Saat ini, menjelang hajatan Pemilu 2019, paling seru melihat perilaku kampanye para politisi. Setelah pasangan bakal calon presiden dan calon wakil presiden ditetapkan, peta persaingan jadi terbuka jelas. Kontestasi pemilihan presiden tahun 2019, tak lain tak bukan adalah babak ulangan dari kontestasi serupa di tahun 2014, yang mempertemukan dua tokoh nasional, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Kedua tokoh tersebut akan bersaing kembali untuk merebut hati dan kepercayaan rakyat, yang akan menabalkan salah satu dari mereka sebagai pemimpin puncak negeri ini.
Dengan sangat menyejukkan, beberapa tokoh bangsa menggambarkan kontestasi ini lebih sebagai sebuah “perlombaan” daripada “pertandingan”. Sekilas kedua ajang ini tampak sama, namun sesungguhnya berbeda. Olahraga semacam “lari” diperlombakan, bukannya dipertandingkan. Sebaliknya olah-raga semisal “tinju” dipertandingkan, bukannya diperlombakan. Mengapa? Di ajang kompetisi lari, orang beradu teknik dan kecepatan, untuk mengungguli pesaing-pesaing lainnya. Pemenangnya hadir sebagai juara, karena berlari jauh lebih cepat dan unggul daripada yang lainnya. Sementara di ajang kompetisi tinju, orang beradu taktik dan kekuatan, untuk menaklukkan lawan tandingnya. Syukur-syukur, lawannya bisa jatuh terkapar dan tak bisa melanjutkan pertandingan. Jika demikian halnya, ia akan memenangkan pertandingan dengan atribut “menang KO alias Knock Out”, sebuah kemenangan yang sangat membanggakan bagi para petinju. Namun, kompetisi tetaplah kompetisi. Semua pihak ingin menang, unggul, sukses, dan itu sah-sah saja. Justru kita akan heran kalau ada yang bercita-cita untuk kalah, tergusur dan gagal. Persoalannya, apakah kita memang benar-benar ingin menang dalam paradigma yang tepat, atau kita terjebak untuk sekadar menang-menangan? Shiv Khera dalam buku klasiknya yang berjudul
You Can Win (1998), berujar,
“Winning is an event, and winner is a spirit”. Khera mengajak orang untuk memiliki watak seorang pemenang, daripada sekadar memiliki peristiwa kemenangan. Obsesi yang berlebihan terhadap peristiwa kemenangan membuat orang sering terjebak bersikap dan bertindak menang-menangan. Karena nafsu menang, pihak yang tidak mendapatkan dukungan objektif dari publik, terbiasa untuk melakukan kampanye hitam terhadap pihak lawannya. Alih-alih berkompetisi secara sehat menunjukkan kehebatan dan prestasi diri, malah justru tergoda melakukan manipulasi dan menjatuhkan pesaingnya. Pentingnya integritas Paling tidak, ada tiga hal yang membedakan antara menang-menangan dan menang dalam pengertian yang sesungguhnya.
Pertama, menang-menangan berorientasi pada hasil akhir, dan tidak peduli dengan etika proses yang ditempuh. Mahkota kemenangan jauh lebih penting dari keringat dan air mata perjuangan. Menang-menangan adalah praktik yang menjunjung tinggi semangat Machiavellian, yakni tujuan menghalalkan cara.
Kedua, menang-menangan berorientasi pada keunggulan persaingan semata, dan tak peduli dengan respek dan pengakuan pihak lain. Bisa jadi, secara hitam di atas putih, yang bersangkutan tercatat sebagai pemenang, namun sesungguhnya tak pernah mendapatkan pengakuan dari publik secara luas. Dengan kata lain, kemenangannya tercatat legal, namun sesungguhnya tak legitimate.
Ketiga, menang-menangan fokus kepada kebanggaan menjadi nomor satu, dan tak peduli dengan kehormatan diri. Bagi orang yang terbiasa menang-menangan, menjadi nomor satu adalah keharusan, sekalipun musti menggadaikan kehormatan diri. Inilah satu sikap yang menggiring seseorang terperangkap dalam praktik premanisme, yang mengandalkan kekuatan fisik, aksi kekerasan dan pamer senjata destruktif. Sikap menang secara terhormat pertama-tama tidak akan memfokuskan diri pada peristiwa kemenangan (the event of winning), tetapi pada semangat seorang pemenang (
the spirit of a winner). Itulah kemenangan dalam pengertian yang sejati. Shiev Khera menegaskan bahwa seorang pemenang sejati akan berusaha meraih kemenangannya dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai etika dan kemanusiaan.
“It’s better to deserve an honor and not have it than to have it and not deserve it”.
Bahkan, Vincent Lombardi (1913–1970), seorang
coach sepakbola Amerika yang begitu terkenal haus kemenangan, dalam bukunya berjudul
What it Takes to be Number 1 (2001), tetap menjadikan integritas sebagai dasar bagi model kepemimpinan untuk membentuk tim yang unggul. Dalam pepatah Jawa, menang yang sejati ibarat “menang tanpa
ngasorake”. Seseorang hadir sebagai pemenang, bukan karena ia telah merendahkan dan mengalahkan lawannya. Sebaliknya, pihak lawan dengan jujur mengakui bahwa yang bersangkutan memang lebih unggul dan hebat dari dirinya. ◆ Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga