Menakar efek beleid baru tarif pesawat terbang ke emiten penerbangan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polemik harga tiket pesawat udara berakhir seiring dengan dikeluarkannya beleid oleh Kementerian Perhubungan pada 15 Mei 2019 lalu. Dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkatan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri itu, pemerintah melakukan penyesuaian atas tarif batas atas untuk maskapai penerbangan.

Beleid itu memutuskan beberapa poin. Diantaranya terdapat penyesuaian tarif batas atas (TBA) sekitar 12% hingga 16%. Untuk maskapai berbiaya rendah atau low cost carries (LCC) seperti Citilink, Air Asia dan Lion Air dapat mengenakan tarif 35% hingga 85% dari total tarif batas atas (TBA). Sedangkan maskapai jasa medium dan full service seperti Garuda Indonesia, Sriwijaya Air dan Batik Air dapat mematok tarif maksimum 90% hingga 100% dari TBA.

Lantas bagaimana pengaruh beleid tersebut kepada emiten penerbangan yang melantai di bursa? Asal tahu saja ada dua emiten maskpai penumpang yang melantai di bursa, yakni PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dan PT Air Asia Indonesia Tbk (CMPP).


Lembaga pemeringkat global Fitch Ratings memproyeksikan, beleid itu akan lebih terasa langsung bagi maskapai penyedia jasa full service, seperti Garuda Indonesia (GIAA). Dalam riset itu, Fitch menyebut kinerja GIAA berpotensi mengalami nasib baik lantasan tarif batas bawah (TBB) menjadi lebih tinggi. Sebelumnya, Kemenhub sudah memutuskan menaikkan TBB tiket pesawat menjadi sekitar 35% dari batas atas, lebih tinggi dari sebelumnya yang sebesar 30% dari batas atas.

Dalam risetnya, Fitch menilai, tingkat kompetisi yang lebih rendah dengan industri yang terkonsolidasi, akan mampu menutupi dampak dari penurunan TBA pada maskapai full service. Terkhusus untuk, GIAA hal ini juga menguntungkan lantaran maskapai penyedia jasa medium Sriwijaya Air kini berada di bawah GIAA.

Analis Jasa Utama Capital Sekuritas Chris Apriliony mengatakan, menarik untuk melihat kinerja GIAA pasca beleid tersebut diberlakukan. “Tahun 2018, GIAA mulai mencatatkan keuntungan. Plus selama kuartal I 2019, laba bersih GIAA juga meningkat secara year on year,” kata Chris ketika dihubungi Kontan.co.id, Senin (27/5).

Chris mengatakan, beleid itu membuat GIAA bisa menyisakan margin keuntungan dari penjualan tiketnya. “Karena kalau dibandingkan dengan maskapai lain, harga jualnya masih cukup tinggi,” tambah Chris.

Selama kuartal I 2019 lalu, pendapatan penumpang domestik Garuda Indonesia tercatat meningkat 11,2% dibanding periode sama tahun lalu. Pendapatan Garuda Indonesia tercatat sebesar US$ 333 juta. Dengan asumsi kurs rupiah terhadap US dollar sebesar Rp 14.400, jumlah pendapatan Garuda Indonesia untuk lini tersebut setara dengan Rp 4,79 triliun.

Sedangkan pendapatan anak perusahaan Garuda Indonesia, yaitu Citilink, melesat 55,9% menjadi US$ 187 juta di kuartal I 2019 dibanding periode sama tahun lalu.

Analis Mirae Asset Sekuritas Lee Young Jun juga mengatakan, harga tike GIAA selama non-peak season sudah lebih rendah dari batas atas. Alhasil, permintaan justru akan bergeser ke layanan full service. “Gap harga antara penerbangan full services dengan low cost semakin menyempit,” kata Lee ketika dihubungi Kontan, (27/5).

Lee mempredikis, kinerja GIAA akan tetap layak untuk diperhatikan. Ia memroyeksikan pendapatan GIAA sepanjang tahun 2019 dapat mencapai angka US$ 4,93 miliar atau naik 12,7% dari tahun lalu yang senilai US$ 4,37 miliar.

Sementara itu, kebijakan baru mengenai tarif atas dan bawah itu tidak akan terlalu terasa signifikan bagi CMPP. Hal tersebut lantaran CMPP sendiri merupakan maskapai yang masuk dalam klasifikasi sebagai maskapai berbiaya rendah atau LCC.

“Kalau dilihat, betul memang bahwa harga tiket Air Asia juga masih normal. Belum ada pengaruh yang cukup signifikan. Agak berat bagi perusahaan, karena di tahun 2018 lalu masih mengalami kerugian cukup besar,” tandas Chris.

Chris juga menambahkan, secara fundamental CMPP masih terlihat tertekan. Satu-satunya cara untuk bisa membalikkan kinerja adalah dengan melakukan efisiensi operasional perusahaan. “Tetapi hal ini tidak mudah karena justru operasional itulah yang penting karena menyangkut pula faktor keamanan,” tandas Chris.

Lee juga mengatakan hal serupa. “Efek kepada CMPP kecil karena mereka penerbangan low-cost. Lagi pula market share mereka untuk penerbangan domestik juga mini,” tuturnya.

Meski pendapatan tumbuh 11,02% dari Rp 3,81 triliun menjadi Rp 4, 23 triliun di tahun 2018, namun perusahaan milik taipan Tony Fernandes itu masih mencatatkan kerugian. Tak main-main, alih-alih bisa ditekan, kerugiannya malah melonjak hingga 76,98%. Tercatat, sepanjang tahun 2018 rugi yang diderita CMPP mencapai Rp 907,29 miliar.

Pun di kuartal I tahun ini. CMPP masih membukukan kerugian sebesar Rp 93,59 miliar. Padahal pendapatan tumbuh 57,93% secara tahunan menjadi Rp 1,33 triliun.

Lantas bagaimana dengan proyeksi sahamnya? Baik Chris dan Lee sama-sama tidak merekomendasikan investor untuk membeli saham CMPP. Selain karena fundamental, likuiditas saham tersebut juga mengkhawatirkan.

Dua analis itu lebih merekomendasikan para investor untuk memburu saham GIAA. Lee merekomendasikan saham GIAA dengan target harga Rp 600 per saham. Sedangkan Chris merekomendasikan saham GIAA dengan target harga Rp 550 per saham.

Meski begitu, dua analis itu mengingatkan mengenai risiko berburu saham emiten penerbangan. “Terlalu banyak hal yang dapat membuat kinerja penerbangan memburuk,” kata Chris. Secara lebih spesifik, Lee mengacu pada intervensi pemerintah, volatilitas harga bahan bakar hingga penerapan standar akuntansi baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat