Menakar Kekuatan DHE Guna Menambah Amunisi Cadangan Devisa



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mencatat, sudah ada ratusan eksportir yang terkena sanksi lantaran tidak membawa devisa hasil ekspor (DHE) ke Indonesia.

Berdasarkan data yang diterima KONTAN, DJBC telah memberikan sanksi administrasi kepada 216 eksportir yang telah melanggar ketentuan DHE. Sanksi ini dikenakan dengan cara melakukan eksekusi atas penyampaian hasil pengawasan (PHP) Bank Indonesia (BI) sebanyak 5 tahapan.

Oleh karena itu mereka harus membayar denda administratif sebesar 0,5% dari DHE yang belum dibawa ke dalam negeri. Adapun total tagihan sanksi administrasi tersebut senilai Rp 53 miliar atau US$ 680,25 juta (Kurs Rp 15.582,50 per dolar AS). 


Baca Juga: Bunga Tinggi BI agar DHE Betah di Dalam Negeri

Dari 216 eksportir yang terkena sanksi, diketahui baru 30% dari para eksportir telah melunasi surat tagihan yang dilontarkan kepada mereka.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, penindakan tersebut juga dilakukan berdasarkan hasil pengawasan yang telah dilakukan Bank Indonesia (BI) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Seperti yang diketahui, sanksi atas eksportir DHE SDA telah diatur dalam Peraturan Pemerintah  1/2019 diatur bahwa pengawasan dari DHE SDA ini dilaksanakan oleh tiga lembaga yaitu Kementerian Keuangan, BI, dan OJK sesuai kewenangan masing-masing. Sedangkan sanksi bagi eksportir DHE non SDA, aturan ini diatur tersendiri dalam Peraturan Bank Indonesia sesuai kewenangannya.

"Tentunya yang kaitan dengan DHE disini kan paling tidak ada tiga lembaga, yaitu Kementerian Keuangan dalam hal ini Bea Cukai, yang ngawasi di border (wilayah pabean) , kemudian BI yang mengawasi devisa dan OJK," ujar Nirwala saat ditemui usai acara Media Briefing, Kamis (25/12).

Berdasarkan catatan KONTAN, dari total ekspor periode Januari hingga Juli 2022 yang mencapai US$ 166,70 miliar, sebanyak 93,5%  atau sekitar US$ 155 miliar hasil DHE ini masuk ke dalam negeri. Adapun sekitar 50% DHE yang masuk tersebut sudah dikonversi ke dalam rupiah.

Untuk itu, berdasarkan hitungan KONTAN, potensi DHE yang bisa dihimpun sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari denda dan data DHE sepanjang Juli 2022 nilainya mencapai sekitar US$ 155,68 miliar.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang, potensi DHE yang sebesar US$ 155 miliar perlu didorong lagi. Ini lantaran, total ekspor migas dan non migas sepanjang Januari hingga November 2022 mencapai US$ 268,1 miliar.

Untuk itu, potensi DHE perlu didorong setidaknya mencapai US$ 241 miliar atau 90% dari total ekspor bisa masuk ke perbankan. Sementara itu, kata Bhima, BI perlu menindaklanjuti beragam kebijakan agar DHE todal saja disimpan di perbankan, namun juga di konversi ke rupiah.

Baca Juga: Pengusaha Bersedia Simpan Devisa Hasil Ekspor Lebih Lama, Ini Syaratnya

"Dengan asumsi US% 155 miliar, 50% saja di konversi ke Rupiah maka efek ke penguatan kurs akan sangat signifikan. Kalau sekedar disimpan di perbankan masih berisiko outflow lagi, terlebih gap suku bunga valas di perbankan luar negeri masih lebar," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (25/12).

Bhima melihat, ketidaksesuaian likuiditas valas masih akan menjadi masalah kedepannya. Ini lantaran persoalan likuiditas akan terjadi sepanjang ekonomi dan dolar AS masih berkuasa.

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, upaya untuk mendorong eksportir agar menyimpan DHE di dalam negeri merupakan hal yang krusial. Terlebih lagi, DHE yang berhasil masuk ke Indonesia dan adanya potensi pembayaran denda merupakan kabar baik dan bersifat penting, terutama untuk menambah amunisi cadangan devisa.

"Pada akhirnya bisa digunakan BI untuk mengintervensi pasar valas apabila Rupiah mengalami depresiasi, terutama dalam jangka pendek (akhir tahun ini dan tahun depan)," kata Yusuf di hari yang sama.

Hanya saja, menurutnya, adanya denda yang dikenakan pada eksportir pelanggar perlu didalami sebagai bentuk evaluasi, misalnya alasan dibalik pelanggaran yang dilakukan eksportir. Apabila dilakukan secara sengaja, maka perlu diidentifikasi alasannya.

Baca Juga: Dorong Devisa Hasil Ekspor Lebih Betah Tinggal di Indonesia, Ini Strategi BI

"Misalnya, apakah lantaran kondisi di Indoensia yang tidak favourable bagi eksportir untuk meletakan dana mereka di Indonesia, misalnya karena masalah stabilitas ekonomi dan politik, pasar keuangan yang tidak dalam, serta alasan lain," katanya.

Yusuf menambahkan, jika berbicara aliran hot money (dana asing), intervensi pemerintah dalam menjaga nilai tukar Rupiah tidak bisa hanya dilakukan melalui kebijakan DHE semata. Perlu diatur juga misalnya Tobin Tax atau Reserve Tobin Tax, dimana insentif diberikan kepada mereka yang meletakkan dananya lebih lama di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi