KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bursa saham tanah air
belum berhenti menunjukkan pelemahan. Kali ini Indeks Harga Saham Gabungan (
IHSG) melemah 0,27% atau turun sebesar 18,53 poin ke level terendah sepanjang tahun 2024 sebesar 6.831,56 pada perdagangan Kamis (13/6). Padahal, IHSG mayoritas bergerak di zona hijau sejak pagi. Adanya berbagai fenomena baik drama pasang surut penurunan suku bunga the Fed yang berimplikasi pada nilai rupiah. Di saat sama, adanya dinamika kebijakan
full periodic call auction (FCA) oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dan transisi pemerintahan baru. Apalagi ditambah pernyataan oleh Morgan Stanley akan penurunan peringkat indeks acuan Indonesia. Dengan demikian, menjadi genap kegelisahan pelaku pasar dalam menerka prospek IHSG di sisa tahun 2024 hingga ke depannya. Apakah harapan itu masih ada?
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Muhammad Nafan Aji Gusta Utama menjelaskan, ada banyak faktor untuk melihat prospek bagi IHSG. Di antaranya dari aspek keamanan, politik, dan ekonomi. Baca Juga:
Wall Street Menguat Saat Inflasi Produsen AS Turun Sebelumnya, dari sekian lembaga internasional seperti
International Monetary Fund (IMF), World Bank, atau Asian Development Bank (ADB) baru Morgan Stanley yang buka suara. Sejauh ini, ADB memproyeksikan perekonomian Indonesia relatif stabil dan bertahan dengan dukungan kekuatan konsumsi domestik. Menurut Nafan, pernyataan Morgan Stanley berkaitan dengan dinamika yang perlu menjadi bahan evaluasi bagi seluruh
stakeholders. Dari aspek keamanan dan politik, pemilu yang berjalan kondusif menjadi modal bagi pasar, meski pelaku pasar cenderung lebih bijaksana atau hati-hati dalam menanti momen peralihan kepemimpinan di bulan Oktober yang akan datang. “Pelaku pasar lebih bersikap
prudent terkait dengan implementasi program-program presiden berikutnya serta penentuan menteri-menteri sebagai pelaksana fungsi eksekutif," kata Nafan kepada Kontan.co.id, Kamis (13/6).
Baca Juga: The Fed Diproyeksikan Pangkas Suku Bunga Sekali Tahun Ini, Begini Arah IHSG Kemudian, komparasi antara aspek politik dan ekonomi yakni menyoal kebijakan fiskal atau anggaran negara. Nafan menilai, beban fiskal di periode berikutnya akan cenderung melebar. Selain itu, pemerintah perlu memperhatikan beberapa utang jatuh tempo yang harus segera dituntaskan yang simultan pada beban fiskal. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus ditekan dengan defisit seminimal mungkin bahkan perlu mencatatkan surplus yang menandakan optimisme pertumbuhan ekonomi. Di saat yang sama, adanya pelemahan rupiah akibat penerapan suku bunga tinggi oleh the Fed. Hal ini juga menyebabkan asing bersikap hati-hati dibuktikan dengan catatan
outflow yang kian membengkak. Di sisi lain, defisit transaksi berjalan dinilai cukup banyak serta kinerja ekspor yang melemah akibat adanya
low global demand. “Itu juga karena faktor rupiah dan suku bunga, itu dari sisi makro” terang Nafan.
Baca Juga: Menyaring Saham Lapis Kedua & Lapis Ketiga Saat IHSG Melandai di Level 6.800-an Adapun dari sisi mikro, kebijakan BEI atas penerapan FCA mempengaruhi market cap yang dulunya besar. Ambil contoh saham BREN menjadi tidak likuid karena
demand-supply yang tidak transparan. Dengan penerapan FCA, investor cenderung mengalihkan kepada saham yang tidak tergolong
special notation. Sehingga, penurunan kinerja IHSG senada dengan penurunan performa dari saham berkapitalisasi besar. Nafan optimistis IHSG masih akan mencatatkan kinerja positif di tahun ini. Dirinya menekankan pemangku kebijakan dalam hal ini eksekutif harus menerapkan kebijakan pro-pertumbuhan, pro-stabilitas, pro-lingkungan, dan pro-pasar. Adanya review kembali atas kebijakan BEI serta memanfaatkan momentum the Fed untuk mulai menerapkan pelonggaran kebijakan moneter menjadi katalis positif di semester kedua tahun 2024. Menyusul momen perilisan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II-2024 yang diproyeksikan kan menorehkan kinerja yang positif. Apabila
capital outflow pada IHSG berkurang, menurut Nafan, tidak membutuhkan waktu lama untuk saham-saham akan naik. Terlebih saham-saham
underweight seiring prospek emiten yang baik jadi momen yang tepat bagi investor untuk akumulasi beli.
Baca Juga: IHSG Melemah ke 6.831 Hari Ini (13/6), Asing Mencatat Net Sell di Luar Transaksi SILO Sementara itu Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi berpendapat, IHSG cenderung masih tertekan hingga akhir Juni 2024 IHSG akibat minim sentimen positif. Sedangkan di semester kedua 2024 terdapat sentimen berupa rilis kinerja kuartal II-2024 dan
rebalancing dari indeks mayor meliputi LQ45, IDX30, dan IDX80. “Jika kinerja positif maka penguatan dapat terjadi dan juga sebaliknya, meski demikian, dengan masih akan tertahannya suku bunga hingga akhir 2024 diperkirakan menekan penguatan IHSG,” kata Oktavianus kepada Kontan.co.id, Kamis (13/6).
Lebih lanjut, beberapa data makro Indonesia menunjukkan pelemahan antara lain nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, penjualan eceran yang terkontraksi serta
cost of fund yang meningkatkan
Non Performing Loan (NPL) perbankan, khususnya pada UMKM. Dengan demikian, kekhawatiran pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dan melemahnya daya beli berpotensi terjadi. “Tekanan pada IHSG kami perkirakan masih akan terjadi selama belum ada
stance dovish dari bank sentral,” kata Oktavianus. Dalam jangka menengah sekaligus panjang, Nafan merekomendasikan untuk
accumulative buy terhadap saham INDF, ITMG, TLKM, dan UNTR. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati