KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia tengah mendorong pengembangan hilirisasi mineral di dalam negeri. Setelah ekspor bijih nikel dilarang pada 2020, saat ini pembangunan smelter nikel sudah berjalan, bahkan semakin ramai karena tidak dibatasi. Setelah pelarangan ekspor bijih nikel, pemerintah akan melanjutkan moratorium ekspor mineral mentah pada komoditas bauksit pada Juni 2023 mendatang. Lantas apakah pelarangan ekspor bauksit ini akan memberikan efek keberhasilan yang sama seperti nikel? Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasil menjelaskan, keberhasilan program hilirisasi minerba berbeda-beda untuk setiap komoditas. Komoditas nikel dianggap sudah cukup berhasil karena sudah banyak berdiri smelter untuk mengolah bijih nikel menjadi NPI, Fe-Ni, Nickel-matte.
Baca Juga: Rapor Keuangan 2022 Emiten Nikel, Aset INCO Terbesar tapi Laba Bersih NCKL Tertinggi Bahkan Presiden Joko Widodo menyatakan kondisi terkini sudah
over capacity untuk nikel karena tidak direm laju pembangunannya. Adapun konteks yang dimaksud oleh Presiden adalah smelter dengan teknologi pirometalurgi yang membutuhkan nickel ore kadar tinggi (>1.5% Ni). Semakin menjamurnya smelter pirometalugri ini akan memberikan efek domino pada banyak hal, Rizal menerangkan, dampak
over supply-nya produk nikel akan berdampak pada turunnya harga nikel. Kemudian semakin banyaknya smelter, juga berdampak pada kerusakan lingkungan akibat laju eksploitasi atau penambangan bijih nikel yang tidak diimbangi dengan laju reklamasi dan rehabilitasi lahan bekas penambangan. Tentu ini bisa menyebabkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. “Sedangkan untuk komoditas lainnya seperti bauksit masih minim realisasi pembangunan pabrik
refinery-nya sehingga produknya masih sedikit. Sedangkan jumlah cadangan cukup besar yang dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi alumina baik dalam bentuk Chemical Grade Alumina (CGA) maupun Smelter Grade Alumina (SGA),” jelasnya kepada Kontan.co.id Minggu (9/4). Rizal menilai, investasi untuk
refinery bauksit memang relatif lebih mahal dibandingkan smelter nikel (pirometalurgi-RKEF), sehingga perusahaan yang mampu merealisasikan
refinery tersebut cukup terbatas. Sudah investasinya besar, pelaku usaha
refinery bauksit juga mengalami kurangnya dukungan perbankan dalam negeri. Memang sebagaimana diketahui risiko di bisnis tambang cukup tinggi dengan berbagai faktor termasuk adanya ketidakpastian hukum dan berusaha.
Baca Juga: Jokowi Apresiasi Kerja Sama Empat Negara Membangun Smelter Nikel Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I), Haykal Hubeis memastikan saat ini hilirisasi bauksit sejatinya sudah berjalan dan sudah ada keberhasilan dalam parameter tertentu. Namun dia mengakui saat ini pelaksanaannya masih belum sempurna. “Masih ada aturan-aturan yang tidak mendukung atau searah dan senyawa dengan keinginan hilirisasi misalnya saja masih terlalu birokratis, perizinan pemakaian kawasan hutan yang memakan waktu lama, pembuatan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang lama, dan lainnya,” jelasnya kepada Kontan.co.id saat dihubungi terpisah. Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan dari 12 pabrik pengolahan dan pemurnian bauksit yang ada di dalam perencanaan, sebanyak 8 unit masih dalam tahap persiapan lahan. Artinya saat ini masih berbentuk tanah kosong. Smelter yang masih dalam tahap persiapan lahan ini ialah milik PT Quality Sukses Sejahtera, PT Dinamika Sejahtera Mandiri, PT Parenggean Makmur Sejahtera, PT Persada Pratama Cemerlang, PT Sumber Bumi Marau, PT Kalbar Bumi Perkasa, PT Laman Mining, dan PT Borneo Alumina Indonesia. Haykal mengatakan, meskipun akan dilaksanakan moratorium ekspor bijih bauksit pada Juni 2023 mendatang, sejauh ini belum ada pelaku usaha yang berencana menggantikan konstruksi atau menarik modalnya. Justru dengan adanya pelarangan ekspor bauksit ini, Haykal mengakui, mendapatkan tanggapan positif oleh investor karena adanya kepastian pasokan bahan baku ke smelter yang sedang dibangun. Dia bilang, perbankan memberikan reaksi positif karena salah satu sisi yang menjadi pertimbangan utama pemberian kredit ialah kepastian pasokan bijih bauksit karena umur smelter pasti panjang. Sub Koordinator Penyiapan Program Mineral Kementerian ESDM, Dedi Supriyanto menerangkan, produksi bijih bauksit di 2022 sebesar 27,7 juta ton dan baru terserap 7,8 juta ton. Sisanya 20-an juta ton orientasinya ekspor. “Jadi yang akan terdampak pelarangan ekspor sebesar 20 juta itu, kecuali ada pengembangan diserap oleh domestik,” jelasnya di Bogor, Sabtu (25/2). Sedikit menggambarkan, proses pengolahan bauksit hingga menjadi aluminium ingot melalui dua tahapan. Tahap pertama, bijih bauksit diolah di refinery atau fasilitas pemurnian hingga menjadi alumina. Tahap kedua, alumina akan diproses lebih lanjut di smelter untuk menghasilkan aluminium ingot. Dedi menjelaskan lebih lanjut, sebanyak 7,8 juta ton bijih bauksit yang diserap ke dalam negeri akan diproses menjadi 3,9 juta ton alumina. Kemudian, 3,9 juta ton alumina tersebut baru bisa diserap oleh dalam negeri yakni di smelter milik PT Indonesia Asahan Luminium (Inalum) sebanyak 500.000 ton untuk menghasilkan 250.000 ton aluminium ingot.
“Adapun sisa 3,4 juta ton alumina tersebut masih bisa diekspor,” terangnya. Dedi mengakui, untuk menyerap seluruh 3,9 juta ton alumina ini maka harus ada 8 kali smelter seperti Inalum. Saat ini, Dedi mengungkapkan, konsumsi aluminium ingot di Indonesia cukup besar yakni 1 juta ton setiap tahunnya. Lantas, jika baru bisa memproduksi 250.000 ton aluminium ingot, maka Indonesia harus mengimpor 750.000 ton sisanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .