Menakar Dampak Perang dan Naiknya Inflasi terhadap Outlook Pasar Reksadana



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konflik Rusia – Ukraina belum juga menemui titik terang, bahkan semakin memanas. Pertemuan diplomatis terakhir antara Rusia dan Menteri Luar Negeri Ukraina yang dijembatani Turki gagal menemui titik kesepakatan sebab Rusia masih belum berencana untuk keluar dari Ukraina. 

Belum lagi, Executive Order yang baru saja ditandatangani Presiden AS untuk melarang impor LNG, minyak dan batubara dari Rusia sebagai sanksi untuk memaksa Rusia menghentikan agresi militernya, semakin memperkeruh keadaan. Tak hanya AS, aliansi negara barat lainnya seperti Inggris sedang meninjau rencananya untuk menghentikan impor gas dari Rusia.

Infovesta Utama dalam laporan mingguannya yang dirilis Senin (14/3), menilai, dengan ketergantungan impor minyak dan gas dari Rusia sebagai salah satu penghasil terbesar dunia, artinya akan ada gap terhadap pasokan yang perlu diisi. 


Baca Juga: Kinerja Bank Digital Mulai Membaik

Pada akhirnya, upaya pemboikotan minyak dan gas Rusia dinilai justru berpotensi memperparah gangguan pasokan. Alhasil hal tersebut semakin mengerek harga komoditas yang tentunya dapat mengangkat tingkat inflasi.

Hal ini tercermin dari rilis statistik inflasi AS per Februari 2022 yang terakselerasi ke level 7,9% di mana tertinggi sejak 40 tahun terakhir dengan kontributor utama berasal dari energi sebesar 25,6% (yang makin diperparah oleh perang Rusia-Ukraina). 

“Selain itu, Bank Sentral Eropa (ECB) baru saja mengumumkan akan mempercepat program pembelian aset (tapering) di mana disinyalir akan dimulai bulan depan dan berakhir pada kuartal III-2022. Pertimbangan tersebut seiring dengan lonjakan inflasi Zona Eropa (5,8%) yang tak terbendungi,” tulis Infovesta Utama dalam risetnya.

Infovesta Utama menyebut, hal tersebut semakin memberikan ketidakpastian terhadap outlook ekonomi global dan menimbulkan kekhawatiran akan kebijakan moneter yang akan ditempuh di tengah perang yang masih terjadi. 

Baca Juga: Rusia Akan Bayar Utang dengan Rubel Jika Sanksi Cegah Pakai Mata Uang Asing

Tak hanya pasar surat utang global yang kehilangan tenaga, pasar surat utang dalam negeri juga mengalami tekanan.

Infovesta Utama meyakini, masih belum jelasnya imbas eskalasi perang dan kebijakan The Fed membuat investor hanya bisa menduga-duga dampak yang mungkin terjadi pada pasar SBN.

Hal tersebut pada akhirnya mendorong yield dari pasar SBN naik ke level di atas 6,8% dalam beberapa pekan terakhir. Alhasil, kinerja reksadana pendapatan dengan underlying asset SBN pun tertekan. 

Baca Juga: Jepang Mendesak Perusahaan Kripto untuk Patuhi Sanksi Terhadap Rusia

Di sisi lain, pasar saham dinilai lebih menarik yang didorong oleh kenaikan harga komoditas yang menguntungkan Indonesia sebagai salah satu produsen energi terbesar di dunia di tengah risiko kenaikan harga bahan baku. 

“Hal tersebut tentunya merupakan momentum yang baik bagi reksadana saham,” tutup Infovesta Utama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli