KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi penghapusan pencatatan
(delisting) masih menghantui sejumlah saham yang belum mampu keluar dari jerat suspensi. Meski di sisi lain, ada juga emiten yang akan
go private secara sukarela
(voluntary delisting). Dalam ketegori yang terkena suspensi, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mengelompokkan saham-saham itu ke dalam papan pemantauan khusus. Sekadar contoh, sejak 1 September 2023 saja, BEI sudah menyentil delapan emiten yang berpotensi
delisting. Mereka adalah PT Jaya Bersama Indo Tbk (
DUCK), PT Nusantara Inti Corpora Tbk (
UNIT), PT Onix Capital Tbk (
OCAP), PT Tridomain Performance Materials Tbk (
TDPM), PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (
JKSW), PT Eureka Prima Jakarta Tbk (
LCGP), dan PT Triwira Insanlestari Tbk (
TRIL).
Terbaru, ada PT Sri Rejeki Isman Tbk (
SRIL) yang masih belum bisa lepas dari jeratan suspensi dan potensi
delisting. Saham emiten tekstil yang dikenal dengan nama Sritex ini telah mengalami suspensi selama 30 bulan per 18 November 2023.
Baca Juga: Sritex (SRIL) Dibayangi Potensi Delisting Usai 30 Bulan Masa Suspensi Saham Direktur Keuangan & Sekretaris Perusahaan Sritex Welly Salam menegaskan, SRIL berkomitmen untuk tetap mencatatkan sahamnya di BEI. Kata dia, SRIL masih berupaya memperbaiki kinerja sembari menyelesaikan berbagai hal terkait Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan persoalan lainnya agar suspensi saham bisa dicabut. Terkait pembayaran PKPU, Welly mengklaim sampai saat ini berjalan dengan laik. Hanya saja, masih perlu waktu untuk menuntaskan berbagai proses tersebut. Welly mengungkapkan, ada penyelesaian restrukturisasi anak usaha di Singapura yang masih menunggu persidangan pada minggu kedua Desember 2023. Selain itu, pengakuan PKPU di Amerika Serikat (AS) akan mulai berproses pada tahun 2024. "Manajemen SRIL telah menyampaikan informasi kepada pihak BEI bahwa membutuhkan waktu sampai akhir tahun 2024 terkait penyelesaian masalah hukum di Singapura dan AS terkait restrukturisasi anak perusahaan serta pengakuan PKPU," kata Welly kepada Kontan.co.id, Selasa (21/11).
Baca Juga: Ditanya BEI Soal Rencana Delisting, Ini Jawaban Nusantara Infrastrucure (META) Pengamat Pasar Modal & Guru Besar FEB Universitas Indonesia Budi Frensidy mengamati, umumnya saham-saham
delisting terjadi akibat adanya kasus hukum, permasalahan keuangan dan tata kelola perusahaan yang kurang baik. Jika tidak terselesaikan, hal ini menjadi pertimbangan otoritas pasar modal untuk mendepak saham dari bursa. Emiten yang memiliki kemampuan keuangan idealnya akan melakukan
buyback saham sebagai bentuk tanggung jawab kepada investor. Hanya saja, kondisi ideal ini seringkali sulit untuk tercapai, apalagi bagi emiten yang mencatatkan ekuitas negatif. Budi pun cenderung melihat kondisi ini sebagai bagian dari risiko investasi. "Perusahaan
delisting akibat masalah keuangan tidak bisa dipaksa untuk
buyback, karena hampir pasti tidak punya uang. Ekuitasnya saja bisa negatif. Tidak realistis memaksa mereka memenuhi itu," kata Budi. Pengamat Pasar Modal & Founder WH-Project William Hartanto menimpali, kerugian akibat
delisting sulit terhindarkan. Dana investor memang akan hilang jika emiten tidak sanggup membeli kembali sahamnya. Investor pun perlu jeli melihat kesungguhan manajemen emiten tersebut untuk tetap melantai di bursa dan melepas suspensi sahamnya. "Emiten pasti sudah tahu kenapa berpotensi
delisting, mengetahui penyakitnya apa, jadi seharusnya mereka juga tahu apa yang harus dilakukan supaya tidak berakhir dengan
delisting," ungkap William.
Baca Juga: Tentakel Salim di Bisnis Infrastruktur Hengkang dari Tiga Bursa Saham Asia Beda cerita ketika
delisting dilakukan secara sukarela, seperti yang hendak dicapai oleh PT Nusantara Infrastructure Tbk (
META). Emiten tol dari Grup Salim ini bakal menggelar
voluntary delisting yang prosesnya dijadwalkan rampung pada April 2024. William bilang, aksi seperti ini tidak akan merugikan investor. "Tinggal ditunggu saja karena
delisting sukarela enggak bikin kondisi duit nyangkut, sahamnya akan terjual kembali ke emitennya langsung," imbuh dia. Analis & Branch Manager Jasa Utama Capital Sekuritas Solo, Robin Haryadi sepakat
voluntary delisting tidak merugikan. Lantaran saham akan dibeli kembali dengan harga tertinggi dalam 90 hari terakhir setelah diumumkan akan
go private. "Kalau yang
delisting sukarela sebenarnya investor justru diuntungkan karena akan dibeli di harga cukup premium," kata Robin.
Baca Juga: Berniat Delisting, Nusantara Infrastructure (META) Minta Saham Disuspensi Jangan Sampai Nyangkut
Robin mengingatkan, risiko terbesar berinvestasi di pasar saham adalah ketika emiten di-
delisting oleh otoritas bursa. Sehingga, investor maupun trader semestinya lebih jeli dalam memilah saham agar tidak
nyangkut di saham-saham suspensi yang berpotensi
delisting. Dalam hal ini, penting menilai secara fundamental, termasuk rasio utang yang sehat, konsisten menghasilkan profit, serta manajemen yang terpercaya. "Supaya tidak terjebak membeli saham hanya karena kenaikan harganya sangat cepat," sebut Robin. William menambahkan, risiko rugi akibat
delisting bisa diminimalkan dengan analisis yang mendalam sebelum membeli saham. Bagi yang sudah terlanjurÂ
nyangkut, sebaiknya lepas jika masih ada kesempatan melepas di pasar negosiasi. Langkah lainnya, menunggu sampai emiten menghabiskan sahamnya di publik setelah suspensi dibuka. "Kerugian
delisting itu sulit dihindari, bahkan dengan analisis yang paling jitu sekalipun, bisa saja tetap kena. Kadang masalahnya di emitennya sendiri," ujar William
Baca Juga: Intip Nasib Beberapa Emiten yang Terancam Delisting Paksa Sedangkan Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani menyoroti papan pemantauan khusus yang telah dibuat oleh Bursa. Menurut Arjun, pelaku pasar selayaknya berhati-hati terhadap saham-saham di papan itu, lantaran banyak di antaranya merupakan "gorengan" yang sangat rentan terhadap fluktuasi volume transaksi ekstrem.
Dari papan pemantauan khusus itu, pelaku pasar bisa menyeleksi saham-saham yang tidak layak koleksi sebagai pilihan investasi. Beda pertimbangan bagi yang berkarakter
high risk, yang suka mengambil risiko besar. Tapi mesti diingat, potensi untung jumbo dalam jangka pendek beriringan dengan risiko rugi yang juga besar. "BEI sudah memberi notasi khusus, untuk mengingatkan investor terhadap risiko investasi di saham tersebut," ujar Arjun. Sementara itu, Budi menekankan perlunya untuk lebih selektif terhadap perusahaan yang akan
listing di bursa. "Otoritas sebaiknya juga melakukan evaluasi yang lebih ketat untuk meloloskan perusahaan yang layak IPO," tandas Budi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati