Memetakan kekuatan IHSG di regional



JAKARTA. Peta kekuatan pasar modal Indonesia di pasar regional diperkirakan terus membesar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kini sudah tumbuh 5,19%, bersaing dengan SET Index Bursa Thailand yang telah memberi return 8,36%.

Para analis memperkirakan, masih ada banyak ruang pertumbuhan IHSG, yang didorong membaiknya perekonomian Indonesia.

Joshua Tanja, Kepala Riset UBS Securities, mengatakan, IHSG masih lebih menarik dibandingkan bursa regional lain. Pendorongnya beberapa faktor. Seperti optimisme pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari tahun lalu dan sejumlah regulasi pemerintah yang bisa menarik perhatian investor, seperti tax amnesty.


Joshua menilai, derasnya arus dana asing dari China dan Jepang ke berbagai proyek infrastruktur juga menjadi kunci positif pergerakan IHSG di tahun ini. Indonesia juga menjadi salah satu negara tujuan carry trade, yang membuat posisi dana asing di pasar modal meningkat.

Sepanjang tahun ini, total beli bersih (net buy) investor asing sudah mencapai Rp 4,2 triliun. "Kami memperkirakan sampai akhir tahun dana asing masih akan terus mengalir masuk. Hal ini karena tumbuhnya konsumsi pemerintah ke proyek infrastruktur, dan ada potensi carry trade," ujar Joshua, Senin (7/3).

Menurut Joshua, periode kekecewaan akan perlambatan laba emiten mulai berakhir. Ia memprediksi, pertumbuhan laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) emiten bisa mencapai 7% tahun ini. Sementara earning per share (EPS) bisa tumbuh 12%.

Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Capital juga memperkirakan, kinerja emiten akan lebih baik pada tahun ini. Prediksinya, pertumbuhan EPS di tahun 2016 bisa mencapai 15%-18%, lebih baik dari estimasi pertumbuhan EPS tahun lalu, yang sekitar 5%-8%.

Valuasi menarik

Alfred menambahkan, perlu diakui reformasi birokrasi di Indonesia masih kalah bagus dibandingkan negara berkembang lain seperti Thailand. Untungnya, masih banyak katalis positif yang mendorong pasar saham dalam negeri.

Depresiasi nilai tukar rupiah yang selama ini menjadi ketakutan investor asing sudah mereda. "Yang menjadi salah satu pertimbangan investasi adalah stabilnya nilai tukar. Dan kami perkirakan, rupiah masih bisa menguat," ujar Alfred.

Turunnya BI Rate juga mulai menuai dampak positif. Namun, menurut Joshua, masih ada kemungkinan risiko eksternal, dari perlambatan ekonomi China dan rencana kenaikan suku bunga The Fed.

Selain itu, berdasarkan data historis, debt to ebitda emiten cenderung meningkat dalam tiga tahun belakangan. Pada tahun 2012, rata-rata rasio debt to ebitda sebesar 1 kali, dan pada tahun 2015 lalu, rasionya menjadi 2 kali.

"Meski demikian, rasio tersebut masih manageable," ujarnya. Alfred mengatakan, valuasi IHSG yang masih rendah cukup menjadi daya tarik investor. Saat ini, price rarning ratio (PE) IHSG ada di kisaran 11 kali, lebih rendah dibandingkan dengan bursa lain, seperti Indeks Kospi dengan PE 16 kali.

"Apalagi jika nilai tukar rupiah terhadap dollar bisa menguat, maka saham-saham emiten akan semakin jadi buruan," ujar Alfred.

AIA memprediksi, IHSG di akhir tahun bisa mencapai level 5.400 dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%. Tahun ini, Joshua memberi rekomendasi overweight saham-saham sektor bank, properti, ritel, media, dan infrastruktur.

Sementara Alfred masih merekomendasikan saham perbankan, konstruksi dan konsumer. Di antaranya adalah saham BBRI, ADHI, WSKT, GIAA, GGRM.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie