KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Morgan Stanley Capital International (MSCI) akan kembali melakukan perubahan komposisi portofolio indeksnya bulan ini. Mengutip
Bloomberg, Senin (13/11), beberapa saham Indonesia bakal terkena
rebalancing dalam Emerging Market Index. Satu saham bank yakni PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) dikabarkan masuk dalam indeks MSCI tersebut. Dan, ada dua saham emiten properti yang disebut-sebut keluar dari Emerging Market Index: PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) dan PT Summarecon Agung Tbk (SMRA). Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menilai, saham BBTN memang layak jadi anggota baru indeks MSCI. "Kinerjanya cukup bagus karena ditopang oleh kredit kepemilikan rumah (KPR) untuk rumah subsidi," ujarnya.
Meskipun permintaan di sektor properti sempat turun di tahun ini, sentimen itu nampaknya tak memengaruhi kinerja BBTN. Pasalnya, selama ini permintaan KPR yang datang ke bank BUMN itu diperuntukkan untuk rumah-rumah subsidi sehingga kinerja BBTN terus membaik. Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) menjadi 4,25% di tahun ini pun turut mendukung performa BBTN. "Seharusnya, akan berpengaruh pada penurunan bunga KPR sehingga bisa semakin meningkatkan minat masyarakat untuk mengajukan KPR," kata Hans. Riska Afriani, Kepala Riset Oso Sekuritas, mengatakan, hingga kuartal ketiga tahun ini, saham-saham perbankan memang mencatat kinerja cemerlang, tak terkecuali saham BBTN. Selain itu, pergerakan harga saham BBTN sepanjang tahun ini pun terlihat menarik. Sejak Januari lalu, saham BBTN terus bergerak naik ke Rp 3.000 per saham. Peluang bagi domestik Di sisi lain, saham yang berpotensi dikeluarkan dari Emerging Market Index yaitu LPKR dan SMRA bisa mendapat sentimen negatif. Sebab, biasanya investor asing akan melakukan aksi jual bersih alias
net sell yang mampu membuat harga saham kedua emiten properti itu menurun. Soalnya, indeks MSCI kerap menjadi acuan para investor asing saat berinvestasi. Namun, menurut Hans, kedua saham tersebut masih punya prospek yang menarik. Kebangkitan sektor properti menjelang akhir tahun ini diperkirakan bisa berlanjut hingga tahun depan. Riska memandang, potensi LPKR dan SMRA didepak dari indeks MSCI lantaran kedua saham ini tak lagi dinilai prospektif oleh investor asing. "Kedua saham ini mungkin dianggap tak bisa memenuhi ekspektasi performa oleh asing," ujar dia. Melihat pergerakan harganya, memang saham SMRA sudah merosot lebih dari 25% sepanjang tahun ini. Sedangkan saham LPKR telah turun sampai 11%. Tapi, meski tak lagi dimasukkan ke dalam portofolio asing, bukan berarti saham LPKR dan SMRA harus ikut dibuang oleh para investor domestik. Riska menuturkan, kedua saham ini justru layak jadi buruan investor domestik. Sebab, kinerja keuangan LPKR dan SMRA masih bisa terdongkrak oleh beberapa ekspansi proyeknya.
Riska menyebutkan, LPKR masih memiliki potensi terkait dengan megaproyek Meikarta yang diharapkan mampu menjadi katalis positif bagi saham emiten ini. Sementara saham SMRA terlihat sudah mulai meningkat. "Sehingga, kedua saham ini masih layak untuk dikoleksi," kata Riska. Tak heran, Riska pun merekomendasikan
buy saham SMRA, dengan target harga Rp 1.025 dan saham LPKR dengan memasang target harga Rp 700 per saham. Riska juga turut merekomendasikan
buy saham BBTN dan mematok target harga sebesar Rp 3.300 per saham. Pada perdagangan kemarin, saham BBTN ditutup stagnan di level Rp 2.910 per saham. Kemudian, saham LPKR di akhir perdagangan turun 1,55% menuju level Rp 635. Sedangkan saham SMRA masih stabil di posisi harga Rp 985 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini