Tidak hanya sandang, pangan dan papan, pendidikan juga kini menjadi kebutuhan dasar masyarakat modern. Pentingnya pendidikan untuk bekal generasi muda di masa depan, membuat orang tua tidak segan merogoh kocek untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak-anaknya sejak dini. Seiring berkembangnya teknologi yang mengarah pada era digital, sistem belajar anak-anak pun ikut bergeser. Kini, generasi muda lebih gemar belajar dan bermain lewat komputer, laptop, tablet, maupun ponsel pintar. Ini tentu membuka peluang besar untuk berbisnis perangkat lunak bertemakan pendidikan. Para pengembang software lokal kini banyak membuat produk aplikasi yang bisa diunduh langsung di ponsel atau tablet pengguna. Andi Taru Nugroho, pemilik Educa Studio mengatakan, potensi pasar untuk bisnis software edukasi anak masih sangat potensial dan cakupannya luas, mengingat bisnis ini berbasis digital. Dengan basis digital tentunya cakupan pasar tidak terbatas wilayah dan waktu.
Pengembang aplikasi edukasi anak asal Salatiga ini berdiri sejak 2012, namun baru memproduksi aplikasi secara intens pada 2013. Tercatat di Google Playstore, beberapa produk Educa Studio sudah mencapai ratusan bahkan ratusan ribu unduhan. Fokus pasar aplikasi Educa Studio terbagi dalam dua jenis, yakni untuk anak umur 2 tahun sampai 6 tahun dan umur 7 tahun sampai 12 tahun. "Aplikasi edukasi dibagi menjadi empat merek yaitu Marbel (Mari Belajar), KABI (Kisah Nabi Islami), KOLAK (Koleksi Lagu Anak) dan RIRI (Cerita Rakyat Anak),” ungkap Andi. Marbel berupa permainan sebagai sarana belajar untuk mengembangkan kemampuan anak, misal Marbel belajar huruf alphabet atau Marbel belajar angka atau Marbel belajar hewan dan suara. Khusus untuk KOLAK, Andi bekerjasama dengan dua pencipta lagu anak lokal dan nasional yang sudah menelurkan dua album. Melihat peluang bisnis yang sangat besar, Andi dan timnya berencana mengembangkan beberapa konten Marbel berbahasa Inggris untuk ekspansi ke pasar dunia. Rencananya ada enam seri Marbel berbahasa Inggris, seperti Marbel Fishing, Marbel and Friends, dan lainnya masih dalam tahap pembuatan. Pendapatan dari iklan Yusup Suparman, pengembang aplikasi pendidikan bermerek Pondok Edukasi menjelaskan, dirinya sejak dua tahun silam menggunakan fasilitas Google Console yang memungkinkan siapa saja membuat aplikasi dan mengunggahnya di Google Playstore, sehingga bisa diunduh pengguna Android. Pengembang lantas bisa memilih menggunakan Google Admob (Advertising Mobile) untuk bisa meraup pendapatan dari iklan. Mekanismenya, iklan akan muncul ketika aplikasi dari pengembang diunduh atau dioperasikan oleh pengguna. Darisitu, pengembang akan mendapatkan penghasilan per klik iklan. Kisarannya untuk iklan gambar sebesar Rp 200 per klik. Sementara iklan dengan gambar full screen dan video kisarannya Rp 1.000−Rp 2.000 per view. Dari situ, Yusup mengaku bisa meraup pendapatan rata-rata sekitar US$ 5.000 hingga US$ 6.000 per bulan atau sekitar Rp 70 juta hingga Rp 90 juta per bulan. Yusup tidak memungut biaya ketika aplikasi diunduh pengguna alias menawarkan aplikasi gratis. Andi menambahkan, pendapatan juga bisa didapat dari pembayaran aplikasi ketika pengguna mengunduh aplikasi tersebut. Jika pengguna tidak ingin terganggu dengan kemunculan iklan, bisa beli aplikasi, harganya bervariasi, antara Rp 3.000–Rp 35.000 per aplikasi. "Tapi sampai saat ini pemasukan terbesar masih dari iklan. Pendapatan dari aplikasi berbayar masih di bawah 1%. Tiap bulan saya bisa meraup pendapatan sekitar US$ 5.000,” ungkap Andi.
Sementara David Setiabudi, pengembang aplikasi permainan edukasi dengan merek Divinekids.com mulai menciptakan permainan pendidikan untuk anak-anak sejak 2003. Tidak seperti aplikasi pendidikan lainnya yang mengajarkan mata pelajaran matematika atau bahasa Inggris, David membuat sebuah permainan di komputer yang mengajarkan anak tentang kasih sayang, kebaikan dan pesan moral misalnya tentang efek negatif rokok. Dia juga membuat aplikasi belajar beberapa bahasa seperti bahasa Palembang dan Jawa serta aneka permainan. Pengajar di Surya University ini mengaku bisa memenuhi dua pesanan dari beberapa perusahaan permainan dalam sebulan. Biayanya Rp 25 juta hingga Rp 50 juta per aplikasi. Andi berpendapat, pengembang software lokal semestinya bisa menjadi raja di negara sendiri bahkan di negeri orang lewat dukungan pemerintah untuk menciptakan pasar. Sebab saat ini makin banyak pengembang asing yang sudah masuk ke pasar Indonesia. n Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini