Menakar karakteristik anggaran OJK



Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2018 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terbit akhir Mei 2019, terdapat beberapa catatan atas dana pungutan dari sektor jasa keuangan. Bagaimana seharusnya anggaran OJK itu?

Ada delapan catatan BPK. Pertama, tidak ada dasar penghitungan perencanaan pungutan OJK sejak 2016-2018. BPK menilai rencana kerja dan anggaran (RKA) tahun tersebut tak memiliki dasar perhitungan jelas dan akurat atas lembaga keuangan yang diawasinya. Padahal, pungutan itu sumber anggaran OJK sejak 2016.

Kedua, perencanaan kegiatan dan penggunaan dana tidak memadai karena ada tiga departemen melakukan revisi kegiatan penggunaan dana yang nilainya cukup signifikan. Ketiga, BPK menilai OJK boros dalam penyewaan gedung Wisma Mulai 1 dan 2. Pasalnya, dari dua gedung yang disewa hanya sebagian gedung yang dipakai. Akibatnya, pengeluaran uang sewa tidak manfaat.


Keempat, data sumber dan perhitungan anggaran remunerasi tidak jelas dan melebihi kebutuhan OJK. Kelima, peta jalan atau roadmap pemenuhan gedung kantor, keputusan sewa dengan opsi beli Wisma Mulia 1 dan sewa Wisma Mulia 2 serta penyediaan gedung kantor daerah tidak didukung dengan perhitungan luasan gedung kantor yang jelas dan kemampuan dana.

Keenam, ada perbedaan pagu anggaran per bidang antara anggaran dalam Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketujuh, BPK menemukan kekurangan penerimaan negara atas ketidaktaatan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Badan oleh OJK. Kedelapan, pembelian tanah-tanah di Papua, Solo dan Yogyakarta belum dimanfaatkan untuk menunjang operasional OJK (Kontan, 11/6/19).

Sejauh mana tugas OJK? Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, lembaga tersebut melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, jasa keuangan di sektor pasar modal dan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Dengan bahasa lebih bening, tugas, fungsi dan wewenang OJK begitu luas.

Lagi-lagi, bagaimana seharusnya anggaran OJK?. Faktor apa saja yang patut dipertimbangkan?

Pertama, apa itu anggaran? Anggaran adalah rencana manajemen dengan asumsi bahwa langkah-langkah positif akan diambil oleh pelaksana anggaran untuk merealisasikan rencana yang telah disusun.

Suatu anggaran memiliki beberapa karakteristik yakni dinyatakan dalam satuan keuangan (moneter), umumnya mencakup kurun waktu satu tahun dan mengandung komitmen manajemen artinya para manajer setuju untuk menerima tanggung jawab pencapaian sasaran yang dianggarkan.

Begitupun anggaran memiliki karakteristik yakni usulan anggaran ditinjau dan disetujui pejabat yang lebih tinggi dari pelaksana anggaran, setelah disetujui, anggaran hanya dapat diubah dalam keadaan khusus dan secara berkala unjuk kerja keuangan dibandingkan dengan anggaran dan varian (penyimpangan) yang ada dianalisis dan dijelaskan.

Anggaran berfungsi sebagai alat perencanaan dan pengendalian keuangan. Ringkas tutur, hal ini bertujuan untuk memastikan kinerja yang efektif dan efisien. Efektif adalah kemampuan suatu unit untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Efisien menunjukkan berapa banyak masukan yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit keluaran tertentu (Robert N. Anthony, John Dearden & Nortorn M. Bedford, 1993).

Lantas, bagaimana anggaran yang baik itu? Anggaran yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Anggaran yang terlalu tinggi sudah pasti akan kurang memotivasi unit-unit kerja sebagai pelaksana anggaran terutama anggaran pendapatan. Apa pasalnya?. Pasalnya, unit-unit kerja merasa bahwa target anggaran (pendapatan) itu sulit diraih kecuali dengan kerja keras.

Sebaliknya, anggaran (pendapatan) yang terlalu rendah juga tidak akan memotivasi unit-unit kerja. Mengapa? Karena unit-unit kerja pelaksana anggaran (pendapatan) justru akan cenderung santai dan bahkan bisa melakukan aji mumpung (moral hazard) mengingat target yang mudah dicapai. Tetapi, hal itu hampir tidak terjadi di OJK lantaran anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Dengan demikian, sesungguhnya OJK tak perlu kerja keras untuk memperoleh pendapatan sebagai sebagai sumber anggaran.

Kedua, yang dimaksud dengan pungutan adalah pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan serta penelitian dan transaksi perdagangan efek. Nah, pungutan itu digunakan untuk membiayai anggaran OJK.

Pungutan tersebut berupa persentase atau nominal tertentu yang mengacu pada laporan keuangan yang telah diaudit atau nominal tertentu yang tidak mengacu pada laporan keuangan. Hal ini telah efektif 1 Maret 2014.

Ketiga, adakah implikasi pungutan yang mungkin terjadi? Sudah barang tentu ada. Pungutan dari sektor jasa keuangan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan. Sarinya, bisa saja hal itu membuat pengawasan OJK menjadi kurang awas dalam melakukan pengawasan kepada sektor jasa keuangan yang membiayainya.

Belum lagi, selama ini boleh dikatakan OJK masih kekurangan auditor sehingga bisa mengganggu kelancaran pemeriksaan dan pengawasan yang harus dilakukan secara berkala. Padahal, pemeriksaan dan pengawasan bisa pula dilakukan sesuai dengan kebutuhan misalnya terdapat kasus tertentu.

Jangan lupa bahwa sektor jasa keuangan misalnya bank juga mempunyai kewajiban untuk membayar iuran kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) selain kepada OJK. Tegasnya, pungutan atau iuran itu besar atau kecil akan membebani sektor jasa keuangan. Hal yang sangat dicemaskan adalah biaya tersebut kemudian akan dibebankan kepada nasabah sebagai pengguna akhir jasa sektor jasa keuangan.

Biaya yang dibebankan kepada nasabah ini bisa berupa kenaikan biaya pengelolaan rekening giro, tabungan dan deposito serta biaya kredit. Cepat atau lambat, pembebanan ini akan mengerek biaya administrasi dan suku bunga kredit.

Keempat, ada kiat lain yakni pengenaan pungutan OJK itu dilakukan berbasis risiko masing-masing pihak di sektor jasa keuangan. Untuk itu, bank dan lembaga jasa keuangan lain akan membayar pungutan OJK sesuai dengan profil risiko mereka masing-masing. Contohnya, bank yang berisiko lebih tinggi wajib membayar pungutan lebih tinggi.

Kelima, untuk itu akan lebih cantik sekiranya anggaran OJK bersumber dari APBN. Hal ini akan menjamin OJK semakin mandiri atau independen dalam melakukan pemeriksaan dan pengawasan.♦

Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi