KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengkaji kembali rencana mengekspor listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) ke Singapura belum juga sampai pada titik terang. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa pihaknya masih mengkaji regulasi ekspor karena tidak mau keunggulan Indonesia dari sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) diberikan kepada negara lain. "Saya tidak bisa membayangkan ketika nilai keunggulan komparatif EBT kita, energi baru terbarukan kita kasih ke orang di saat negara kita belum cukup," ungkap Bahlil dalam acara Green Initiative Conference di Jakarta, Rabu (25/9). Baca Juga: Potensi Kolaborasi PLN, BUMN, dan Emiten EBT Memacu Transisi & Swasembada Energi Keputusan Ketua Umum Golkar tersebut baru-baru ini juga didukung oleh Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim dan Energi sekaligus adik kandung dari Presiden terpilih Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo. Dalam acara COP29 di Baku, Azerbaijan, Hashim bilang data center hendaknya dibangun di dalam negeri misalnya di Pulau Batam, Bintan, Karimun atau sekitarnya. Menurut Hashim, dengan mengekspor listik ke Singapura maka sama saja dengan Indonesia melayani negeri Singa tersebut agar bisa lebih mengembangkan industri data center mereka. Padahal sebelum lengser, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Annoucement on Cross Border Electricity Interconnection. Yang berisi kesepakatan ekspor listrik hijau dari Indonesia ke Singapura dengan kapasitas sebesar 3 gigawatt (GW) dengan nilai US$ 30 miliar atau setara dengan Rp 308 triliun. Adapun, berdasarkan catatan Kontan, listrik hijau ini berasal dari pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) di Kepulauan Riau pada 2027 hingga 2035. Menanggapi pandangan Bahlil dan Hasyim yang seakan enggan pada prospek ekspor listrik Indonesia ke Singapura, Pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan ekspor listrik khususnya listrik yang bersumber dari energi terbarukan justru akan membuka peluang investasi lebih untuk Indonesia. Baca Juga: TBS Energi (TOBA) Lepas 2 PLTU dengan Nilai Divestasi US$144 Juta "Jadi yang diminta oleh Singapura itu kan adalah listrik bersih, mereka menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Matahari atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Ini sebenarnya mutual benefit, energi mataharinya dari kita, dan kita dapat tambahan investasi beserta peluang transfer teknologi dari Singapura," katanya saat dihubungi Kontan, Jumat (15/11). Ia juga mengkritik alasan Bahlil menunda atau memperjelas status ekspor listrik Indonesia ke Singapura tersebut. "Dan kalau Bahlil meng-hold karena alasan kebutuhan listrik dalam negeri, atau nanti merugikan Indonesia, saya rasa tidak masuk akal" katanya. Disisi lain, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan dirinya justru khawatir dengan kelangsungan MoU ekspor listrik yang telah disepakati sebelumnya. "Kemudian (kalau ada) pembatalan kontrak berpotensi akan terjadi gugatan hukum. Itu artinya perencanaannya sudah salah sejak awal, sehingga muncul wacana merubah kebijakan setelah proses pembangunan infrastruktur sedang berjalan," ungkap Yusri kepada Kontan, Jumat (15/11). Senada dengan Fahmy, dirinya juga bilang alasan Bahlil karena takut sumber EBT Indonesia diambil Singapura tidak dapat dibuktikan karena meski kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) EBT, teknologi pengembangan EBT Indonesia masih tertinggal jauh dari Singapura.
Menakar Untung Rugi Ekspor Listrik Indonesia ke Singapura
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengkaji kembali rencana mengekspor listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) ke Singapura belum juga sampai pada titik terang. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa pihaknya masih mengkaji regulasi ekspor karena tidak mau keunggulan Indonesia dari sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) diberikan kepada negara lain. "Saya tidak bisa membayangkan ketika nilai keunggulan komparatif EBT kita, energi baru terbarukan kita kasih ke orang di saat negara kita belum cukup," ungkap Bahlil dalam acara Green Initiative Conference di Jakarta, Rabu (25/9). Baca Juga: Potensi Kolaborasi PLN, BUMN, dan Emiten EBT Memacu Transisi & Swasembada Energi Keputusan Ketua Umum Golkar tersebut baru-baru ini juga didukung oleh Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim dan Energi sekaligus adik kandung dari Presiden terpilih Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo. Dalam acara COP29 di Baku, Azerbaijan, Hashim bilang data center hendaknya dibangun di dalam negeri misalnya di Pulau Batam, Bintan, Karimun atau sekitarnya. Menurut Hashim, dengan mengekspor listik ke Singapura maka sama saja dengan Indonesia melayani negeri Singa tersebut agar bisa lebih mengembangkan industri data center mereka. Padahal sebelum lengser, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Annoucement on Cross Border Electricity Interconnection. Yang berisi kesepakatan ekspor listrik hijau dari Indonesia ke Singapura dengan kapasitas sebesar 3 gigawatt (GW) dengan nilai US$ 30 miliar atau setara dengan Rp 308 triliun. Adapun, berdasarkan catatan Kontan, listrik hijau ini berasal dari pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) di Kepulauan Riau pada 2027 hingga 2035. Menanggapi pandangan Bahlil dan Hasyim yang seakan enggan pada prospek ekspor listrik Indonesia ke Singapura, Pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan ekspor listrik khususnya listrik yang bersumber dari energi terbarukan justru akan membuka peluang investasi lebih untuk Indonesia. Baca Juga: TBS Energi (TOBA) Lepas 2 PLTU dengan Nilai Divestasi US$144 Juta "Jadi yang diminta oleh Singapura itu kan adalah listrik bersih, mereka menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Matahari atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Ini sebenarnya mutual benefit, energi mataharinya dari kita, dan kita dapat tambahan investasi beserta peluang transfer teknologi dari Singapura," katanya saat dihubungi Kontan, Jumat (15/11). Ia juga mengkritik alasan Bahlil menunda atau memperjelas status ekspor listrik Indonesia ke Singapura tersebut. "Dan kalau Bahlil meng-hold karena alasan kebutuhan listrik dalam negeri, atau nanti merugikan Indonesia, saya rasa tidak masuk akal" katanya. Disisi lain, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan dirinya justru khawatir dengan kelangsungan MoU ekspor listrik yang telah disepakati sebelumnya. "Kemudian (kalau ada) pembatalan kontrak berpotensi akan terjadi gugatan hukum. Itu artinya perencanaannya sudah salah sejak awal, sehingga muncul wacana merubah kebijakan setelah proses pembangunan infrastruktur sedang berjalan," ungkap Yusri kepada Kontan, Jumat (15/11). Senada dengan Fahmy, dirinya juga bilang alasan Bahlil karena takut sumber EBT Indonesia diambil Singapura tidak dapat dibuktikan karena meski kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) EBT, teknologi pengembangan EBT Indonesia masih tertinggal jauh dari Singapura.
TAG: