. Pada 13 November 2008, Gubernur BI ketika itu, Boediono, membenarkan Bank Century kalah kliring atau tidak bisa membayar dana permintaan dari nasabah sehingga terjadi rush.

Kemudian, Bank Indonesia menggelar rapat konsulitasi melalui telekonferensi dengan Menteri Keungan Sri Mulyani, yang tengah mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang G-20 di Washington, Amerika Serikat. Menyadari kesulitan likuiditas, pada 14 November 2008, Bank Century mengajukan permohonan fasilitas pendanaan darurat dengan alasan sulit mendapat pendanaan.

Setelah itu, pada 21 November 2008, keputusan penyelamatan itu dilakukan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang dipimpin Sri Mulyani sebagai ketua.

Dalam rapat tersebut, Bank Indonesia melalui data per 31 Oktober 2008 mengumumkan bahwa rasio kecukupan modal atau CAR Bank Century minus hingga 3,52%.

Perubahan PBI

Namun, Century akhirnya bisa mendapat FPJP karena adanya perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 10/26/PBI/2008 mengenai persyaratan pemberian FPJP dari semula dengan CAR 8% menjadi CAR positif.

Diputuskan, guna menambah kebutuhan modal untuk menaikkan CAR menjadi 8% adalah sebesar Rp 630 miliar.

Selepas pemberian FPJP, Century akhirnya ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik dan mendapat dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun.

Kala itu, dengan mengacu pada Perpu No 4 tahun 2008, rapat yang dihadiri Boediono, Sekretaris KSSK Raden Pardede, Komisioner LPS Anggito Abimanyu, memutuskan Bank Century Sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Kucuran dana talangan kepada Century dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama, Century menerima bail out sebesar Rp 2,7 triliun pada 23 November 2008.

Tahap kedua, pada 5 Desember 2008 sebesar Rp 2,2 triliun. Tahap ketiga, pada 3 Februari 2009 sebesar Rp 1,1 triliun. Tahan keempat, pada 24 Juli 2009 sebesar Rp 630 miliar.

Kepada wartawan, Boediono menyatakan, penyelamatan Bank Century mulanya memiliki tujuan mulia, yakni menghindari bangsa dari ancaman krisis ekonomi dan perbankan saat itu.

Sebab, kata Boediono, satu-satunya cara menyelamatkan perbankan Indonesia dari kebangkrutan dan menimbulkan dampak sistemik adalah memberikan  FPJP.

Dalam mengambil keputusan itu, Boediono mengaku didasarkan dengan hati bersih dan tulus dalam mencari jalan terbaik untuk mengatasi krisis yang mengancam Indonesia.

"Jadi bila dalam upaya yang mulia ini, ada pihak-pihak yang mempergunakan, menyalahgunakan, ini sebenarnya sangat menyakitkan kita semua," tutur Boediono.

Boediono tidak menampik, keputusan pemberian FPJP kepada Bank Century adalah wewenang penuh BI yang waktu itu dipimpinnya.

Namun, kata dia, pengaturan pemberian FPJP juga diatur melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Berdasarkan Undang-Undang, BI berwenang penuh menetapkan atau mengubah PBI untuk menyalurkan FPJP.

Menurut Boediono, kondisi Bank Century kala itu memburuk dan butuh langkah penyelamatan melalui penyertaan modal sementara oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Pun begitu, di mata Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy menilai, Boediono sebagai mantan Gubernur BI ketika itu, dinilai turut bertanggungjawab dalam kebijakan FPJP.

"Gubernur BI, dalam hal ini Boediono mengubah dua peraturan. Pertama, dia mengubah PBI, yang kedua kemudian berdasarkan perubahan PBI itu dia memberikan FPJP," kata Ichsan yang menjadi saksi ahli kasus Century di Kantor KPK, Jakarta, Rabu (20/11/2013).

Meski demikian, lanjut Ichsan, ketika Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal berdampak sistemik yang kemudian mendapat dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun, Boediono bukan merupakan pelaku utama melainkan hanya turut serta.

"Dalam dana talangan Rp 6,7 triliun, Gubernur BI bukan pelaku utama. Dia cuma turut serta melakukan. Sedangkan di FPJP, dia pelaku utama bersama dengan Budi Mulya. Begitu terseretnya Budi Mulya," tandas Ichsan.

Sedangkan dalam keputusan pemberian FPJP, Ichsan bilang, merupakan keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia.

Dengan demikian, keputusan tersebut bukan tanggung jawab Budi Mulya yang kala itu menjabat sebagai Deputi Bidang Pengelolaan Moneter Devisa Bank Indonesia.

Bukan bank berdampak sistemik

Yang menarik, mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla, membantah bahwa Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik.

