Menakar urgensi cukai plastik



Siapapun calon pasangan presiden (capres) dan wakil presiden yang akan memimpin pemerintahan mendatang, pastinya bakal menghadapi masalah pencemaran lingkungan. Masalah yang sangat rumit terutama terkait pengelolaan sampah plastik.

Perlu komitmen tertinggi dari pemerintah untuk menerapkan cukai plastik. Tidak boleh lagi timbul keraguan dalam menerapkan cukai plastik. Sudah bertahun tahun draft cukai plastik hanya menumpuk di meja kementerian tanpa implementasi yang jelas.

Kondisi darurat sampah plastik sudah di depan mata. Ironisnya, permintaan plastik dalam negeri justru terus meningkat. Karena hampir seluruh industri dalam negeri membutuhkan bahan baku plastik. Pengguna terbesarnya adalah industri makanan dan fast moving consumer goods (FMCG) yang mencapai 60% dari total kebutuhan plastik nasional.


Ada paradoks, produsen plastik dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Akibatnya para importir berlomba lomba mengimpor plastik dari negara lain. Setiap saat produk plastik impor memperbesar penetrasi ke pasar negeri ini.

Total konsumsi atau penggunaan plastik Indonesia pada 2017 mencapai 5,6 juta ton. Konsumsi plastik domestik hingga akhir tahun 2018 lalu diproyeksikan tumbuh 5,5%. Dari jumlah di atas, 40% dipenuhi dari impor. Adapun, sebanyak 80% impor tersebut berasal dari negara-negara ASEAN dan China.

Ironi plastik nasional yang diwarnai oleh melonjaknya impor bahan baku juga masih ditambah dengan impor plastik bekas yang semakin mengancam kondisi lingkungan. Selain itu, saat ini juga terjadi penurunan utilisasi dan kualitas dari sektor industri kantong dan tas plastik, thermoforming, kemasan rigid, serta kemasan fleksibel.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) selama ini terus menunda pemberlakuan cukai baru terhadap beberapa jenis plastik. Cukai plastik diproyeksikan bisa menambah penerimaan negara secara signifikan. Sebagai gambaran target penerimaan cukai kantong plastik tahun ini mencapai Rp 500 miliar.

Pemerintah hendaknya tidak ragu memperluas objek cukai dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi dibidang cukai. Perlu langkah konkret pada upaya intensifikasi penerimaan cukai. Hal yang sama juga perlu dilakukan dalam upaya ekstensifikasi untuk menambah objek barang kena cukai.

Selama ini, sistem pengenaan cukai di negeri ini kurang efektif dan lingkupnya sangat sempit. Karena, penerimaan cukai selama ini hanya mengandalkan tiga jenis barang kena cukai yaitu, produk hasil tembakau, minuman mengandung etil alkohol (MMEA), dan etil alkohol.

Penerapan cukai plastik merupakan sesuatu yang wajar, apalagi selama ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemkeu telah mengeluarkan kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) terhadap 18 sektor industri di Indonesia. Industri pembuatan kemasan plastik menjadi industri paling besar mendapatkan BMDTP.

Industri ini meliputi pembuatan kemasan plastik, plastik lembaran, terpal, karung plastik, botol dan jirigen plastik, serta semua perabot rumah tangga yang terbuat dari plastik. Dari jumlah BMDTP tersebut sebagian besar diberikan untuk industri plastik dan pembinaannya ada di bawah Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemperin).

Selama ini pemerintah terlalu mengakomodasi asosiasi industri produsen dan pengguna plastik di Indonesia yang gigih mencegah kebijakan pengenaan cukai plastik kemasan.

Pengalaman di negara lain menyatakan, pemberlakuan cukai plastik tidak menyebabkan dampak negatif terhadap industri dalam negeri karena meningkatkan ongkos produksi dan harga jual produk. Dari aspek lingkungan tujuannya tidak hanya mengurangi plastik, tapi bagaimana sampahnya juga tertangani secara baik. Di Indonesia sendiri pengelolaan sampah ini masih bermasalah.

Mencontoh negara ASEAN

Contoh paling dekat bisa dilihat dari negara-negara ASEAN. Meski tidak semua anggota ASEAN menggunakan istilah cukai, tapi pada kenyataannya mereka memungut pajak mirip cukai. Secara teoretis istilah cukai merujuk pada bentuk pajak tidak langsung yang dikenakan pada barang-barang tertentu berbasis konsumen.

Definisi cukai di negeri ini sesuai dengan klasifikasi cukai oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi ( Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD).

OECD mendefinisikan cukai sebagai pajak yang dikenakan pada produk-produk tertentu, atau pada sejumlah produk yang terbatas. Karena dikenakan pada setiap tahap produksi atau distribusi dan biasanya dinilai dengan mengacu pada berat, atau kandungan atau kuantitas produk, tetapi kadang-kadang juga terhadap referensi harga.

Kebijakan cukai dirancang untuk memenuhi berbagai tujuan yang sangat bervariasi. Selain untuk meningkatkan pendapatan negara, cukai dapat dirancang untuk tujuan perlindungan di bidang kesehatan, lingkungan, ekonomi, ketenagakerjaan ataupun tujuan sosial lainnya yang berbeda di antara negara.

Di sisi lain, cukai menjadi sumber penerimaan pajak yang sangat penting bagi negara. Sebagai gambaran negara anggota ASEAN, kontribusi cukai terhadap total penerimaan pajak negara di Laos dan Thailand berada pada angka sekitar 21%, Kamboja hampir 19%. Sementara di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam baru di kisaran 8%–10 %.

Menurut Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Cukai.

Barang kena cukai adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik, yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Pertimbangan lain, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Peraturan ini sama sekali tidak menutup kemungkinan perubahan jenis barang yang kena cukai.

Selama ini Indonesia dikenal dengan sebutan extremely narrow coverage, yakni negera yang memiliki sangat sedikit objek cukai apabila di bandingkan dengan negara lain. Sebagai perbandingan di negara ASEAN saja, rata-rata sudah mengenakan lebih dari 10 komoditas kena cukai.

Padahal, berdasarkan UU Nomor 39 tahun 2007 tentang cukai sebenarnya telah memberikan kriteria yang lebih luas bagi pengenaan objek cukai. Barang kena cukai bisa berupa komoditas yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Sektor lain yang perlu pengenaan cukai adalah sektor jasa. Mengingat sudah banyak negara yang menerapkan cukai atas jasa. Ini yang belum dilakukan Indonesia.

Nabila Annuria Pekerja Industri Pengolahan Alumni Fakultas Sains Teknologi Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi