Menakar Dampak Skema Pendanaan Just Energy Transition Partnership Bagi Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia bersama sekelompok negara maju, telah menyepakati skema pendanaan transisi energi yang disebut sebagai Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP) dengan target nilai investasi US$ 20 miliar sebagai salah satu pencapaian Presidensi G20. 

Rencana investasi (investment plan) dan detail PLTU mana yang akan dipensiunkan dini melalui skema JETP masih akan dirampungkan dalam 6 bulan ke depan. Untuk itu sangatlah penting memastikan bahwa proses ini akan berjalan secara transparan dan partisipatif agar tidak mencederai prinsip utama kerjasamanya yaitu berkeadilan.

Asal tahu saja, skema pendanaan JETP terdiri atas US$ 10 miliar yang berasal dari pendanaan publik berupa pinjaman lunak dan hibah. Sisanya US$ 10 miliar berasal dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). 

Baca Juga: APLSI Siap Dukung Langkah Transisi Energi oleh Pemerintah

GFANZ terdiri atas  Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, and Standard Chartered. Nantinya skema pendanaan JETP akan dimanfaatkan untuk mendorong pemensiunan dini PLTU batu bara di Indonesia serta investasi di teknologi dan industri energi terbarukan. 

Masyarakat sipil Indonesia yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia menyambut skema pendanaan ini sebagai sinyal positif untuk mendorong percepatan transisi energi. 

Namun demikian, #BersihkanIndonesia mempunyai banyak catatan kritis penting terkait prinsip-prinsip yang mendasari perumusan skema JETP agar tidak menjadi pembenaran rencana negara untuk tetap bergantung pada pembangkit berbahan bakar batu bara.

Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, pemerintah Indonesia harus segera menindaklanjuti komitmen JETP dengan segera menyusun kebijakan yang menjamin proses transisi energi benar-benar berjalan dengan adil.

“Untuk mencapai sasaran dari program tersebut, maka JETP sejak awal harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (15/11). 

Tata menegaskan, pendanaan ini juga seharusnya melarang dengan tegas semua PLTU baru dan memberikan disinsentif di sektor batu bara . Selain itu ada dukungan peraturan yang jelas untuk meningkatkan skala energi terbarukan dan menangani reformasi yang sangat dibutuhkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). 

#BersihkanIndonesia juga menyoroti kegagalan pemerintah Indonesia mengatur penghentian pembangunan PLTU sebagai bagian dari komitmen untuk keluar dari ketergantungan batu bara dan melakukan pemensiunan dini. 

Baca Juga: Transisi Energi, PLN Buka Peluang Kerjasama dengan Aliansi Filantropi Global

Kendati Peraturan Presiden No 112/2022 mengatur penghentian perencanaan pembangunan PLTU batu bara, namun Perpres itu masih memperbolehkan pembangunan 13 gigawatt PLTU yang ada dalam RUPTL 2021-2030. Alasannya, Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) sudah terlanjur diberikan dan konstruksi sedang berlangsung. Hal ini jelas mencederai rencana pemanfaatan pendanaan JETP untuk mengupayakan pensiun dini PLTU batu bara. 

Andri Prasetiyo, Program Manager dan Peneliti Trend Asia menyatakan, JETP di Indonesia dibayangi risiko kegagalan besar dalam upaya dekarbonisasi sistem kelistrikan. 

“Karena pemerintah memberi sinyal ambigu dalam transisi energi dengan tidak menetapkan tenggat yang jelas untuk penghentian pembangunan PLTU baru dan masih berupaya memperluas fosil di jaringan listrik yang akan menghambat pengembangan energi terbarukan,” ujarnya. 

Perpres 112/2022 juga masih membolehkan penambahan kapasitas PLTU batu bara untuk penggunaan industri. Diperkirakan, sebanyak 15 GW PLTU batu bara akan dibangun untuk menunjang berbagai proses industri mineral dan logam di berbagai kawasan di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan tujuan Indonesia mencapai nol emisi bersih tahun 2060 atau lebih cepat, serta komitmen Indonesia pada Perjanjian Paris.

Andri menyoroti upaya Senator Amerika Serikat John Kerry selaku pemrakarsa JETP Indonesia yang menggadang-gadang pendanaan karbon sebagai bagian dari skema pendanaan transisi energi, khususnya di Indonesia. 

Titik berat pendanaan swasta akan menyulitkan upaya transisi energi yang dibutuhkan tetapi kurang menarik bagi swasta dan cenderung menyelipkan solusi-solusi semu (false solution) yang tidak transformatif bagi sistem energi dan perekonomian Indonesia. Contohnya, dukungan berlebihan pada teknologi mobil listrik berbasis baterai, hidrogen serta carbon, capture, and storage/carbon, capture, utilization, and storage (CCS/CCUS). 

Baca Juga: Ini Dampak Pemensiunan PLTU Cirebon 1 Gunakan Skema ETM

Grita Anindarini, Deputi Direktur Bidang Program Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menambahkan, mekanisme pertanggungjawaban hukum dan lingkungan terhadap PLTU yang akan dipensiunkan perlu diperjelas. 

“Selama ini, banyak PLTU batu bara berdampak terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan serta merugikan masyarakat,” terangnya. 

Dia menegaskan, Pemerintah harus memastikan bahwa skema penyaluran dana ini tidak menghilangkan kewajiban pemilik pembangkit untuk memulihkan lingkungan serta menyelesaikan konflik, utamanya dengan masyarakat terdampak. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .