JAKARTA. Alarm penerimaan negara lirih terdengar dari kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Pemerintah harus sigap berbenah jika tak ingin mengulang kegagalan pencapaian target penerimaan negara di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Alarm tersebut berasal dari kinerja perpajakan pada kuartal I 2017 yang hanya mengumpulkan setoran Rp 222 triliun. Jumlah tersebut mencapai 16,98% dari target APBN 2017 yang sebesar Rp 1.307,6 triliun. Memang, jika dibandingkan dengan periode sama tahun 2016 yang hanya mendapatkan setoran pajak sebesar Rp 188 triliun, realisasi penerimaan pajak kuartal I-2017 tumbuh 18%.
Sumber: Kementerian Keuangan Tentu saja, target pertumbuhan pajak yang mencapai lebih dari 18% sulit tercapai. Mengingat, ekonomi global masih dalam ketidakpastian. Pun dengan perekonomian nasional, yang diperkirakan masih dalam tekanan sehingga sulit mencapai pertumbuhan di atas 5,5%. Oleh karena itu, Menteri Sri sudah memerintahkan jajarannya, termasuk tim pelaksana reformasi pajakan yang dipimpin Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Suryo Utomo untuk menghitung ulang potensi pajak yang realistis bisa dicapai. Hitung ulang ini termasuk untuk melihat kinerja penerimaan pajak pasca tax amnesty berakhir 31 Maret 2017.
Meski demikian, Menteri Sri tak melempar handuk. Menurutnya, masih ada harapan mengejar target pajak. Sejauh ini baru ada 35,82 juta wajib pajak yang terdaftar di kantor DJP. Rasio pajak di Indonesia juga masih rendah, hanya 11% terhadap produk domestik bruto (PDB). Pemerintah menargetkan rasio pajak harus naik menjadi 13%-14% pada 2018-2020. "Saya bisa katakan begini, tax ratio kita saat ini 11% masih kecil. Jadi, kalau bicara potensi pasti masih ada," ujar Sri. Selain melihat kemampuan, sumber daya dan data pemerintah juga akan melihat dari sisi peraturan. Maksudnya, pemerintah akan melihat apakah saat ini ada aturan yang menghambat kinerja perpajakan atau tidak. Sejauh ini, pemerintah masih menyiapkan berbagai revisi undang-undang (UU) perpajakan, antara lain UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) hingga UU Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Revisi tersebut akan memudahkan kinerja DJP menggaet pajak. Optimalkan tax amnesty Pakar perpajakan sekaligus Direktur Eksekutif Center Indonesia fot Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, menganalisa, kinerja pajak tiga bulan pertama tahun 2017 belum bisa menjadi dasar untuk menentukan pencapaian setahun mendatang. Pasalnya, penerimaan pajak pada tiga bulan pertama ini masih terpengaruh tax amnesty. "Kinerja pajak tiga bulan ini layak diapresiasi, pertumbuhannnya sudah lumayan. Namun, penerimaan pajak akan terlihat pertumbuhannya secara alami pada Mei nanti, karena tax amnesty sudah selesai, juga sudah tak terpengaruh dari penutupan SPT (surat pemberitahuan) Pajak," kata Yustinus. Menurutnya, jika penerimaan pajak pada Mei masih terlihat pertumbuhan signifikan, maka realisasi pajak juga akan lebih baik, atau sebaliknya. Namun, Yustinus menilai kinerja DJP mengejar target pajak tahun ini bakal sulit. Mengingat, target pajak memang terlalu tinggi, sedangkan kondisi perekonomian belum mendukung.
Apalagi pemerintah baru kelar menjalankan program pengampunan pajak. Dengan demikian, DJP tak bisa lagi memeriksa wajib pajak yang selama ini nakal. Disisi lain, hasil tax amnesty belum bisa mendongkrak pajak dalam jangka pendek. Tax amnesty membutuhkan waktu menengah hingga panjang agar bisa berefek pada penerimaan negara. "Tanpa tindakan khusus dari pemerintah, perhitungan kami realisasi pajak tahun ini hanya akan mencapai 86% dari target," jelas Yustinus. Sebagai solusi untuk mengejar target pajak, Yustinus menyarankan, DJP fokus pada wajib pajak yang selama ini tak ikut tax amnesty. "Dulu pemerintah mengumumkan ada aset Rp 11.000 triliun yang bisa ikut tax amnesty, tapi realisasinya tak sampai Rp 4.000 triliun, sisanya itu yang harus ditagih pajaknya," tandas Yustinus. DJP juga harus mengawasi harta di program tax amnesty. Seperti diketahui, program pengampunan pajak itu melaporkan banyak harta yang bisa berkembang dan memberi pendapatan bagi pemiliknya. Misalnya saja, harta berupa apartemen, rumah kontrakan, hingga tanah, jika disewakan maka bisa menambah setoran pajak.
Percepatan reformasi pajak Cara lain dalam jangka pendek yang harus dioptimalkan pemerintah adalah mempercepat langkah reformasi pajak. Pada penghujung 2016, Menteri Sri membentuk Tim Reformasi Perpajakan demi mengamankan penerimaan pajak tahun 2017. Sejauh ini, Tim Reformasi Perpajakan telah bekerja dan membuat berbagai terobosan yang memudahkan pelayanan pajak. Sebut saja ada E-billing support yang mengintegrasikan sistem billing dengan sistem penagihan, fasilitas virtual assistant untuk tanya jawab di website pajak.go.id, hingga e-form SPT untuk kemudahan penyampaian SPT. Namun bagi Yustinus, kinerja Tim Reformasi Perpajakan masih harus dioptimalkan lagi, terutama dalam hal regulasi, kelembagaan, teknologi informasi (TI), dan sumber daya manusia (SDM). Di bidang regulasi, selain revisi UU perpajakan, juga harus mengejar penyelesaian peraturan pengganti undang-undang (Perpu) keterbukaan informasi untuk akses data perbankan. Di bidang kelembagaan dan SDM adalah dengan mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga pajak. Jangan ada lagi, pegawai pajak yang tersangkut kasus suap, korupsi, hingga pemerasan, seperti yang belakangan ini diusut Komisi Pemberantasan Korupsi. "Punishment bagi pelanggar harus dipertegas lagi, lalu ada kemudahan dan jaminan keamanan serta reward yang memadai jika menjadi wistle blower," saran Yustinus. Terkait TI, mau tak mau pemerintah harus memperkuat sistem di DJP. Kini memang sudah banyak pelayanan berbasis online, tapi sering ada gangguan. "Saat pelaporan SPT kemarin misalnya, masih banyak gangguan. Itu harus diatasi," tandas Yustinus. Peningkatan kualitas TI ini harus jadi agenda utama untuk diselesaikan. Di era online ini, sudah bukan zamannya orang mengantri membayar pajak. Sudah seharusnya, pembayaran pajak dibuat lebih mudah. Inilah yang harus jadi fokus Tim Reformasi Pajak, yakni membuat sistem layanan pajak yang memudahkan. Pelayanan pajak harus cepat, mudah, dan tidak bertele-tele. "Mengantri itu sudah kuno, bikin bete. Pelayanan pajak harusnya bikin pembayar pajak tersenyum, karena wajib pajak sudah mengeluarkan uang," ungkap Yustinus. Sudah beberapa tahun ini, realisasi pajak jauh dari target. Pelayanan pajak yang masih harus antri, merupakan salah satu penyebab pertumbuhan pajak tak optimal.
Sumber: Kementerian Keuangan Transparansi Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center, Bawono Kristiaji, menilai, kinerja perpajakan kuartal I 2017 sudah bagus. Pertumbuhan penerimaan pajak yang mencapai 18% sudah lebih baik dari periode sama tahun 2016 hanya 13,5%. Dengan demikian, pada tahun ini terdapat trend positif dan menyiratkan optimisme. Ia memperkirakan, realisasi perpajakan tahun ini bisa mencapai 94% dari target APBN. Namun, dengan berakhirnya program tax amnesty, DJP punya tiga hal yang wajib dilaksanakan demi mendukung pencapaian target pajak yakni penegakan hukum, pengoptimalan data dan informasi, serta pelaksanaan tax reform secara konsisten. "Tax reform sudah on the right track. Kini tinggal Tim Reformasi Perpajakan mempercepat usulan revisi berbagai UU perpajakan," kata Aji, panggilan akrabnya.