KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri melihat tantangan ketenagakerjaan nasional masih besar, terutama menyongsong revolusi industri 4.0 yang semakin dekat. Sistem pendidikan vokasi pun menjadi tumpuan yang diharapkan dapat menggenjot daya saing sumber daya manusia Indonesia di pasar tenaga kerja internasional ke depan. "Transformasi industri berarti juga transformasi pekerjaan. Artinya, tuntutan skill juga berubah," ujar Hanif dalam panel diskusi Kompas 100 CEO Forum, Selasa (27/11).
Terbatasnya akses dan mutu pelatihan vokasi menjadi salah satu tantangan terbesar dalam ketenagakerjaan nasional. Bahkan, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih menyumbang angka pengangguran tertinggi di Indonesia. Hingga Agustus 2018, Badan Pusat Statistik mencatat, SMK menyumbang angka pengangguran tertinggi di antara jenjang pendidikan lainnya, yakni sebesar 11,24%. "Meski, trennya memang sudah menurun dari tahun ke tahun," tandas Hanif. Hanif memaparkan, kapasitas akademi pelatihan vokasi yang tersedia secara nasional hanya 275.000 orang per tahun. Sementara, kapasitas yang tersedia dari industri cuma sekitar 39.000 per tahun. Lantas, ketersediaan tenaga kerja dengan skill yang mumpuni pun tak kunjung tumbuh signifikan. Selain persoalan pendidikan vokasi, Hanif juga menekankan tantangan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar kerja internasional. "Kemampuan bahasa, komputern dan softskill adalah tiga masalah utama tenaga kerja kita di internasional," kata Hanif. Ditambah lagi, ekosistem industri 4.0 akan menambah tantangan baru bagi tenaga kerja. Hanif menyebut, ada prediksi 56% dari jumlah pekerjaan yang ada sekarang akan hilang tergerus oleh fungsi teknologi seperti internet of things (IoT) maupun artificial intelligence (AI).
Sementara, 65% dari jumlah pekerjaan di masa depan merupakan jenis pekerjaan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Di tengah dinamika dan tantangan ketenagakerjaan nasional, Kemnaker berupaya mendorong terus pelatihan vokasi sebagai strategi utama pembangunan SDM Indonesia. "Selain itu juga diperlukan reformasi ketenagakerjaan terkait sistem upah,
outsourcing, PHK, hubungan kerja, dan sebagainya yang selama ini berada dalam ekosistem yang terlalu rigid," ungkap Hanif. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto