KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dua keputusan penting soal suku bunga acuan ada di pekan ini. Dari dalam negeri, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang berlangsung 24-25 Juli kembali mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75%. Hasil ini sesuai dengan ekspektasi pasar. Selanjutnya investor menantikan keputusan suku bunga acuan dari bank central Amerika Serikat (AS), The Fed. Dalam Federal Open Market Committee (FOMC) berlangsung 25-26 Juli 2023, pasar cenderung memproyeksikan ada kenaikan sebesar 25 basis points (bps) ke level 5,25% - 5,50%. Head of Research Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan menyoroti tiga pertimbangan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) tetap bertahan di level 5,75%. Pertama, tren penurunan inflasi yang saat ini relatif berada jauh di bawah level suku bunga acuan.
Baca Juga: Saham BBRI Sentuh All Time High pada Selasa (25/7), Simak Kata Analis Buana Capital Kedua, pergerakan nilai tukar rupiah yang cenderung stabil di kisaran level psikologis Rp 15.000 per dolar AS. Ketiga, ekspektasi pasar bahwa terminal growth di AS akan segera tercapai. Valdy memprediksi, The Fed masih akan menaikkan Federal Funds Rate (FFR) satu kali lagi sebesar 25 bps pada September 2023. Lantaran The Fed masih mengejar target inflasi di level 2% dan mempertimbangkan kondisi ketenagakerjaan di Negeri Paman Sam. Kondisi ini akan menjadi katalis penting, sehingga Valdy memperkirakan BI belum mengambil langkah penurunan suku bunga acuan di tahun ini. "Sampai tutup tahun belum terlihat sinyal BI akan mulai menurunkan sukubunga acuan. Karena dari bank-bank sentral besar, seperti The Fed dan ECB juga belum ada sinyal akan menurunkan suku bunga acuan di 2023," kata Valdy kepada Kontan.co.id, Selasa (25/7). Presiden Komisaris HFX Internasional Berjangka Sutopo Widodo turut memandang BI akan menjaga tingkat suku bunga acuan, sembari wait and see arah kebijakan The Fed berikutnya. Masih ada ruang bagi The Fed untuk kembali mengerek FFR, meski tidak seagresif sebelumnya. Setelah FOMC Juli, Sutopo memprediksi The Fed masih akan menaikkan FFR satu kali lagi pada tahun ini. "Kenaikan suku bunga telah mendekati puncak, jika pun ada hanya tersisa satu atau dua kali sebelum berakhir," ujar Sutopo. Analis Saham Rakyat by Samuel Sekuritas, Billy Halomoan memberikan catatan. Jika The Fed jadi mengerek FFR ke level 5,50%, maka selisih dengan BI7DRR hanya tersisa 0,25% atau 25 bps. Sehingga BI juga perlu menjaga arus capital outflow agar tidak deras mengalir keluar Indonesia. "Karena melihat bunga simpanan dolar AS mungkin saja lebih menarik. BI7DRR masih cukup relevan ditahan di 5,75% selama The Fed tetap mempertahankan suku bunganya nanti di 5,50%," kata Billy.
Baca Juga: Sektor Energi dan Komoditas Setir IDX Value 30, Ini Saham yang Masih Layak Dikoleksi Valdy menimpali, arah suku bunga acuan BI berikutnya akan krusial. Jika melakukan pelonggaran lebih cepat dari The Fed, ada potensi memicu capital outflow. "Sebaliknya, jika BI terlalu ketat, tidak bagus bagi pertumbuhan ekonomi, karena cenderung memicu kontraksi," imbuh Valdy. Head of Research Center Mirae Asset Sekuritas, Roger MM, mengingatkan arah suku bunga acuan BI dan The Fed akan menentukan pergerakan pasar. Roger memprediksi kenaikan FFR pada FOMC Juli menjadi yang terakhir di tahun ini. Jika The Fed menaikkan FFR lebih dari sekali dan BI mengerek BI7DDR, investor bisa memberikan respons negatif. "Bisa jadi akan ada sentimen negatif kembali di market. Bisa jadi rupiah melemah atau peluang resesi akan makin besar ketika The Fed agresif menaikkan suku bunganya," kata Roger. Namun ketika arah suku bunga masih kondusif, angin segar masih akan bertiup bagi pasar saham. Roger menaksir tren penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa berlanjut hingga kembali menjejaki level 7.000. Dengan uncertainty risk suku bunga yang relatif terukur, Valdy menilai instrumen investasi yang lebih berisiko terutama saham kembali menarik. "Appetite pasar ke instrumen ini diperkirakan meningkat," imbuh Valdy. Catatan dia, IHSG akan cenderung fluktuatif dalam jangka pendek mengingat saat ini tertahan di resistance 6.950. Meski, dalam jangka menengah IHSG masih cenderung bergerak dalam bullish reversal trend. Dus, level 7.000 bisa dicapai jika IHSG terkonfirmasi resistance breakout 6.950. Valdy menjagokan saham-saham consumer-related seperti
INDF,
ICBP,
ACES,
ERAA,
MAPI, dan
TLKM. Pelaku pasar juga bisa mencermati saham dengan rate-sensitve seperti
BBCA,
BBNI,
BBRI,
BMRI,
ASII,
SMRA,
BSDE.
Baca Juga: Laju Indeks LQ45 Lambat, Ini Saham-Saham yang Jadi Biang Kerok "Untuk saat ini saham bisa diperbesar portofolio kepemilikannya. Sementara kondisi suku bunga acuan yang masih cukup tinggi juga masih dapat dimanfaatkan untuk memegang surat utang," ujar Valdy.
Mempertimbangkan arah suku bunga yang kian terukur, Sutopo menaksir pergerakan kurs rupiah akan cukup stabil di area Rp 14.825 - Rp 15.218 atau di level Rp 15.000 (+/-) Rp 100 - Rp 200. Saran Sutopo, investor perlu mengatur strategi investasi dengan menyeimbangkan imbal hasil dan risiko. Strategi tersebut perlu disesuaikan dengan profil risiko masing-masing investor. "Yang agresif bisa cenderung hit and run. Kalau moderat bisa mengambil penurunan nilai untuk re-buy. Untuk obligasi dan emas dijadikan lindung nilai," tandas Sutopo. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi