Memperkuat holding pelat merah



Di tengah aksi melemahnya mata uang rupiah kita dalam  beberapa hari terakhir ini dan mungkin sudah berlangsung dalam beberapa minggu terakhir ini, wacana strategis terkait pembentukan holding company bagi sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) terus saja digulirkan. Beberapa media lokal maupun internasional turut menggaungkan ide dan gagasan tersebut hingga kini.

Tak ayal investor pun turut mencermati proses penyempurnaan rencana yang konon disebut-sebut bernada positif bagi kemajuan perekonomian pada jangka panjang. Namun, apakah memang benar demikian?

Yang jelas, langkah senada telah dilakukan China selama lima tahun terakhir. Dengan tujuan meminimalkan campur tangan politik dalam pengelolaan badan usaha milik negara, pembentukan holding juga diarahkan untuk penciptaan sinergi antar unit strategis. Meski secara konseptual upaya tersebut selalu dinilai positif, namun bukan berarti tanpa adanya tantangan. Sebab sebaliknya, beberapa kajian malah merubah arah penilaian yang ada. Nah untuk memperoleh gambaran yang objektif tentang hal tersebut marilah kita awali diskusi tersebut ke titik awal, yakni dari konsep dasar holding company.


Sebuah holding company umumnya dibangun dengan tujuan mengambil alih hak kelola di perusahaan lain. Sebagai angle investor, mereka diperkuat dengan sumber daya finansial untuk menjadi pemilik mayoritas di perusahaan target. Alhasil pasca investasi, perusahaan tersebut akan menjadi salah satu unit strategis sang holding.

Penguasaan saham mayoritas memberikan peluang yang sangat signifikan bagi manajemen holding untuk melakukan fungsi koordinasi sumber daya dalam upaya peningkatan daya saing korporat secara keseluruhan. Tanpa disadari, di situlah titik nadir dalam pengelolaan melalui sistem tersebut.

Pada banyak kasus ditemukan bahwa masing-masing unit strategis masih menyimpan idealisme  misi organisasi yang terkadang berseberangan dengan unit yang lain. Alhasil terjadilah lobi-lobi manajemen sering menjadi pilihan atas setiap keputusan holding, di mana setiap pihak berupaya untuk mempertahankan kepentingan masing-masing.

Kajian dari sudut pandang agency theory bahkan menuding pola ini sebagai ‘senjata tumpul’ dalam upaya memproteksi kepentingan pemegang saham khususnya kaum minoritas. Realitas yang sering dibahas adalah bahwa pada sistem ini, manajemen holding dapat memposisikan satu unit strategis sebagai penyedia sumber daya dan unit strategis lain sebagai revenue maker (peraup keuntungan).

Alhasil ketimpangan tak kan mampu dihindari. Unit penyedia akan identik dengan investment centre sedangkan pencipta laba akan berposisi sebagai sang primadona. Bila dirunut lebih jauh, hal ini akan berdampak pada kebijakan strategis di masing-masing unit, termasuk masalah kesejahteraan segenap anggota perusahaan. Naluri alami akan membawa kita pada pemahaman bahwa sang primadona akan beroleh perhatian khusus daripada unit-unit lain.

Dalam mencermati fenomena tersebut, langkah yang lazim diambil adalah melalui penempatan representative holding pada manajemen puncak unit strategis. Upaya ini diharapkan efektif dalam membangun budaya perusahaan yang baru khususnya untuk melihat kinerja perusahaan holding sebagai hal yang utama, di atas kinerja unit strategis. Namun lagi-lagi kajian di lapangan menunjukkan arah sebaliknya. Perlu waktu yang cukup lama untuk menerima cara pandang baru, baik pada unit penyedia sumber daya maupun unit peraup keuntungan.

Jika kita bercermin pada realitas yang terjadi di Korea Selatan, kunci keberhasilan sitem holding khususnya pada perusahaan milik negara adalah penerapan good governance. Pada fase pendahuluan, para pihak harus berada pada garis yang sama mulai dari segi pemahaman good governance hingga dimensi komitmen dan kesadaran penuh dalam menerapkan kepatuhan tersebut.

Ujian berat

Satu pertanda bahwa unit target telah siap di ‘garis start’ adalah jika mereka berani mengambil keputusan untuk menjadi unit penyedia sumber daya demi kepentingan holding yang lebih besar. Pada teori complex adaptive system, fase ini dipandang sebagai puncak dari keberhasilan individu dalam menekan sisi egois kelompok untuk melihat kepentingan lain yang lebih luas. Di titik itu pulalah, dimensi politik dalam pengelolaan badan usaha dapat ditekan.

Kini mari kita kembali ke konteks nasional. Arah dasar konstitusi kita sudah jelas menyatakan bahwa badan usaha milik negara dibentuk untuk menjamin kesejahteraan segenap rakyat. Sekarang adalah saat yang paling tepat bagi bangsa untuk melihat peran positif dunia politik bagi kemajuan perekonomian nasional. Ide penguatan sistem holding bagi sejumlah badan usaha berplat merah merupakan ujian terberat bagi dunia politik; masihkah mereka bertumpu pada kepentingan seluruh rakyat Indonesia, ataukah hanya kepada sebagian golongan.

Sebagian dari kita mungkin memandang spirit di atas dalam lensa pesimistis. Namun ijinkan saya mengutip cara pandang Robert Heilbroner salah seorang filsuf ekonom dunia yang menegaskan pentingnya bagi dunia politik untuk menempatkan kata ‘dunia’ dalam konteks perekonomian nasional.

Arsitektur perekonomian sebuah negara secara otomatis akan berimbas pada konteks global. Karenanya sang filsuf mengajak kita untuk menerapkan politik lokal dengan lensa global. Secara tak langsung, Heilbroner menempatkan good governance dalam konteks politik. Beberapa dimensi penting dalam kepatuhan seperti kejujuran, kepercayaan dan pertanggung-jawaban sosial kiranya layak menjadi fondasi kuat sisi politik dalam kancah pengelolaan ekonomi. Ketika itu terjadi maka dukungan publik akan semakin menguat.

Berefleksi pada pemikiran tersebut, mempertahankan lensa pesimistis (meski dalam konteks lokal) akan turut berimbas pada tingkat dunia. Kini marilah kita bersama-sama menggunakan lensa positif seraya memonitor secara objektif setiap proses yang tengah dilakukan. Semoga upaya ini mampu mendekatkan kita pada cita-cita nasional yakni kemakmuran yang berkeadilan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi