KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek komoditas nikel diyakini masih cukup cerah. Salah satu faktor pemolesnya adalah pengembangan kendaraan listrik atau
electic vehicle (EV). Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk (
INCO) Febriany Eddy mengatakan, saat ini nikel menjadi salah satu komoditas yang hangat diperbincangkan, seiring dengan tuntutan dekarbonasi akibat pemanasan global. Terdapat fenomena peralihan (konversi) ke energi hijau, sebab sektor transportasi merupakan penyumbang karbon tertinggi. Hal ini membuat sektor transportasi bergerak dari sebelumnya menggunakan energi fosil beralih ke energi listrik. Konversi ini membutuhkan cukup banyak mineral sebagai salah satu komponen kendaraan listrik, khususnya untuk komponen baterai.
“Salah satu yang dibutuhkan adalah nikel, secara spesifik untuk baterai mobil listrik. Kenapa nikel menjadi perbincangan hangat? Karena nikel adalah logam yang bisa menyimpan energi dengan
density paling tinggi,” terang Febriany dalam seminar
Indonesia Knowledge Forum (IKF) X-2021, Kamis (7/10).
Baca Juga: Pemerintah diminta segera tuntaskan perbedaan hitungan kadar nikel oleh surveyor Dia melanjutkan, saat ini proporsi kebutuhan nikel dunia untuk segmen EV memang masih mini. Namun seiring dengan tuntutan perubahan iklim, Febriany meyakini kebutuhan nikel dunia untuk segmen mobil listrik akan meningkat pesat. Saat ini, kebutuhan nikel untuk segmen mobil listrik hanya sekitar 100.000 ton sampai 200.000 ton. Ke depan, kebutuhan nikel untuk segmen mobil listrik diproyeksi menyentuh angka 1,7 juta ton. “Jadi bisa dibayangkan berapa kali lipat kenaikannya. Bahkan
pipeline proyek di dunia untuk nikel belum sanggup untuk memenuhi kebutuhan ini. Jadi, potensi permintaannya luar biasa,” sambung Febriany. Tentu, hal ini menjadi keuntungan sendiri bagi Indonesia, sebagai negara dengan cadangan nikel yang melimpah. INCO pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Saat ini, INCO sedang membangun dua pabrik baru yang terletak di Bahodopi dan Pomalaa. Pabrik Bahadopi diperuntukkan memproduksi nikel untuk kebutuhan baja. Dalam hal ini, INCO menggandeng dua korporasi asal China.
Baca Juga: Vale Indonesia (INCO) kucurkan investasi hingga US$ 7 juta per tahun untuk eksplorasi Sementara untuk Smelter Pomalaa, INCO menggandeng perusahaan asal Jepang. Febriany mengatakan, produk olahan nikel yang dihasilkan di
smelter ini cocok digunakan sebagai komponen mobil listrik. INCO juga tengah mempelajari studi-studi pengolahan nikel lainnya, seiring dengan melimpahnya cadangan nikel miliknya. Salah satunya adalah rencana memproduksi
limonite di Sorowako, yang merupakan salah satu komponen utama pembuatan baterai listrik. INCO mendukung penuh larangan ekspor bijih nikel dan aturan untuk mengolah nikel di dalam negeri. Hal ini guna mendukung ketersediaan pasokan nikel ketika pengembangan kendaraan listrik mulai marak. “Kebijakan ini akan membantu ketahanan nasional dari sisi ketersediaan bahan mentah,” terang dia. Dalam riset yang dipublikasikan pada 31 Agustus 2021, analis Mirae Asset Sekuritas Juan Harahap mengatakan, selain industri baja antikarat, prospek nikel juga disokong oleh pengembangan kendaraan listrik.
Baca Juga: Vale Indonesia (INCO) Terus Menggenjot Cadangan Nikel Juan mencatat bahwa baterai listrik merupakan kontributor utama mobil listrik, dimana 40% dari total biaya dialokasikan untuk komponen ini. Alhasil, Juan memperkirakan permintaan nikel dari sektor kendaraan listrik akan berpengaruh besar pada keseimbangan pasokan dan permintaan nikel. Tahun lalu, penjualan mobil listrik meningkat menjadi 2,3 juta unit dibandingkan angka penjualan tahun 2010 yang hanya 9,800 unit. Menurut laporan The International Energy Agency (IEA), penjualan mobil listrik global akan terus meningkat di masa mendatang. Pada tahun 2030, penjualan mobil listrik diperkirakan akan meningkat menjadi 22 juta unit, atau naik 850,9% dibandingkan angka tahun 2020. Kenaikan ini didukung oleh sejumlah faktor, mulai dari komitmen beberapa negara untuk mengurangi emisi karbon, serta ekspektasi tren penurunan harga mobil listrik di masa mendatang.
Baca Juga: Biayai eksplorasi, Vale Indonesia (INCO) siap investasi hingga US$ 7 juta per tahun Tantangan keberlanjutan Febriany menilai, sangat wajar jika Indonesia dilirik banyak produsen kendaraan listrik dunia seperti Tesla. Hanya saja, terdapat tantangan yang timbul di tengah isu pengembangan baterai listrik ini, salah satunya adalah jaminan bahwa rantai nilai
(value chain) yang dihasilkan dari sisi hulu hingga hilir harus ramah lingkungan. Selain itu, olahan yang dihasilkan juga harus rendah emisi karbon. Dus, tuntutan terhadap aspek
environmental, social, and corporate governance (ESG) juga semakin tinggi. Secara khusus, Febriany menilai aspek ESG Indonesia masih cukup rendah. Ditambah, emisi karbon per ton nikel di Indonesia juga masih cukup tinggi. “Tugas kita cukup besar, untuk benar-benar memperbaiki citra aspek ESG. Sebab, pelanggan besar seperti Tesla tentu akan datang dan mengecek langsung, harus benar-benar
real dan tidak bisa hanya
lip service,” imbuh dia.
Baca Juga: Jaga pasokan nikel, Vale Indonesia (INCO) siapkan rencana jangka panjang penambangan Bagi INCO, aspek keberlanjutan lingkungan bukanlah hal yang baru. Sejak tahun 1978, INCO sudah membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Larona. Kemudian pada tahun 1999, dibangun PLTA Balambano, dan pada 2011 dibangun PLTA Parebbe. Hal ini menjadikan INCO sebagai perusahaan dengan emisi karbon per ton nikel paling rendah di tanah air.
Namun, tanur pengering INCO masih menggunakan energi fosil seperti minyak dan batubara. Nah, dalam hal dekarbonasi, INCO akan menurunkan emisi karbon minimal hingga sepertiga pada pada 2030. Sedangkan pada 2050 direncanakan sudah bebas karbon (
carbon neutral). Penurunan emisi dilakukan dengan mengonversi penggunaan minyak dan batubara menjadi gas bumi. Selain itu,
smelter Bahadopi juga nantinya akan menggunakan energi gas bumi, bukan batubara.
Baca Juga: Ada rencana ekspor nikel olahan kadar 40% dilarang, begini prospek saham emiten nikel Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati