KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom dan pakar hukum mengkritisi dampak serius yang ditimbulkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) serta wacana kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos atau tanpa identitas merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes). Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho, mengatakan bahwa berdasarkan hasil kajian Indef dampak ekonomi yang hilang atas rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek dapat mencapai Rp 308 triliun. Menurut Andry, rencana aturan tersebut juga akan meningkatkan peredaran rokok ilegal di masyarakat. Tanpa merek dan identitas yang jelas, produk ilegal akan lebih mudah menyerupai produk legal di pasaran.
Baca Juga: Penyeragaman Kemasan Rokok Tanpa Merek Dinilai Hambat Pertumbuhan Ekonomi “Produsen rokok ilegal tidak perlu lagi repot memikirkan desain kemasan yang kompleks. Dengan aturan kemasan tanpa identitas merek, mereka bisa langsung memasukkan produknya ke pasar, dan pemerintah akan kesulitan dalam pengawasan serta identifikasi produk,” ujarnya dalam diskusi media bertajuk “
Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8 persen: Tantangan Industri Tembakau di Bawah Kebijakan Baru” di Jakarta, Selasa, 5 November 2024. Selain itu, Andry mengungkapkan dari sisi penerimaan negara, ada potensi hilangnya Rp 160,6 triliun atau sekitar 7% dari penerimaan pajak jika aturan itu disahkan, dan membuat target penerimaan negara sulit tercapai. Jika regulasi ini diterapkan, target penerimaan negara sebesar Rp 218,7 triliun untuk tahun ini kemungkinan besar tidak akan tercapai. Pasalnya, lanjut Andry, industri hasil tembakau merupakan salah satu penyumbang signifikan bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sebelum pandemi COVID-19, industri ini menyumbang hingga 6,9 persen terhadap PDB, namun angka ini terus menurun setiap tahunnya.
Baca Juga: Asosiasi Petani Tembakau Imbau Pemerintah Aturan yang Sejahterakan Petani Lebih dari itu, Ia mengingatkan bahwa industri hasil tembakau adalah sektor yang besar dalam menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data Indef, sekitar 2,29 juta orang atau sekitar 1,6% dari total pekerja akan terdampak langsung oleh regulasi ini. “Pada 2019, industri ini menyerap 32% dari total pekerja di sektor manufaktur. Namun, tekanan regulasi terus membuat para pekerja di sektor ini rentan terdampak,” jelasnya. Ia juga menekankan perlunya diskusi lintas kementerian dalam menentukan kebijakan terkait industri hasil tembakau, mengingat dampaknya yang menyeluruh. Karena menurutnya, kebijakan ini bukan hanya urusan Kementerian Keuangan atau Kementerian Kesehatan saja, tapi juga Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Ketenagakerjaan yang seharusnya ikut dilibatkan.
Baca Juga: Serikat Buruh Tembakau Desak Kemenkes Batalkan Aturan Kemasan Rokok Polos Di samping itu, ketentuan zonasi larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak dalam PP 28/2024 juga dinilai Andry akan memukul pelaku usaha ritel yang sebelumnya sudah beroperasi di area tersebut. “Kebijakan zonasi ini perlu dipertimbangkan ulang untuk menjaga keseimbangan antara aturan kesehatan dan keberlangsungan usaha,” tegasnya. Pada kesempatan yang sama, Andry mengungkapkan pentingnya fokus pada empat hal utama untuk keberlanjutan industri ini. Pertama, penerimaan negara; kedua, pengendalian konsumsi; ketiga, perlindungan tenaga kerja; dan keempat, penanganan rokok ilegal. Regulasi-regulasi ini seharusnya lebih fokus pada empat hal tersebut agar dampaknya tidak berat sebelah dan dapat tetap menjaga stabilitas ekonomi,” tambahnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul INDEF Beberkan Dampak Ekonomi dari Kebijakan Kemasan Rokok Polos, https://www.tribunnews.com/bisnis/2024/11/08/indef-beberkan-dampak-ekonomi-dari-kebijakan-kemasan-rokok-polos. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli