KONTAN.CO.ID -
Sebagai orang baru di PT Jasa Marga Tbk, Desi Arryani mengemban tugas penting sebagai Direktur Utama, salah satunya mencari pendanaan proyek jalan tol demi menyukseskan program besar pemerintah membangun infrastruktur. Kepada jurnalis KONTAN Putri Werdiningsih, Desi membeberkan strateginya. Saya sudah 29 tahun bekerja di Waskita Karya. Saya baru bergabung di Jasa Marga sejak 29 Agustus 2016. Saya sebelumnya sama sekali tidak tahu kalau Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Jasa Marga punya agenda penggantian pengurus. Sebab, pada Maret 2016 board of director (BOD) baru diperpanjang untuk kedua kalinya.
Tiba-tiba Kementerian BUMN menghubungi saya dan menugaskan untuk datang. Dan, RUPSLB Jasa Marga mengangkat saya sebagai Direktur Utama PT Jasa Marga Tbk. Pemegang saham meminta saya untuk membawa Jasa Marga menjadi perusahaan yang lebih baik lagi. Apalagi, pemerintah sekarang sedang melakukan percepatan infrastruktur. Pertama kali masuk Jasa Marga, saya mempelajari semuanya. Apa yang harus segera dilakukan. Saya mengecek rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) seperti apa, target perusahaan seperti apa, dan bagaimana laporan keuangan terakhir. Setelah itu, baru rencana jangka panjang. Waktu itu kan saya belum tahu Jasa Marga mahluk seperti apa. Saya membuka sejarah perusahaan, membuka company profile, laporan tahunan, sambil bergaul dengan semua tim yang terlibat. Kebetulan sejak 2014, Waskita cukup agresif masuk ke bisnis jalan tol, sehingga saya sudah memahami bisnis ini. Saat memimpin perusahaan nomer satu seperti Jasa Marga, kami harus menjaga pertumbuhan yang berkelanjutan. Karena itu, saya merekrut pihak independen untuk meminta pendapat mereka. Lalu awal 2017, kami membuat visi dan misi baru. Intinya bagaimana mempertahankan posisi Jasa Marga sebagai pemain utama di bisnis jalan tol, baik dalam hal konsesi maupun
market share. Kami harus menjaga supaya posisi Jasa Marga tetap sebagai pemimpin. Saat ini kalau mengacu pendapatan,
market share kami sekitar 80%. Sedangkan kalau dihitung dari panjang jalan yang beroperasi, sekitar 65%. Saya berpikir, Jasa Marga harus tetap memimpin bisnis jalan tol. Namun sampai akhir 2016 ternyata ruas jalan tol yang dioperasikan baru 593 km. Padahal saat itu Jasa Marga memiliki konsesi sepanjang 1.260 km. Masih ada 600 km lagi yang belum dikerjakan. Aktif mencari pendanaan Jasa Marga adalah investor bukan kontraktor, jadi harus mendanai proyek sendiri. Saat pemerintah memberikan konsesi, dan kami sebagai badan usaha yang harus membangun. Agar bisa mewujudkan pembangunan masif, tentu membutuhkan mekanisme pendanaan baru. Biasanya saat membangun jalan tol, kami menerapkan pola modal sendiri 30% dan utang 70%. Kami harus cari 70% dana untuk membiayai proyek. Sebenarnya ini gampang, toh, semua bank tahu kinerja Jasa Marga. Namun, kami kan harus menjaga kemampuan berutang, menjaga rasio utang terhadap ekuitas, atau
debt to equity ratio (DER) dan kemampuan membayar (
interest coverage ratio). Bagaimana caranya? Akhirnya muncul ide,
pertama sekuritisasi aset. Ruas jalan tol lama yang sudah mapan dan ada pendapatan, kami jual pendapatannya ke depan. Jadi pada 2018 kami menjual pendapatan ke depan, yaitu untuk 2019, 2020, 2021. Artinya, kami menerima pendapatan di depan, selama 5 tahun, tetapi tidak 100%. Contohnya pada ruas jalan tol Jagorawi. Dalam setahun pendapatannya Rp 700 miliar. Berarti kalau 5 tahun Rp 3,5 triliun. Kami tidak melepas Rp 3,5 triliun, tapi hanya jual Rp 2 triliun, sehingga ada pengamannya.
Kedua, kami punya project bond atau obligasi berbasis proyek. Dengan cara ini, ruas jalan tol baru bisa membayar sendiri bunganya dengan cara kami obligasikan. Saat kami menukar pendanaan, dari membayar bunga perbankan ke bunga obligasi, pengaruhnya sangat beda. Bunga bank kan tidak stabil dan jangka pendek, sehingga kalau ada apa-apa, dia naik atau turun. Nah, kalau obligasi bunga tetap, jadi lebih aman.
Ketiga, pada akhir 2017 kami menerbitkan Komodo Bond senilai Rp 4 triliun. Investor melakukan registrasi di London dan Singapura. Mereka membeli obligasi dengan nilai rupiah, dan kami bayar sesuai nilai rupiah saat itu, sehingga kami tak terpengaruh perubahan kurs.
Keempat, ada alternatif lain kami mencoba reksadana penyertaan terbatas (RDPT). Saham di badan usaha jalan tol (BUJT) kami berikan ke investor secara temporer. Beberapa ruas tol yang baru beroperasi trafiknya cenderung berat, sehingga kami mengundang mitra. Mereka mendapatkan gain dan kami mendapat
cash di depan. Karakter bisnis tol itu kan investasinya besar, tapi baliknya lama. Makanya konsesinya bisa 40 tahun-50 tahun. Payback period bisa 10 tahun atau ada 20 tahun. Karena itu, kami mencoba mengajak teman-teman investor untuk masuk dulu ambil kepemilikan. Kalau sudah membaik nanti kami ambil kembali. Kami meluncurkan RDPT Mandiri Infrastruktur Ekuitas Transjawa medio 2018. Di RDPT, manajer investasi mengakuisisi 20% saham PT Jasamarga Semarang Batang (JSB), PT Jasamarga Solo Ngawi (JSN), dan PT Jasamarga Ngawi Kertosono Kediri (JNKK). Pada 2018 kami membuat pencapaian luar biasa, yakni menyambungkan ruas jalan Tol Trans Jawa. Ini tidak terlalu direncanakan benar, pokoknya kami utamakan. Dari total jalan tol Trans Jawa sepanjang 1.150 km, kini 933 km telah tersambung sepenuhnya, dari Merak sampai Grati (Pasuruan). Presiden Joko Widodo telah meresmikan ruas jalan tol Pemalang-Batang, Batang Semarang, Semarang– Solo sesi Salatiga Kartasura. Ini sebagai penanda tersambungnya jalan tol di pulau Jawa.Dengan pengoperasian tol Trans Jawa 20 Desember lalu sampai akhir 2018 kami sudah mengoperasikan jalan tol baru 323,20 km. Semula di awal tahun hanya ditargetkan untuk bisa menambah 300 km. Melanjutkan ekspansi Rencana penambahan ruas jalan tol 2019 tidak sebanyak 2018. Kami mungkin akan menambah 200 km ruas tol baru. Tantangan 2019 cukup berat. Kalau jalan tol Trans Jawa dari Cikampek-Grati sudah lancar tetapi Jakarta–Cikampek tertahan, kan manfaatnya tidak optimal. Kami harus kejar penyelesaian ruas Jakarta–Cikampek II Elevated agar lebih cepat. Selain itu, jalan tol JORR II juga harus beres. Sekarang ini ke Bandara Soekarno Hatta Tangerang, hanya ada ruas tol Soedijatmo. Dengan selesainya JORR II akan ada alternatif lain untuk menuju ke bandara. Kami juga akan menyelesaikan ruas jalan tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi segmen Tebing-Tinggi-Sei Rampah sepanjang 9,107 km. Sekarang sudah dipakai fungsional. Di luar itu ada juga ruas tol Balikpapan-Samarinda sepanjang 99,4 km dan ruas tol Manado-Bitung sepanjang 39,9 km. Diantara semuanya itu yang paling dekat ruas tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi segmen Tebing-Tinggi-Sei Rampah. Mungkin Januari 2019 sudah beres karena tinggal 10 km saja. Di lanjutkan April ruas tol Pandaan – Malang dan JORR II. Selain menambah ruas jalan tol, kami mencoba memperbaiki sistem pembayaran dengan cara single line free flow (SLFF) menggunakan radio
frequency identification (RFID). Saat ini (akhir Desember 2018) uji coba sudah kami lakukan seperti di gerbang tol Kapuk, gerbang tol Dukuh, dan ruas tol Bali Mandara. Sebagai gambaran, sistem SLFF ini dilakukan dengan cara pemilik kendaraan mendaftarkan kendaraan ke Jasa Marga, lalu akan mendapatkan
barcode yang akan di-scan otomatis di pintu gerbang jalan tol.
Barcode ini terhubung ke rekening bank pemilik kendaraan, dan akan memotong saldo di rekening. Tahun 2019 kami juga akan mengurangi kepemilikan ruas tol. Ruas tol dengan kepemilikannya 75% kami kurangi menjadi 55%. Tujuannya supaya bisa mengendalikan rasio utang.
Kami melakukannya di ruas tol Semarang-Solo yang 15% sahamnya diambil oleh Astra. Lalu JORR W-I 19% sahamnya sudah dilepas ke Bangun Tjipta. Selain itu, kami berencana membeli ruas jalan tol dari Waskita Karya khususnya di Trans Jawa. Kini di Tol Trans Jawa dari Merak-Banyuwangi ada 20 badan usaha jalan tol (BUJT). Jasa Marga menguasai 13 BUJT atau sekitar 65%-75%. Meski tahun 2019 merupakan tahun politik, tetapi saya yakin bisnis jalan tol tidak akan terkena imbasnya. Bagaimanapun masyarakat akan tetap beraktivitas seperti biasa dan melewati jalan tol. ◆ Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga