Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Gambaran ini tampak pas disandang bangsa ini karena kembali gagal menunjukkan sebagai negara berdaulat atas tanah, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Polemik divestasi korporasi emas internasional Freeport Indonesia diselesaikan win-lose, menang untuk Freeport McMoran dan kalah untuk rakyat Indonesia. Sejak 12 Juli 2018, Pemerintah Indonesia bertekuk lutut kepada Freeport karena terpaksa menebus divestasi 51% Freeport Indonesia (FI) dengan harga lebih mahal. Indonesia melalui Inalum harus merogoh dana utangan baru untuk membeli 51,23% participating interest (PI) Rio Tinto di Freeport sebesar US$ 3,85 miliar (Rp 55,44 triliun). Awalnya rakyat Indonesia cukup percaya diri harga PI Rio Tinto terdiskon 20%. Sehingga harga PI berada di kisaran US$ 2,3 miliar, dan rakyat Indonesia tentu begitu hormat karena refleksi sikap nasionalisme Rio Tinto. Namun entah apa yang dilakukan pemerintah, harga justru naik.
Soal harga PI Rio Tinto sebetulnya ada lima rekomendasi lembaga konsultan keuangan internasional yang beredar. Konsultan Morgan Stanley mengolah data valuasi PI itu sebesar US$ 3,6 miliar. Berikutnya Deutsche Bank mematok US$ 3,3 miliar, HSBS di US$ 3,85 miliar, UBS US$ 4 miliar, dan Royal Bank of Canada (RBC) US$ 3,73 miliar. Dari lima rekomendasi, hanya dua pada angka outlier yakni US$ 3,85 miliar dan US$ 4 miliar. Banyak sekali pertanyaan mengenai transaksi premium divestasi Freeport yang berkembang di masyarakat. Bandingan mudahnya, Indocopper Investasi yang memegang 9,36% saham asli Freeport pernah menjual seluruh saham Freeport McMoran dengan harga US$ 400 juta. Dengan pendekatan linier harga 51,23% seharusnya setinggi-tingginya US$ 2,189 miliar. Jika sekarang Freeport McMoran menerima US$ 3,85 miliar, maka selisih keuntungan Freeport McMoran mencapai US$ 1,661 miliar atau Rp 23,92 triliun dengan kurs Rp 14.400 per dollar AS. Masalah kedua, mengapa membeli Freeport bukan saham langsung. Jika harga PI 40% senilai US$ 3,5 miliar, harga valuasi virtual 100% saham FI adalah US$ 8,75 miliar. Padahal dengan menggunakan standar harga saham 9,36% dengan harga US$ 350 juta, valuasi virtual 100% saham FI US$ 3,73 miliar. Ada selisih US$ 5,01 miliar dari dua cara perhitungan untuk basis 100% nilai saham FI. Pertanyaan ketiga mengenai nilai kontribusi Freeport adalah 27,1% di Freeport McMoran. Pada saat ini nilai kapitalisasi pasar perusahaan dengan kode FCX itu US$ 24,33 miliar. Artinya nilai 100% saham FI seharusnya tidak jauh berbeda dengan US$ 6,59 miliar. Maka nilai saham divestasi 51% saham adalah US$ 3,36 miliar. Pertanyaan ketiga dan keempat mengenai potensi ketidakcermatan para perunding pemerintah dan Inalum mengenai kewajiban yang seharusnya timbul sebelum akad kontrak 12 Juli 2018. Normalnya setiap due dillegence, hal-hal seperti ini dikapitalisasi ke dalam kontrak divestasi bukan disembunyikan. Jadi sungguh mengejutkan jika beban pembiayaan pembangunan fasilitas smelter menjadi beban mayoritas Inalum. Inalum juga punya potensi menanggung risiko penalti pencemaran lingkungan sampai Rp 185 triliun kepada Indonesia. FI menabung sejumlah kasus operasional yang pelik, hubungan industrial dengan pekerja, dan juga pelanggaran lingkungan. Audit BPK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut Freeport teridentifikasi memiliki 48 masalah berkaitan operasionalnya. Sudah ada penyelesaian 35 poin dan tersisa 13 masalah, dan tujuh masalah yang hampir selesai. Bentuk pelanggaran seperti penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin. Perusahaan ini juga mencemari lingkungan, sungai, hutan, muara dan laut dengan potensi kerusakan Rp 185 triliun. Tanda tanya PI Ngototnya pemerintah pada pembelian PI bukan saham Freeport memunculkan banyak spekulasi. Yurisprudensi PI sendiri cukup aneh, karena pemilik saham sebenarnya seolah kekurangan modal, sehingga menerbitkan surat berharga tambahan dalam rangka membiayai operasional. PI dalam praktik normal bisnis tak ubahnya seperti kerjasama operasi (KSO), jika terlibat langsung operasional dan menyerupai obligasi korporasi jika sifatnya menanamkan sejumlah anggaran. Dalam Peraturan Pemerintah No 79/2010 tentang Biaya Operasi yang dapat Dikembalikan dan Perlakuan PPh di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, ditemukan definisi PI pada Pasal 1 ayat (14) bahwa PI adalah hak dan kewajiban sebagai KKKS baik secara langsung dan tidak langsung pada suatu wilayah kerja (WK). Definisi ini dikutip Kemkeu dalam PMK No 257/PMK.011/2011 tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran PPh atas Penghasilan Lain Kontraktor berupa uplift atau Imbalan Lain yang sejenis dan/atau Penghasilan Kontraktor dari Pengalihan PI. Samar-samar PI populer di pekerjaan migas dan tidak ditemukan pada ketentuan mineral dan batubara. Di samping secara khusus diatribusikan ke sektor migas, PI pada umumnya diberikan dalam jumlah minoritas pada pemerintah daerah tempat lokasi eksplorasi migas dilakukan sebagai penghargaan. Kabupaten Bojonegoro misalnya mendapatkan berkah PI 10 % karena ada Blok Cepu. Eksplorasi Blok Mahakam juga menghasilkan berkah PI 10% untuk Provinsi Kaltim dan Pemkab Kabupaten Kutai Kartanegara. Blok PT PHE Offshore North West Java memberikan 10% PI kepada Pemprov Jabar, demikian pula Blok Muriah memberikan PI ke BUMD Jateng. Regulasi mengenai PI ada dalam Permen ESDM 37/2016 tentang Ketentuan Penawaran PI 10% pada WK Migas. Sifat PI tak ubahnya hadiah dari Negara kepada wilayah. Dalam divestasi Freeport, Indonesia jelas-jelas berdaulat atas Papua. Namun kini menjadi terbalik, seolah pemilik Papua adalah Freeport Amerika. Penguasaan PI menunjukkan Indonesia dan Inalum adalah penerima hadiah, tidak berbeda dengan Kabupaten Bojonegoro, Pemprov Kaltim, Pemkab Kukar atau Pemprov Jabar. Ironisnya, PI diperoleh dengan harga yang melampaui harga wajar sahamnya.
PI juga seharusnya diberikan dengan volume tidak mayoritas dalam kisaran maksimal 10% karena sifatnya berpartisipasi bukan kewajiban utama. Jadi sangat bisa dibantah jika Inalum harus memiliki kekuasaan demikian besar untuk mengambil-alih operasional mayoritas, menyelesaikan konflik pelanggaran lingkungan yang demikian lama, bahkan menjadi eksekutor proyek strategis seperti smelter. Jika dilakukan maka Inalum akan menjadi ultrapetita atau melampaui kewenangan yang diberikan. Pertanyaan terakhir, apakah sifat PI setara dengan saham sebenarnya. Apakah dana US$ 3,85 miliar tidak berjangka waktu seperti halnya investor menanam modal. Penulis hanya cemas, jika harga mahal PI ternyata juga blunder, sudah mahal namun hanya untuk beberapa tahun saja. Ini sama dengan menggadaikan Papua atau menjual NKRI.•
Effnu Subiyanto Direktur Koalisi Rakyat Indonesia Reformis (Koridor) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi