KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pembayaran utang jatuh tempo pemerintah sebesar Rp 800 triliun di 2025 menjadi yang terbesar sepanjang sejarah. Utang tahun depan terhitung meningkat bila dibandingkan tahun ini yakni sebesar
Rp 434,29 triliun. Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk membayar utang jatuh tempo tersebut? Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai, untuk membayar utang jatuh tempo tersebut pemerintah bisa melakukan
refinancing, yang mana investor melakukan penempatan kembali (reinvestment) pada SBN yang diterbitkan oleh pemerintah.
Baca Juga: Bersiap! Puncak Utang Jatuh Tempo Akan Menanti Pemerintahan Baru “Namun jika ini dilakukan tentu akan berpengaruh ke ekonomi. Nah tergantung kondisi pasar. Kalau kondisi pasar lagi longgar, nggak ada masalah, jadi
yield nya bisa murah. Tetapi kalau kondisi pasarnya nggak baik dan
supply nya banyak, tapi
demand nya kurang akhirnya
yield nya kan naik. Kalau
yield naik kita bayar bunga lebih tinggi,” tutur David kepada Kontan, Selasa (23/7). Meski begitu, David menambahkan
refinancing SBN untuk melunasi pembayaran utang jatuh tempo sebenarnya tak masalah jika pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nominal Indonesia tumbuh lebih tinggi bila dibandingkan pertumbuhan PDB bunga utang. Namun Ia mencatat, sejak 2012 pertumbuhan PDB nominal rata-rata hanya 14,4% secara tahunan atau
year on year (yoy), tetapi PDB bunga utang tumbuh rata-rata 14,4% yoy. “Ini agak mengkhawatirkan kalau beban bunga tumbuh lebih cepat dari pada pertumbuhan PDB nominalnya,” kata David.
Baca Juga: Ekonom Ini Sebut Utang Pemerintah Dalam Kondisi Tidak Aman Di sisi lain, Ia juga menilai pemerintah tidak bisa terus menerus mengandalkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk memenuhi kebutuhan anggaran. Sehingga mau tidak mau, pemerintah harus putar strategi untuk meningkatkan penerimaan negara. Misalnya dengan menggali potensi-potensi penerimaan yang saat ini belum tersentuh. Menurutnya, pemerintah juga bisa mengandalkan sektor ekonomi digital, kripto dan
fintech untuk mengerek penerimaan lebih banyak. Pasalnya sektor tersebut menyumbang cukup banyak penerimaan pajak sejak beberapa tahun lalu.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital mencapai Rp 25,88 triliun hingga 30 Juni 2024. Sementara itu, pendapatan pajak dari bisnis
fintech peer to peer (P2P) lending dan pajak kripto mencapai Rp 2,53 triliun hingga Maret 2024.
Baca Juga: Meracik Strategi Uang Pensiun untuk Investasi Saham “Belum yang lainnya juga masih bisa digali, misalnya dari cukai. Selain itu pemerintah juga harus melihat di lapangan banyak perusahaan yang justru tidak semuanya bayar PPN,” ungkapnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli