Menakar Dampak Pemangkasan BI Rate Terhadap Utang Jatuh Tempo



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menghadapi utang jatuh tempo sebesar Rp 757 triliun pada 2025, dan secara tak terduga Bank Indonesia (BI) mulai memangkas suku bunga acuan di awal tahun ini sebesar 25 basis poin (bps) ke 5,75%.

Senior Economist DBS Group Research, Radhika Rao mengatakan, bahwa BI mengejutkan dengan penurunan suku bunga sebesar 25bps yang menandakan pergeseran fokus ke arah pertumbuhan. Sebab, keputusan ini disertai dengan revisi ke bawah pada proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB).

"Pada dasarnya, ini mungkin juga merupakan sebuah langkah untuk mencegah pembacaan PDB yang lebih lemah untuk kuartal terakhir tahun ini," tulisnya dalam riset, Rabu (15/1).


Baca Juga: Bayar Utang Jatuh Tempo ke BI Lewat Debt Switch

Pemangkasan tersebut juga dilihat kontras dengan nada kehati-hatian terhadap volatilitas rupiah pada pertemuan bulan Desember. Terlebih, di tengah mata uang rupiah yang terus melemah sepanjang tahun ini akibat penguatan dolar Amerika Serikat (AS). 

Radhika juga menuturkan bahwa berdasarkan Deputi Gubernur, Budiman penurunan suku bunga ini juga kemungkinan akan ditransmisikan ke suku bunga pasar jangka pendek, termasuk SRBI.

Budiman menambahkan bahwa asumsi dasar BI mencakup satu kali penurunan suku bunga acuan AS di kuartal II 2025.

Pada konferensi analis, BI menyoroti mekanisme pertukaran obligasi bilateral (debt switching) yang akan dilakukan pada tahun 2025, yang melibatkan obligasi Covid senilai Rp 100 triliun, yang akan ditukar dengan harga dan tenor pasar, berkoordinasi dengan pemerintah.

Head of Economic Research Division Pefindo, Suhindarto berpandangan bahwa utang jatuh tempo di tahun ini bukan menjadi pertimbangan pemangkasan suku bunga acuan BI. 

Baca Juga: Utang Jatuh Tempo Pemerintah di 2025 Meningkat, Rp 100 Triliun Akan Dibayarkan ke BI

"Kami lebih melihat kebijakan tersebut lebih ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tahun 2025 ini secara keseluruhan," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (16/1).

Sebab, katanya, BI selalu menekankan bahwa kebijakan moneter yang diambil selalu mempertimbangkan keseimbangan antara pro-stability dan pro-growth.

"Secara stabilitas, kondisi di dalam negeri sejauh ini berada dalam kondisi yang cukup baik. Namun dari sisi pertumbuhan ekonomi, terdapat risiko perlambatan yang beberapa bulan terakhir terlihat cukup nyata," lanjutnya.

Inflasi telah turun dan persentasenya pada akhir tahun lalu berada di 1,57%, mendekati batas bawah rentang target, yakni 1,5%, yang mengindikasikan terjadi pelemahan dari sisi konsumsi masyarakat.

Beberapa indikator konsumsi dalam negeri lainnya yang terlihat melambat juga mengkonfirmasi bahwa stimulus lebih lanjut dari sisi moneter diperlukan untuk mendorong pertumbuhan. Tanda lainnya yang bisa terlihat adalah dari sisi likuiditas yang mulai terus mengetat.

Baca Juga: Utang Jatuh Tempo Bayangi Pemerintahan Prabowo

Penurunan suku bunga diharapkan dapat mendorong perbankan untuk lebih memilih menyalurkan kredit dibandingkan menaruh dananya pada instrumen obligasi maupun SRBI.

"Sehingga dengan begitu, diharapkan penciptaan investasi tetap dari dunia usaha juga akan meningkat dan ekonomi juga akan dapat tumbuh dengan lebih baik," terangnya.

Di sisi lain, penurunan suku bunga ini juga memberikan risiko pada tertekannya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Namun BI juga telah menyatakan sudah mendapatkan gambaran yang lebih jelas pada arah kebijakan di AS, termasuk stance kebijakan moneter the Fed dan defisit fiskal tahun 2025.

Dengan demikian, BI bisa menakar dampaknya pada US Treasury dan indeks dolar (DXY). "Dari situ BI melihat nilai tukar masih akan relatif bisa dijaga stabilitasnya meskipun pelonggaran kebijakan moneter di dalam negeri dilanjutkan," imbuhnya.

Selanjutnya: WIKA Beton Raih Penghargaan Padmamitra Award 2024 Kategori Infrastruktur

Menarik Dibaca: 10 Rekomendasi Makanan Sehat Terbaik untuk Penderita Diabetes Konsumsi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli