Memilih jalur hukum di sengketa pilpres



Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan perolehan suara sah untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, dan menetapkan Pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin memperoleh 85,6 juta suara (55,50%) dan pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno mendapat 68,6 juta suara (44,50%). Terdapat selisih sebanyak 16,9 juta suara.

Beberapa minggu sebelum KPU menetapkan hasil penghitungan suara, di media sosial dan aplikasi pesan elektronik beredar berbagai klaim yang berisi dugaan kecurangan dan ketidakpercayaan terhadap pelaksanaan pilpres. Berbagai klaim itu disertai bukti, yang belum dibuktikan secara hukum atau tidak disertai bukti sama sekali. Ini membuat suhu politik semakin panas, dan timbul wacana melakukan unjuk rasa dan people power di sekitar kantor KPU dan Bawaslu untuk mendiskualifikasi pasangan calon (Paslon) tertentu.

Konstitusi Indonesia menjamin kemerdekaan setiap individu untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Dan setiap orang memiliki kebebasan berpendapat (freedom of speech atau freedom of expression).


Hak tersebut meliputi; hak untuk menerima dan menyampaikan informasi atau ide dari atau kepada pihak lain. Untuk Pilpres ini, kebebasan berpendapat juga berlaku bagi individu yang mengklaim kemenangan paslon tertentu di pilpres 2019.

Namun, kebebasan berpendapat tersebut bukanlah hak yang absolut, tetap ada batasan hukum. Secara filosofi, batasan tersebut ditujukan untuk mencegah kerugian pihak lain (harm principle) dan mencegah dampak negatif yang timbul. Secara hukum, pembatasan ini tidak ditentukan sepihak oleh eksekutif (bukan didasari produk hukum eksekutif). Namun, pembatasan diatur melalui aturan (produk legislatif) yang disepakati anggota legislatif yang terdiri dari parpol pendukung petahana dan pendukung oposisi.

Beberapa negara telah membuat batasan terhadap hak kebebasan berpendapat. Pembatasan ini bahkan disertai sanksi hukum, jika terjadi penyalahgunaan.

Misalnya berpendapat untuk penyampaian fitnah dengan fakta palsu terhadap nama baik seseorang, kelompok atau institusi. Sanksi hukum dan pembatasan juga diberlakukan jika kebebasan tersebut mengarah ke hasutan untuk makar, merugikan keamanan nasional, penyampaian rahasia negara, rahasia dagang atau pornografi. Bahkan beberapa negara mulai memberlakukan pembatasan kebebasan berpendapat yang melanggar privasi seseorang.

Menyelesaikan perselisihan

Dalam menyampaikan perbedaan penghitungan dengan KPU atau menyampaikan dugaan kecurangan, tak jarang para pihak menggunakan jalur nonhukum. Misalnya pengerahan massa menuntut diskualifikasi terhadap paslon tertentu. Namun, Indonesia selaku negara hukum memiliki prosedur hukum resmi bagi para pihak untuk menyampaikan perbedaan pendapatnya terkait hasil penghitungan resmi KPU. Selain itu ada jalur hukum jika ada pihak yang mengklaim memiliki bukti kecurangan pada penyelenggaraan pilpres.

Negara melalui Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyediakan upaya hukum bagi paslon untuk menguji penetapan perolehan suara hasil pemilu oleh KPU. Jenis sengketa ini disebut Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden dan Wapres).

Upaya hukum ini merupakan bagian dari hak warga negara untuk menguji penetapan KPU sebagai lembaga negara. Dengan kata lain, negara memfasilitasi dan melindungi upaya hukum ini dan sekaligus menunjukan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dimana setiap penetapan dari lembaga negara dapat diuji berdasarkan hukum yang berlaku.

Ada beberapa nilai positif upaya hukum di MK ketimbang non hukum. Pertama, mekanisme hukum (upaya hukum PHPU) tersebut telah disepakati dan disahkan DPR, beranggotakan parpol petahana dan oposisi. Bahkan hakim konstitusi yang akan mengadili perkara PHPU adalah hakim yang dipilih Presiden dan DPR.

Jadi, secara hukum PHPU bukan merupakan monopoli atau perpanjangan tangan Presiden. Sangat disayangkan jika di kemudian hari ada pihak yang tidak menggunakan jalur penyelesaian perselisihan sah yang telah mereka sepakati dan disahkan DPR.

Kedua, upaya hukum PHPU melindungi kebebasan berpendapat dari pemohon. Dalam hal permohonan PHPU tidak terbukti, maka konsekuensi yang muncul hanyalah permohonan tidak diterima atau permohonan ditolak.

Namun, terhadap paslon pemohon tidak dikenakan sanksi hukum. Meskipun perlindungan bagi pemohon ini tidak berlaku bagi saksi yang memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.

Jauh berbeda dengan upaya nonhukum seperti orasi publik atau kampanye elektronik (electronic text blast). Pada jalur ini, jika ada pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan (dituduh curang), mereka berhak melapor atas dasar pencemaran nama baik. Meski ini menjadi dilema bagi pihak petahana atau penyelenggara pemilu, karena di satu sisi tidak mau dicap melakukan represi, terutama kepada pihak yang kalah.

Ketiga, upaya hukum itu merupakan proses mendengarkan para pihak, sistematis dan menggunakan pengujian hukum yang rasional. Hal ini dapat dilihat pada acara sidang dan ada kesempatan dalam menyampaikan klaim, bukti dan saksi pendukung.

Ada pula kesempatan bagi pihak untuk menyanggah klaim dari lawan dengan saksi dan bukti. Di jalur nonhukum, pendengar hanya menerima klaim sepihak dari koordinator tanpa ada kesempatan pihak lawan untuk menyampaikan sanggahan dan bukti.

Keempat, upaya hukum PHPU dilakukan di sidang pleno yang terbuka untuk umum. Kita tahu bahwa pilpres ini merupakan hajatan publik, didanai pajak dari semua kelompok masyarakat, dan suara rakyat merupakan penentu dalam pilpres tersebut.

Dengan demikian rakyat berhak tahu dan mempelajari permohonan beserta bukti dan saksi pendukung sampai dengan putusan majelis beserta argumentasi dari putusan tersebut. Ini merupakan karakter dari masyarakat sipil (beradab), sekaligus baik bagi perkembangan legal mindset masyarakat. Supaya terbiasa mengajukan klaim berdasarkan bukti yang sah dan rasional.

Kelima, upaya hukum PHPU mengurangi atau menghindari potensi bentrokan fisik antar pendukung atau dengan aparat di lapangan. Lantaran pada aksi massa, sangat rentan untuk disusupi provokator yang tidak bertanggungjawab dengan penutup wajah sehingga sulit bagi aparat untuk mengenali identitas peserta jika mulai melakukan provokasi. Hal ini dapat berlanjut dengan aksi balasan yang berujung kericuhan.

Alhasil, sudah sangat jelas bagi para pihak yang tidak puas dengan penetapan KPU dan memiliki jiwa bernegara yang mengutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongan, sebaiknya menempuh jalur hukum yang tersedia di MK. Serta menolak upaya nonhukum yang berpotensi menimbulkan kekerasan dan merugikan masyarakat.♦

Henry D. Hutagaol Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi