Menakar efek perlambatan China ke Indonesia



JAKARTA. Dalam beberapa dekade terakhir, China berhasil membuktikan diri sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia. Bahkan, secara global, pertumbuhan ekonomi China digadang-gadang akan mengalahkan perekonomian AS.

Prediksi tersebut didapat dari hasil studi yang dilakukan oleh Global Attitudes Project dari Pew Reserach Center. "Hasil studi yang dilakukan dari 20 negara yang disurvei sejak krisis finansial global pada 2008 menunjukkan, 41% responden menyatakan AS sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia. Di sisi lain, 34% responden berpandangan China yang lebih tepat untuk menggantikan posisi tersebut," demikian hasil riset seperti yang dilansir Associated Press (19/7) lalu.

Kendati begitu, seperti halnya negara-negara lain di dunia, ekonomi China tak cukup kebal dalam menerima gempuran krisis ekonomi yang terjadi di AS dan Eropa. Belakangan, data-data yang dirilis pemerintah Negeri Panda menunjukkan adanya sinyal perlambatan.


Perlambatan ekonomi China terlihat dari jumlah miliarder negara ini yang hanya tumbuh 3% pada tahun 2012 lalu. Berdasarkan riset Hurun Research Instutute dan GroupM Knowledge, angka ini merupakan kenaikan paling mini dalam lima tahun belakangan.

Saat ini, hanya 1 juta orang miliarder di China. Sekitar 184.000 di anatranya tinggal di Beijing. Sementara, 172.000 orang berasal dari Guangdong dan 147.000 orang lainnya berasal dari Shangahi. Angka ini sekaligus menggambarkan perlambatan ekonomi China yang hanya tumbuh 7,8% di tahun lalu.

Salah satu indikasi lain yang menunjukkan perlambatan ekonomi China adalah pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2013 sebesar 7,5% dari 7,7% pada kuartal sebelumnya.  Berdasarkan data yang dirilis Badan Moneter Internasioanl (IMF), perlambatan ini dipicu oleh penurunan hasil produksi pabrik yang memiliki risiko turun lebih dalam ke depannya di tengah upaya pemerintah untuk menekan ekspansi kredit guna menghindari ancaman dari krisis keuangan.

Kendati demikian, data China kembali memberikan kejutan. Di luar prediksi, indeks manufaktur China mencatatkan penguatan pada Juli 2013. Data yang dirilis Biro Statistik Nasional China dan China Federation of Logistic and Purchasing di Beijing menunjukkan, Puchasing Manager's Index (PMI) China berada di posisi 50,3. Bandingkan dengan estimasi nilai tengah 35 analis yang disurvei Bloomberg yang mematok angka 49,8. Pencapaian tersebut juga lebih tinggi ketimbang perolehan Juni lalu yang hanya sebesar 50,1. Nilai yang menunjukkan angka di atas 50 menandakan adanya ekspansi. Analis menilai, kejutan positif dari data PMI China ini merupakan hasil dari kian pulihnya sentimen bisnis akibat sokongan dari pengumuman stimulus Beijing beberapa waktu terakhir. "Sejak pertengahan Juli, Perdana Menteri Li sudah menegaskan bahwa pemerintahannya akan terus berupaya untuk mencapai target pertumbuhan 7,5% melalui pelonggaran kebijakan, termasuk menambah investasi di infrastructure fixed asset investment," papar Ting Lu, head of Greater China economist Bank of America Merrill Lynch. Memang beberapa waktu lalu, pemerintah China merilis inisatif untuk menggairahkan kembali perekonomian China yang melambat. Termasuk di antaranya memangkas pajak bagi perusahaan kecil dan menengah serta menetapkan kebijakan untuk menstabilkan tingkat ekspor. Pemerintah Beijing juga mempercepat investasi pembangunan jalur kereta. Menurut Dariusz Kowalczyk, senior economist Asia ex Japan Credit Agricole, data ini kemungkinan berakhirnya kejutan negatif dari data ekonomi negara China. "Hal ini juga pertanda dimulainya pembalikan sentimen atas China," ujarnya. Perubahan sentimen tersebut juga dapat menjelaskan mengapa investor mengabaikan data aktivitas manufaktur lain, yang menunjukkan gambaran lain dari perekonomian China. Sebelumnya, hasil survei HSBC Holdings Plc dan Markit Economics merilis hasil indeks manufaktur China pada Rabu (24/7). Hasil survei menunjukkan, indek manufaktur China hanya sebesar 47,7%. Indeks tersebut merupakan level terendah dalam 11 bulan terakhir. Catatan saja, angka indeks manufaktur yang berada di bawah level 50 mengindikasikan adanya kontraksi pada perekonomian. Menurut Lu, seiring dengan perubahan ekonomi China yang tidak lagi bergantung pada ekspor, investor harus fokus pada data PMI resmi dari pemerintah. "Dalam pandangan kami, pada saat ini, kita harus benar-benar fokus pada data resmi PMI dibanding HSBC karena tingkat ekspor saat ini hanya berkontribusi 10% dari total Produk Domestik Bruto China," papar Lu.   

Pesimisme terhadap China

Di luar hal tersebut, banyak pengamat yang pesimistis terhadap perekonomian China. Mereka bahkan mengingatkan bahwa angka ekonomi China yang dirilis oleh pemerintah setempat tumbuh terlalu tinggi secara dramatis. Salah satunya adalah Robert Barbera, co-director John Hopkins Center for Financial Economics. Dia menilai, saat ini perekonomian China sudah mengalami kontraksi. "Jika Anda mengambil 10 negara yang merupakan partner dagang China, Anda akan mendapatkan data bahwa pemerintah China tidak melakukan apa-apa dengan perlambatan yang ada. Data menunjukkan, apa yang mereka dapatkan adalah minus 4% dari tahun ke tahun," jelasnya. Pendapat serupa juga datang dari Patrick Wolff, founder and managing partner Grandmaster Capital. "China bahkan tidak mencatatkan pertumbuhan sama sekali pada titik saat ini," tegasnya. Dua pernyataan tersebut sangat kontras dengan hasil perhitungan pemerintah China yang menyatakan bahwa pertumbuhan China di kuartal II mencapai 7,5%. Hal itu menandakan perlambatan sudah terjadi untuk 9 dari 10 kuartal dan jatuh di bawah target yang ditetapkan pemerintah untuk tahun 2013. "Perdana Menteri China saat ini, seperti yang dikutip WikiLeaks bilang, dia tidak mempercayai angka PDB yang ada di sana. Semua orang harus melupakan data PDB China seluruhnya. Itu semua omong kosong," kata Wolff. Chanos, founder of hedge fund Kynikos Associates juga mengingatkan, bubble yang terjadi pada kredit China semakin hari semakin memburuk. "Salah satu alasan mengapa suku bunga semalam di China semakin tinggi adalah karena perbankan tidak memiliki dana modal. Mereka tidak punya dana karena kredit yang mereka kucurkan tidak dibayarkan kembali. Kredit macet dipicu oleh perusahaan yang tidak bisa memproduksi barang," papar Chanos.

Dugaan manipulasi data

Perbedaan yang terjadi antara kondisi riil dengan data yang dirilis pemerintah menimbulkan dugaan bahwa China melakukan manipulasi data ekonominya.  Muncul dugaan, China telah memanipulasi data inflasi selama bertahun-tahun. Hal itu yang menyebabkan perekonomian mereka berantakan saat ini.

Hasil riset terbaru yang ditulis oleh Christopher Balding dari HSBC BUsiness School di Peking University menunjukkan secara detil bagaimana China melakukan manipulasi data tingkat inflasi.

Balding mengungkapkan, antara tahun 2000 dan 2011, China melaporkan bahwa harga perumahan hanya naik sebesar 8% dan harga rumah di perkotaan naik 6%. Hal ini dinilai mustahil jika mempertimbangkan nominal Produk Domestik Bruto China yang naik hingga empat kali lipat serta suplai uang yang melonjak enam kali lipat pada periode yang sama.

"Klaim yang menunjukkan bahwa komponen perumahan dari inflasi hanya tumbuh kurang dari 10% merupakan omong kosong," tegas Balding.

Di luar isu tersebut, perlambatan ekonomi China mendapatkan perhatian. Sebab, ekonomi China turut mempengaruhi ekonomi global. Salah satu alasan mengapa perekonomian China dipandang penting adalah China memegang surat obligasi AS dalam jumlah yang tidak sedikit. Jika perekonomian China mengalami crash, pemerintah China akan menjual surat obligasi AS untuk mendapatkan dana segar. Hal itulah yang terjadi kini.

Pada Juni 2013 lalu, China yang merupakan kreditur asing terbesar AS, memangkas kepemilikan obligasinya menjadi US$ 1,2758 triliun. Sementara, Jepang juga melakukan hal yang sama untuk tiga bulan berturut-turut menjadi US$ 1,0834 triliun. Jika dikombinasikan, net sell obligasi kedua negara mencapai US$ 40 miliar pada Juni 2013.

Aksi jual oleh China itu mengerek tingkat yield dan suku bunga acuan AS.

Nugroho SBM, Dosen Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, menjelaskan, jika berbicara soal pemicu maka yang menyebabkan perlambatan ekonomi China tak lain dan tak bukan adalah masalah melemahnya perekonomian Eropa. Padahal, kawasan Eropa menjadi tujuan ekspor produk-produk China. Tapi, perlambatan ini juga bisa karena disengaja oleh pemerintah China itu sendiri.

"Ada kebijakan yang disengaja oleh pemerintah dan Bank Sentral China agar perekonomian China tetap kompetetif.Pertumbuhan ekonomi yang terus meninggi akan menyebabkan inflasi dan inflasi menyebabkan harga komoditas ekspor China naik sehingga tidak kompetetif di pasar internasional," papar Nugroho kepada KONTAN.

Bagaimana dampaknya ke Indonesia?

Dia juga bilang, pada dasarnya, dengan kondisi perekonomian China yang seperti ini merupakan sesuatu yang wajar karena setiap perekonomian suatu negara selalu mengalami siklus atau konjungtur. “Pasti ada saat di mana pertumbuhan ekonomi tinggi dan ada saat di mana pertumbuhan ekonomi melemah,” urainya.

Meski begitu, lanjut Nugroho, perlambatan ekonomi China wajib diwaspadai. Soalnya, China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia baik dari sisi impor maupun ekspor. Data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas ke China pada Mei 2013 mencapai angka terbesar yaitu US$ 1,72 miliar, disusul Jepang US$ 1,44 miliar dan India US$ 1,32 miliar. Kontribusi ketiga negara terhadap nilai ekspor Indonesia pada Mei 2013 lalu mencapai 33,94%.

Selain itu, sektor yang bakal menerima pukulan paling telak adalah sektor pertambangan, khususnya batubara. Baru disusul oleh sektor minyak dan gas bumi serta sektor perkebunan yaitu minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO). Tekanan terhadap sektor-sektor ini bertambah berat terkena pukulan karena harga komoditas primer di seluruh dunia atau di pasar internasional mengalami kemerosotan tajam.

“Tapi, jangan takut dulu. Perlambatan ini tidak akan membuat perekonomian kita benar-benar lumpuh. Masih ada sektor konsumer yang tetap bertaji meski ekonomi sedang melambat,” urai Nugroho. Jika ditanya mengapa sektor ini yang paling kebal, jawabannya sederhana. Dalam kondisi krisis pun permintaan barang-barang primer, khususnya urusan perut, masih tetap ada.

Sektor industri kreatif juga menjadi salah satu sektor yang kebal terhadap perlambatan ekonomi China. Bahkan, jika selama ini China dianggap sebagai mitra dagang terbesar Indonesia maka sektor inilah yang memiliki potensi paling besar. "Meskipun daya beli China sedang menurun tetapi karena keunikannya maka produk industri kreatif masih tetap punya prospek bagus untuk pasar China," pungkas Nugroho.

Ketika diwawancarai KONTAN, Ryan Kiryanto selaku Kepala Ekonom BNI memberikan pendapat serupa. "China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, jadi dampaknya saya kira cukup serius," imbuhnya.

Ekonomi China berkontraksi sehingga ekspor Indonesia terpukul. Kebetulan, ekspor Indonesia ke China sebagian besar merupakan bahan-bahan setengah jadi yang akan diolah oleh Industri China yang nantinya akan diekspor ke Eropa. Pada saat yang bersamaan, Eropa juga belum pulih. Dengan kata lain, dampak perlambatan ekonomi China ke Indonesia terjadi secara langsung dan tidak langsung.

Celakanya, lanjut Ryan, ketika ekspor Indonesia ke China berkurang, impor Indonesia dari China justru meningkat. Hal inilah yang membuat neraca perdagangan Indonesia secara bilateral menjadi defisit.

Senada dengan Nugroho, sektor yang paling terpukul nantinya adalah sektor pertambangan. Sementara sektor konsumer menjadi sektor yang kebal terhadap sentimen perlambatan ekonomi China.

"Nah, kalau bicara konsumer itu berarti konsumsi domestik. Ketika ekspor kita ke China berkurang, lebih baik pemerintah dan dunia usaha fokus ke dalam negeri saja. Potensi pasar domestik yang besar ini harus dioptimalkan oleh produsen lokal," jelas Ryan.

Ryan menilai, langkah Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga acuannya pada level 6,5% juga patut diapresiasi. Pasalnya, hal ini tidak akan memaksa bank untuk menaikan bunga kreditnya. Dengan demikian, dunia usaha diharapkan bisa menjadi lebih bergairah, lebih rajin berekspansi karena bunga kredit yang tidak meninggi.

“Ekspansi itu pasti membutuhkan tenaga kerja. Tenaga kerja juga butuh duit untuk konsumsi. Sementara tenaga kerja juga tidak bisa menerima duit jika tidak ada ekspansi. Jadi, sebenarnya muter-muter di situ saja. Intinya, pemerintah harus menjaga daya beli masyarakat tidak anjlok," tukas Ryan.

Ke depannya, saran Ryan, pemerintah juga harus memperhatikan para pelaku pasar yang selama ini menjual produk bahan setengah jadinya ke luar negeri. Mereka harus diberikan insentif fiskal jika menjual produknya bukan untuk diekspor, tapi untuk industri dalam negeri.

"Jadi, pemerintah memang harus jeli, cerdas, cermat, pintar dan menciptakan lapangan kerja. Yang perlu dicatat, China bukan merupakan satu-satunya negara di dunia ini. Masih banyak negara lain yang bisa dijadikan mitra dagang strategis," pungkas Ryan.

image.png

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie