Menakar Peluang Investment Market dalam Situasi Konflik Geopolitik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dinamika global masih diterpa ketidakpastian. Belum usai konflik antara Rusia-Ukraina. Dunia saat ini mengalami turbulensi kembali.

Serangan Hamas ke Israel memicu ketegangan di wilayah Timur Tengah. Pasokan komoditas kembali tersendat. Naiknya harga minyak memberi dampak ke berbagai negara.

Di saat negara-negara sedang mengalami permasalahan inflasi, ketegangan politik di kawasan memicu permasalahan lainnya.


Data International Monetary Fund (IMF) bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi global bisa melambat menjadi 2,9% pada 2024 dari perkiraan sebelumnya di angka 3%.

Baca Juga: Tertekan Faktor Eksternal, Rupiah Diproyeksi Melemah pada Perdagangan Senin (30/10)

Ketua Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Bambang Hirawan mengungkapkan bahwa negara-negara Timur Tengah merupakan produsen minyak mentah, sehingga sudah tentu perang Hamas-Israel akan memicu ketidakstabilan mengganggu pasokan energi dan pangan yang berujung naiknya harga minyak dan komoditi.

“Sektor energi dan pangan ini adalah faktor pemicu inflasi secara global. Padahal sebelum ada perang tersebut, kita berpikir bahwa pressure dari inflasi global sudah mulai menurun, namun ternyata kita dikagetkan oleh perang Hamas dan Israel. Ini seperti kembali pada titik sebelumnya,” katanya dalam diskusi Tumbuh Makna, bertema ‘Menakar Efek Gejolak Timur Tengah Terhadap Ekonomi Indonesia,’ beberapa waktu lalu.

Fajar menambahkan ketidakpastian global juga dipicu perlambatan ekonomi Amerika dan Tiongkok. Saat ini Amerika berada pada tekanan inflasi, sehingga memaksa The Fed harus menahan daya beli masyarakat.

Baca Juga: Angkatan Darat Israel Mulai Serbu Gaza, Ini Perbandingan Senjata Hamas & Israel

Namun pada sisi lain mereka juga harus bisa menjaga jumlah uang yang beredar. Sementara Tiongkok saat ini sedang mengalami kisruh Evergrande yang mengalami permasalahan keuangan.

“IMF melaporkan bahwa pada triwulan ketiga 2023, ada semacam pesimisme dikarenakan pressure inflasi tetap ada dan pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan atau bahkan menurun akibat ketidakpastian global. Kita berharap ketegangan Amerika dan Tiongkok pun mereda sehingga ada normalisasi yang dapat membuat iklim ekonomi kembali membaik,” ujarnya.

Meski begitu, di tingkat nasional, ia optimis bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh di angka 5%. Apalagi tahun politik akan mendorong belanja masyarakat.

Ia mendorong pemerintah untuk meningkatkan sektor komoditas dan industri manufaktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Perlu diketahui, 50 % dari pertumbuhan ekonomi itu berasal dari konsumsi rumah tangga, sisanya dari investasi, kemudian ekspor dan impor. Untuk itu, kita harus menjaga daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas harga komoditas,” ujarnya.

Baca Juga: Aset Safe Haven dan Minyak Masih Akan Jadi Andalan pada 2024

Sementara itu, Co-Founder Tumbuh Makna Benny Sufami memiliki penilaian serupa bahwa dinamika yang terjadi justru membuahkan peluang. Salah satunya pada sektor investasi.

Menurutnya, para investor pasti melihat efek global yang saat ini terjadi. Contohnya pada aset kelas Fixed Income, yang disebut paling sensitif terhadap perubahan tingkat suku bunga, yang justru bisa menghadirkan kesempatan bagi pelaku investasi.

“Tingkat US treasury yield kemungkinan sudah hampir mendekati puncak atas siklus pengetatan tingkat suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral AS. Sebagai contoh saat ini tingkat imbal hasil US treasury tenor 2 tahun berada di level yang lebih tinggi dari pada imbal hasil US treasury dengan dengan tenor yang lebih panjang yakni 10 tahun dan 30 tahun. Di minggu lalu US treasury yield 2 tahun telah berada di atas kisaran 5,1% sementara yang 10 tahun masih sedikit di bawah 5 % yakni sekitar 4,9%, dimana kondisi tersebut kita kenal dengan istilah Inverted Yield Curve,” tambahnya.

Kondisi yang terjadi saat ini, menurut Benny, juga merupakan salah satu indikasi awal akan terjadinya resesi, walaupun resesi yang ada kemungkinan cenderung ringan. Bahkan terdapat kemungkinan AS bisa menghindari resesi dan melakukan soft landing.

“Terlepas dari terjadinya resesi maupun soft landing, biasanya ekonomi cenderung akan cooling down yang biasanya berdampak positif terhadap kelas aset pendapatan tetap dimana tingkat imbal hasil akan cenderung menurun,” tuturnya.

Menurut Benny, kelas aset ekuitas ke depan akan cukup menantang di tengah kondisi tingkat imbal hasil obligasi yang cukup tinggi saat ini sehingga membuat ekspektasi investor atas risk premium dari kelas aset ekuitas akan lebih tinggi.

Baca Juga: Kematian Akibat Perang di Gaza Mencapai 7.703 Orang, 3.500 di Antaranya Anak-Anak

“Antisipasi yang sama juga berlaku di pasar domestik kita, apalagi dengan melihat tingkat imbal hasil terakhir SBN tenor 10 tahun telah mencapai 7 %. Ini bisa dimanfaatkan dengan baik,” ujarnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam 12 bulan ke depan, kelas aset ekuitas diperkirakan laba per sahamnya atau earning per share (EPS) dari IHSG akan tumbuh 5 % hingga 6% dan bisa diperdagangkan pada price earning (PE) 14,6 kali.

“Maka IHSG, menurut kami,  masih sangat berpeluang untuk mencapai level 7700 hingga akhir kuartal III 2024. Dan pada akhir tahun ini, berdasarkan riset yang kami lakukan, kami telah melihat bahwa ada kecenderungan IHSG akan tumbuh terbatas, sehingga kami menyarankan investor perlu memiliki time horizon yang lebih panjang,” imbuhnya.

Namun investor harus cermat dalam melakukan investasi. Salah satunya untuk melek terhadap literasi keuangan dan mengedepankan data yang valid.

“Pertama, mendiversifikasi ke lebih satu instrumen per kelas aset. Kedua, investor disarankan memiliki time horizon yang lebih panjang dalam menganalisis dengan data yang tepat. Ketiga, berinvestasi sesuai dengan profil risiko masing-masing,” tutupnya.

Asal tahu, IHSG menguat 0,66% ke level 6.758,79 pada Jumat (27/10).Senin ini (30/10), pergerakan IHSG diprediksi masih akan disetir sentimen global.

Head Of Research Mega Capital Sekuritas Cheril Tanuwijaya mengatakan, pada pekan lalu pergerakan IHSG dipengaruhi beberapa faktor dari pasar global dan domestik.

Antara lain, pernyataan The Fed yang memberi sinyal hawkish. Gubernur Federal Reserve Jerome Powell menyatakan dengan kekuatan perekonomian dan pasar tenaga kerja yang terus ketat, maka dapat membenarkan kenaikan suku bunga lebih lanjut.

Pernyataan ini membawa yield US treasury mencapai level 4,98%.

"Lalu, belum berakhirnya ketegangan antara Israel-Hamas, PMI Composite AS naik ke level 51, penjualan rumah baru di AS juga meningkat sebesar 12,3%, dan ekonomi AS tumbuh 4,9%," kata Cheril kepada Kontan.co.id, Jumat (27/10).

Baca Juga: Investor Masih Akan Berburu Safe Haven

Adapun ekonomi AS pada kuartal ke III-2023 tumbuh 4,9% QoQ, tumbuh lebih tinggi dibandingkan consensus yang meproyeksikan tumbuh 4,3%. Pertumbuhan ini didorong oleh konsumsi tempat tinggal dan utilitas, kesehatan, dan keuangan.

Selain itu, kinerja ekspor AS pun tumbuh 6,2%, rebound dari penurunan sebesar 9,2% pada kuartal II-2023.

Sementara sentimen yang datang dari domestik yaitu, kinerja APBN hingga September 2023 yang mencatat surplus Rp 67,7 triliun atau setara dengan 0,32% terhadap PDB.

Lalu terakhir, di bulan September 2023, M2 (uang beredar) Indonesia tumbuh 6% year on year (YoY), hal ini dipengaruhi oleh penyaluran kredit yang tumbuh 8.7% YoY.

Cheril memperkirakan, IHSG pada Senin (30/10) akan bergerak direntang 6.720-6.780.

Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana mengatakan, pergerakan IHSG dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti salah satunya terkait kondisi geopolitik di Timur Tengah.

"Lalu, investor masih mencermati perkembangan ekonomi AS yang telah rilis di kuartal III-2023 yang cenderung membaik, investor juga masih mencermati akan kebijakan The Fed ke depannya yang masih bernada Hawkish untuk menurunkan inflasi ke angka 2%," kata Herditya kepada Kontan.co.id, Jumat (27/10).

Terakhir, terkait pergerakan nilai tukar rupiah yang masih melemah terhadap dolar AS.

Untuk pekan ini, Herditya memperkirakan IHSG masih rawan koreksi dengan support 6.711 dan resistance 6.824.

Baca Juga: Harga Mnyak Dunia Naik 1% di Tengah Kekhawatiran Meningkatnya Konflik Timur Tengah

Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Fajar Dwi Alfian mengatakan, sentimen penggerak IHSG masih datang dari global.

Yaitu karena kenaikan yield obligasi AS yang menembus level di atas 5%, akibat dari rilis data ekonomi AS yang masih cukup solid.

"Sepekan ke depan, sentimennya masih akan seputar dari global, seperti rapat FOMC The Fed dan beberapa bank sentral seperti di Jepang yang diperkirakan masih akan bernada hawkish," kata Fajar kepada Kontan.co.id, Jumat (27/10).

Fajar merekomendasikan untuk mencermati saham-saham konsumer primer dan infrastruktur telekomunikasi.

Sementara Herditya merekomendasikan saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dengan target harga Rp 4.230-Rp 4.340 per saham.

Lalu, PT Indo Tambangraya Tbk (ITMG) dengan target harga Rp 28.000-Rp 29.350, dan PT Elnusa Tbk (ELSA) dengan target harga Rp 454-Rp 480.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto