Menakar dampak dan risiko krisis energi terhadap pasar komoditas



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Krisis energi secara global semakin menghantarkan harga komoditas naik signifikan memasuki periode supercyle setelah pemulihan ekonomi mulai terjadi. Analis memproyeksikan tren kenaikan harga komoditas ini akan berlanjut hingga tahun depan. 

Krisis energi terjadi di sejumlah negara, seperti China, Eropa, Inggris, AS, dan kawasan Asia.

Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan krisis energi terjadi karena setelah beberapa negara berhasil menangani pandemi Covid-19, ekonomi secara global pulih dan kebutuhan akan komoditas energi meningkat. Namun, di satu sisi produksi berkurang sehingga suplai dan permintaan tidak sebanding. 


Dampak krisis energi membuat harga komoditas melambung tinggi. Apalagi selain karena sentimen krisis energi, permintaan komoditas energi jelang musim dingin akhir tahun juga meningkat. 

Baca Juga: IHSG melesat 2,06% hari ini, simak proyeksi analis pada perdagangan Kamis (7/10)

Terutama, permintaan batubara meningkat dari China dan India. Namun, produksi batubara di China menurun karena terhambat banjir bandang. "Krisis batubara di China membuat China mengimpor lebih banyak minyak, sehingga harga minyak juga ikut terangkat," kata Ibrahim, Rabu (6/10). 

Pasokan dan permintaan yang tidak seimbang juga merembet pada kenaikan harga crude palm oil (CPO). Padahal, Ibrahim sempat memproyeksikan harga CPO terkoreksi, tetapi dengan naiknya harga komoditas energi lain harga CPO juga jadi ikut kembali terangkat. 

Di satu sisi permintaan CPO dalam negeri untuk kebutuhan biodiesel tinggi, ekspor pun tinggi. Namun, produksi CPO masih terganggu, terutama produksi dari Malaysia. "Kekurangan tenaga kerja masih terjadi di Malaysia, produksi masih belum pulih," kata Ibrahim. 

Founder Traderindo.com Wahyu Tribowo Laksono mengatakan krisis energi yang membuat harga komoditas meningkat,  menguntungkan Indonesia sebagai negara eskportir untuk komoditas CPO, batubara, timah dan nikel. Kecuali, kenaikan harga minyak bisa merugikan Indonesia sebagai negara yang lebih banyak melakukan impor daripada ekspor minyak. 

Baca Juga: Pada Agustus catat rekor, ini perkiraan cadangan devisa bulan September 2021

Ibrahim memproyeksikan tren kenaikan harga komoditas ini akan berlanjut selama negara produksi komoditas belum menggenjot produksinya secara berkelanjutan.

"Belum tau kapan harga komoditas akan mereda setiap negara memiliki rencana dan regulasinya masing-masing," kata Ibrahim. 

Editor: Noverius Laoli