Winston Churchill pernah menulis dalam suratnya pada 6 Juli 1938 dengan kata-kata sedemikian rupa, hingga mampu mengangkat konsep
stick and carrot. Akhirnya konsep ini diterapkan terhadap berbagai kebijakan pemerintahan kontemporer saat ini. Dalam metaforanya Churchill menggambarkan sebuah tongkat yang ujungnya dibiarkan wortel menggantung di depan hidung seekor keledai Austria kurus untuk menarik pedati Nazi ke atas bukit yang terus menanjak. Sementara pedati itu sarat beban.
Stick and carrot ini akan diterapkan pemerintah dalam peraturan pemerintah yang akan diberlakukan secara efektif per 1 Januari 2019 nanti terhadap para eksportir sumber daya alam (SDA).
Carrot (wortel) dalam konteks ini adalah insentif, sementara
stick (tongkat) sanksi yang akan dikenakan atas ketidakpatuhan pengusaha SDA seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. Intinya pemerintah akan memberi insentif perpajakan berupa tarif pajak rendah bahkan 0% atas Pajak Penghasilan Final (PPh Final) bunga deposito dari Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang ditanamkan pada Sistem Keuangan Indonesia (SKI), dan ditempatkan dalam rekening khusus pada bank devisa. Sebaliknya bagi pengusaha SDA yang tidak mengindahkan aturan tersebut akan terkena sanksi administrasi berupa: tidak dapat melakukan ekspor, denda, dan/atau pencabutan izin usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Devisa Hasil Ekspor merupakan devisa dari hasil kegiatan ekspor. Mengapa pemerintah memberi perhatian ekstra pada DHE? Pertama, karena dapat menjadi sumber dana yang berkesinambungan bagi pembangunan nasional. Kedua dapat memberikan kontribusi yang optimal secara nasional jika penempatannya dilakukan melalui perbankan di Indonesia. Dan ketiga bermanfaat untuk mendukung terciptanya pasar keuangan yang lebih sehat dan upaya menjaga kestabilan nilai rupiah. Nah, inilah salah satu peran Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang bertanggung jawab memelihara kestabilan nilai rupiah. BI sendiri pernah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Penarikan Utang Luar Negeri, namun disinyalir aturan ini tak cukup bergigi. Karena dari total ekspor sebesar 90% yang sudah masuk rekening perbankan dalam negeri hanya 15% yang dikonversi ke rupiah (Harian KONTAN, edisi Rabu, 21 November 2018). Karena itu pemerintah berwacana untuk mempertegas sanksi bagi pengusaha SDA yang tidak patuh dengan merilis peraturan pemerintah terbaru. Padahal Peraturan Bank Indonesia No.16/10/PBI/2014 telah mengatur seluruh DHE wajib diterima melalui bank devisa. Bahkan eksportir harus menyampaikan informasi yang tercantum pada pemberitahuan ekspor barang (PEB) terkait DHE yang diterima bank devisa. Penyampaian informasi dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima. Bagi eksportir yang melanggar bisa dikenai sanksi administrasi mulai denda paling tinggi Rp 100 juta, hingga penangguhan ekspor. Pemberian insentif perpajakan tersebut sebenarnya bukan barang baru. Peraturan Pemerintah Nomor 123/2015 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia telah mengatur hal tersebut. Mari kita telusuri lebih jauh isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 123/2015. Atas bunga deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari DHE dan ditempatkan dalam SKI pada bank devisa di Indonesia akan dikenai tarif PPh Final sebagai berikut: tarif 7,5% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 1 bulan, tarif 5% untuk jangka waktu 3 bulan, dan tarif 0% untuk jangka waktu 6 bulan atau lebih. Menjaga eksportir Sementara bunga deposito dalam mata uang dolar AS yang dananya bersumber dari DHE dan ditempatkan dalam SKI bank devisa lokal akan dikenai tarif PPh Final: tarif 10% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 1 bulan, tarif 7,5% jangka waktu 3 bulan, tarif 2,5% untuk jangka waktu 6 bulan, dan tarif 0% untuk jangka waktu lebih dari 6 bulan. Jika dibandingkan dengan tarif pajak atas bunga deposito selain DHE yang akan dikenakan tarif PPh Final sebesar 20%, selisih tarif pajak yang dikenakan pemerintah terhadap eksportir SDA cukup signifikan. Namun faktanya belum banyak pengusaha yang tertarik memanfaatkan insentif tersebut dan mengkonversi DHE mereka ke dalam rupiah. Kemungkinan penyebabnya adalah, pertama karena Peraturan Pemerintah No 123/2015 tidak secara khusus mengatur tentang kewajiban yang harus dilakukan para eksportir. Aturan ini hanya mengatur besarnya tarif PPh Final yang akan dikenakan atas bunga deposito yang dananya bersumber dari DHE. Kedua, para pengusaha yang berhasil menaklukkan pasar global, dipastikan memiliki strategi dan kreativitas yang telah teruji dalam dunia usaha. Untuk mempertahankan penetrasi pasar internasional, mereka dituntut harus progresif dan kreatif memanfaatkan modal yang ada untuk kelangsungan usaha. Bagi mereka waktu adalah uang. Apakah menarik jangka waktu enam bulan untuk mendapatkan diskon tarif pajak 0% bagi eksportir yang menanamkan DHE di bank devisa lokal dan mengkonversikannya ke rupiah? Jika jangka waktu itu dipangkas, bisa jadi akan lebih menarik minat eksportir. Pemerintah telah memberi insentif pajak bagi eksportir dengan diskon tarif pajak atas bunga deposito jika menanamkan DHE pada bank devisa domestik. Akan jauh lebih menggiurkan jika perbankan juga ikut memberi insentif. Sebagai contoh, jika seorang eksportir menanamkan DHE sebesar Rp 1 miliar pada SKI di bank devisa Indonesia dan meminjam dana di bank bersangkutan dengan jumlah sama atau lebih, dia bisa menikmati insentif berupa tingkat suku bunga pinjaman yang lebih rendah. Kalau rata-rata suku bunga pinjaman 2018 sebesar 10%, si eksportir dikenakan bunga setengahnya saja. Insentif ganda itu kemungkinan besar kian memicu eksportir untuk menempatkan DHE di dalam negeri dan mengonversikannya ke rupiah.
Jadi, kebijakan stick and carrot ibarat sekeping mata uang. Bukan tindakan cerdas jika kita mencambuk terlalu keras eksportir yang seharusnya didukung agar eksis dalam persaingan global yang semakin kompetitif. Dalam metafora Churchill, keledai kurus Nazi harus menanggung beban berat, sementara tongkat terus diayun dengan wortel yang menggantung di ujungnya. Sang keledai bisa kelelahan, dan berhenti di tengah jalan. Sementara wortel pun terabaikan.•
Dewi Damayanti Pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi