Alat musik jimbe asli dari Afrika ternyata bisa diproduksi perajin di dalam negeri. Selain laris untuk pasar domestik, jimbe itu banyak digemari pembeli mancanegara. Wajar jika produsen alat musik tabuh itu mampu mendulang omzet puluhan juta rupiah per bulan.Sebagian musisi di Indonesia mungkin sudah akrab dengan alat musik gendang, termasuk gendang bernama jimbe. Jimbe adalah alat musik tabuh yang berasal dari Zimbabwe, Afrika Selatan. Di negeri ini, jimbe kerap ditabuh untuk berbagai pertunjukan musik, mulai dari pertunjukan musik reggae, pop, jazz hingga musik daerah. Karena cocok dengan beragam jenis musik itulah, jimbe banyak digemari para seniman di Nusantara. Kesempatan ini pula yang tidak disia-siakan Deden Nurrohman, pemilik Panyindangan Artshop di Sumedang, Jawa Barat. Sejak tahun 2005 lalu Deden memproduksi jimbe untuk melayani permintaan jimbe dari para seniman. Selain itu, Deden juga melayani permintaan jimbe dari wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia.Walaupun berasal dari Afrika, Deden tidak mengalami kesulitan memproduksi jimbe. Ia membuat badan jimbe dari kayu jenis nangka atau mahoni. Sedangkan kulit tempat menabuh, menggunakan kulit sapi atau domba. Selain kulit, Deden juga menggunakan tali pendaki gunung atau climbing rope. Tali itu digunakan untuk mempererat dan mengikat kulit pada badan jimbe.Deden menjual jimbe itu dengan harga beragam. Mulai dari Rp 100.000 sampai dengan Rp 500.000 per unit. Dalam sebulan Deden bisa bisa menjual 300 unit jimbe dengan omzet Rp 90 juta. "Keuntungan bersihnya sekitar 15% sampai 25%," terang Deden. Selain pesanan dari Jawa Barat, Deden rutin mendapat pesanan jimbe dari Bali, Jakarta dan Balikpapan. Terkadang ia juga mendapat pesanan jimbe dari luar negeri seperti China, Spanyol dan Italia.Untuk menambah daya tarik produknya, Deden memberi tambahan ukiran khas Sunda pada jimbe itu. "Hal ini memperkuat identitas jimbe itu berasal dari tanah Sunda," kata Deden. Selain Deden ada Tomi Sasongko, pemilik Viola Jimbe Shop yang juga menikmati berkah penjualan jimbe di Malang, Jawa Timur. Sama dengan Deden, Tomi juga membuat jimbe dari kayu mahoni. Pertama kali produksi, Tomi berangkat dari hobi terhadap alat musik. Namun karena banyak yang pesan, Tomi memutuskan menekuni pembuatan jimbe itu secara serius. "Saya membuat jimbe sejak tujuh tahun yang lalu," terang Tomi.Selain menjual jimbe untuk pasar Bali, Tomi terkadang melayani pesanan jimbe dari beberapa negara seperti, Asia, Amerika Serikat, Australia, Eropa dan Afrika. "Amerika Serikat dan Afrika merupakan pasar jimbe yang potensial bagi kami ," ujar Tomi.Harga jimbe milik Tomi juga beragam tergantung ukuran. Mulai dari Rp 75.000 untuk ukuran terkecil hingga Rp 250.000 untuk ukuran terbesar. Dalam sebulan, Tommy mampu mendulang omzet Rp 50 juta per bulan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Menabuh laba dari pembuatan gendang khas Afrika
Alat musik jimbe asli dari Afrika ternyata bisa diproduksi perajin di dalam negeri. Selain laris untuk pasar domestik, jimbe itu banyak digemari pembeli mancanegara. Wajar jika produsen alat musik tabuh itu mampu mendulang omzet puluhan juta rupiah per bulan.Sebagian musisi di Indonesia mungkin sudah akrab dengan alat musik gendang, termasuk gendang bernama jimbe. Jimbe adalah alat musik tabuh yang berasal dari Zimbabwe, Afrika Selatan. Di negeri ini, jimbe kerap ditabuh untuk berbagai pertunjukan musik, mulai dari pertunjukan musik reggae, pop, jazz hingga musik daerah. Karena cocok dengan beragam jenis musik itulah, jimbe banyak digemari para seniman di Nusantara. Kesempatan ini pula yang tidak disia-siakan Deden Nurrohman, pemilik Panyindangan Artshop di Sumedang, Jawa Barat. Sejak tahun 2005 lalu Deden memproduksi jimbe untuk melayani permintaan jimbe dari para seniman. Selain itu, Deden juga melayani permintaan jimbe dari wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia.Walaupun berasal dari Afrika, Deden tidak mengalami kesulitan memproduksi jimbe. Ia membuat badan jimbe dari kayu jenis nangka atau mahoni. Sedangkan kulit tempat menabuh, menggunakan kulit sapi atau domba. Selain kulit, Deden juga menggunakan tali pendaki gunung atau climbing rope. Tali itu digunakan untuk mempererat dan mengikat kulit pada badan jimbe.Deden menjual jimbe itu dengan harga beragam. Mulai dari Rp 100.000 sampai dengan Rp 500.000 per unit. Dalam sebulan Deden bisa bisa menjual 300 unit jimbe dengan omzet Rp 90 juta. "Keuntungan bersihnya sekitar 15% sampai 25%," terang Deden. Selain pesanan dari Jawa Barat, Deden rutin mendapat pesanan jimbe dari Bali, Jakarta dan Balikpapan. Terkadang ia juga mendapat pesanan jimbe dari luar negeri seperti China, Spanyol dan Italia.Untuk menambah daya tarik produknya, Deden memberi tambahan ukiran khas Sunda pada jimbe itu. "Hal ini memperkuat identitas jimbe itu berasal dari tanah Sunda," kata Deden. Selain Deden ada Tomi Sasongko, pemilik Viola Jimbe Shop yang juga menikmati berkah penjualan jimbe di Malang, Jawa Timur. Sama dengan Deden, Tomi juga membuat jimbe dari kayu mahoni. Pertama kali produksi, Tomi berangkat dari hobi terhadap alat musik. Namun karena banyak yang pesan, Tomi memutuskan menekuni pembuatan jimbe itu secara serius. "Saya membuat jimbe sejak tujuh tahun yang lalu," terang Tomi.Selain menjual jimbe untuk pasar Bali, Tomi terkadang melayani pesanan jimbe dari beberapa negara seperti, Asia, Amerika Serikat, Australia, Eropa dan Afrika. "Amerika Serikat dan Afrika merupakan pasar jimbe yang potensial bagi kami ," ujar Tomi.Harga jimbe milik Tomi juga beragam tergantung ukuran. Mulai dari Rp 75.000 untuk ukuran terkecil hingga Rp 250.000 untuk ukuran terbesar. Dalam sebulan, Tommy mampu mendulang omzet Rp 50 juta per bulan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News