Kalla menjelaskan, sehari sebelum rapat putusan tersebut tepatnya tanggal 20 November 2008, dirinya menggelar rapat bersama dengan Sri Mulyani yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Boediono yang kala itu menjabat sebagai Gubernur BI,

Menurutnya, dirinya bersama dengan Sri Mulyani dan Boediono sepakat bahwa tidak ada bank yang bermasalah dan tidak ada krisis ekonomi.

"Tidak ada itu. Semua aman. Satu per satu. Tapi, beberapa jam kemudian mereka rapat di keuangan dan subuh memutuskan adanya gagal sistemik satu bank yang membahayakan," ungkap Kalla kepada wartawan usai merampungkan pemeriksaan oleh tim penyidik KPK, di Kantor KPK, Jakarta, Kamis (21/11).

Kalla mengaku, dirinya tidak dilibatkan dalam rapat KSSK pada tanggal 21 November 2008 yang memutuskan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Pada tanggal 25 November 2008 malam, Kalla mengaku baru diberi tahu oleh Sri Mulyani dan Boediono bahwa sudah ada rapat dan uang bail out Century sudah dikucurkan.

Menurut Kalla, dirinya menerima laporan bahwa masalah Bank Century adalah karena perampokan oleh pembelinya.

Indikasi perampokan, ujar Kalla, karena Century yang gagalnya Rp 630 miliar dan disetujui KSSK untuk ditalangi, namun tiga hari kemudian dana talangan menjadi sebesar Rp 2,5 triliun.

"Gagalnya Rp 630 miliar, tetapi lewat tiga hari dibayarnya Rp 2,5 triliun. Aneh lah," pungkas Kalla.

Kepada tim pengawas Century DPR, Kalla juga pernah bilang, pengucuran bailout tidak transparan karena tidak diberitahukan terlebih dulu kepada Presiden dan Wakil Presiden.

Saat dana talangan dikucurkan, Presiden sedang dalam kunjungan luar negeri. Kalla pun menjadi pihak yang bertanggung jawab menjalankan pemerintahan.

Namun, semua pernyataan Jusuf Kalla dibantah Boediono. Menurut Boediono, kasus pembengkakan dana talangan Century dari Rp 650 miliar menjadi Rp 2,5 triliun dan membengkak lagi menjadi Rp 6,7 triliun, bukan lagi kewenangannya sebagai Gubernur BI saat bail out terjadi. Ia mengatakan, yang menghitung besaran dana yang dikucurkan untuk menyelamatkan Bank Century merupakan tugas dari LPS dan Pegawas Bank.

JK sudah diberitahu adanya krisis

Boediono menjelaskan, bahwa setelah diambilalih oleh LPS dan mandat diserahkan oleh KSSK, maka Bank Century menjadi milik LPS dan pegawasnya dari BI. "Jadi prosesnya setelah diambil alih oleh LPS dan mandat diserahkan oleh KSSK, itu adalah bahwa ini menjadi bank milik LPS," terang Boediono.

Sehingga, Wapres mengatakan, ia tidak lagi terlibat dalam proses perhitungan berapa nilai dana talangan yang harus dikucurkan untuk menyelamatkan Bank Century kala itu.

Karena itu, ia tidak bisa menjelaskan bagaimana dana talangan dari sebelumnya sebesar Rp 630 miliar membengkak menjadi Rp 6,7 triliun. Sebagai gubernur BI kala itu, Boediono mengatakan, ia hanya menjalankan kewajibannya untuk mengambil keputusan menyelamatkan Bank Century.

Selain itu, lanjut Boediono, untuk memberikan pinjaman sementara, Gubernur BI dan Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK bertindak dan membuat keputusan bersama.

Dalam menangani Bank Century, Boediono mengklaim, sejak pemberian FPJP hingga penyertaan modal sementara, BI selalu berkoordinasi dengan Menteri Keuangan selaku ketua KSSK dan bukan dengan pejabat lain di pemerintah, karena memang begitulah protokolnya.

Ia bilang, sebenarnya ada rapat sehari sebelum 21 November 208, yakni pada tanggal 20 November 2008. Pada waktu itu, Boediono selaku Gubernur Bank Sentral diundang ikut rapat di Kantor Wapres yang dipimpin JK.

Waktu itu, rapatnya dihadiri oleh sejumlah menteri dan para pejabat tinggi negara. Ia mengaku masih sangat mengingat hari itu sebagai hari yang terasa panjang baginya.

Dalam rapat itu, Boediono bilang, ia telah menjelaskan kondisi perbankan kepada para peserta rapat, termasuk kepada JK.

"Saya masih ingat 20 November 2008 itu. Pada pertemuan itu, saya menyampaikan kondisi ekonomi dan keuangan Indonesia. Saya sampaikan kurs yang melonjak, saya sampaikan pasar uang antar bank yang macet. Saya sampaikan likuiditas yang mulai kering bagi bank-bank di Indonesia. Saya ceritakan mengenai capital outflow, ini adalah indikator terhadap krisis," terang Boediono.

Dengan penjelasan itu, Boediono menegaskan telah memberitahukan kondisi krisis yang tengah mengancam Indonesia kepada peserta rapat, termasuk JK. Sehingga, ia tidak menyembunyikan sesuatu pada saat itu.

Namun, terkait kasus Bank Century, Boediono mengaku memang tidak menjelaskannya kepada JK. Sebab, forum untuk membicarakan persoalan bank, tempatnya bukan pada rapat tersebut. Berdasarkan aturannya, hal itu harus dilakukan di Bank Indonesia.

Forum yang mengharuskan Gubernur BI berkonsultasi dengan Menteri Keuangan seputar persoalan krisis, menurut Boediono telah ia jalankan.

Perlakuan khusus

Entah, pernyataan siapa yang benar. Yang jelas, menurut Ichsanuddin Noorsy, Bank Century sudah mendapat perlakuan khusus dari penguasa dalam menerima pemberian FPJP.

Tak hanya itu, Bank Century juga mendapat perlakuan khusus dengan mendapat kucuran dana Rp 6,7 triliun pasca ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik. "Penguasa saat itu memberi kekhususan kepada Bank Century," kata Ichsanuddin.

Ichsanuddin mengatakan, setidaknya ada dua alasan penting yang melandasi pemikirannya bahwa Bank Century telah mendapat perlakuan khusus. "Pertama yakni perubahan PBI (Peraturan Bank Indonesia) dari 8 persen ke 0,8 persen, dan yang kedua, adanya intensi dari penguasa," kata Ichsanuddin. Ichsanuddin menjelaskan, bahwa untuk mendapatkan FPJP, perlu ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Namun hal ini sepertinya tidak berlaku untuk Bank Century. "Persyaratan (FPJP) menurut UU bank sentral, Jaminannya harus mudah dan liquid (mudah dicairkan). Tidak usah pakai PBI. Pakai aturan UU 23 Tahun 99 saja. Ternyata dalam praktiknya, dalam posisi liquid dan mudah dicairkan tidak memenuhi syarat. Apalagi kemudian jumlah jaminannya tidak memadai. Apalagi kemudian CAR-nya tidak memadai. Itu tidak bisa dari segi proses FPJP-nya. Itu tidak memenuhi syarat," ujarnya.

Apa pun pendapat dan bantahan yang disebutkan para saksi kasus bail out Century ini, KPK akan terus memburu aktor intelektual di balik skandal perbankan ini.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad memastikan penyelesaian kasus Bank Century hingga tuntas.

Institusi yang dipimpinnya tak ingin berhenti kepada penahanan Mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya saja yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus Bank Century. "Kita tidak ingin kasus Century ini hanya berhenti pada penahanan Budi Mulya," kata Abraham disela-sela Rapimnas V Golkar di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Sabtu (23/11/2013).

Jauh sebelumnya, KPK juga sudah memeriksa mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan mantan Direktur Direktorat Pengaturan Perbankan BI Wimboh Santoso di Kedutaan Besar RI di Washington DC, Amerika Serikat dan mantan staf Deputi Gubernur BI, Galouh AW, di Australia.

Menurut Abraham, kasus Century akan segera bergulir ke pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) sebelum Pemilihan Umum 2014 berlangsung.

"Insya Allah sebelum pemilu, kami akan bawa kasus Century ke pengadilan tahun ini. Sabar saja, yang pasti kami ingin menyelesaikan kasus ini secepatnya," ujar Abraham.

Sejauh ini, sejumlah tersangka dalam kasus Century yang sudah menjalani masa tahanan lembaga penegak hukum setidaknya tiga orang.

Pada 12 Agustus 2009, mantan Direktur Utama Bank Century Hermanus Hasan Muslim divonis 3 tahun penjara karena terbukti menggelapkan dana nasabah Rp 1,6 triliun.

Lalu, pada tanggal 18 Agustus 2009, Komisaris Utama yang juga pemegang saham Robert Tantular dituntut hukuman delapan tahun penjara dengan denda Rp 50 miliar subsider lima tahun penjara.

Terakhir, pada 15 November 2013, mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya telah ditahan oleh KPK. Budi menjalani masa penahanan di KPK untuk 20 hari ke depan.

Kini, publik tinggal menunggu episode selanjutnya dari langkah KPK membur aktor intelektual skandal bail out Century.

Mungkinkah di pengadilan Budi Mulya nanti akan terungkap aktor intelektual Century yang sesungguhnya? Kita tunggu saja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan