Mengenakan kaos polos dan jin warna hitam, dengan alas sepatu putih kasual saat bertandang ke redaksi KONTAN, Selasa (25/10) pekan lalu, tak menggambarkan Muhammad Sadad sebagai seorang entrepreneur. Apalagi entrepreneur yang menggeluti usaha fashion alias mode. Walau tidak tampil trendi dan up to date soal busana, bukan alasan untuk tidak bisa menjadi juragan baju. Hal ini yang selalu Sadad tekankan pada dirinya saat terjun ke bisnis mode. Sadad memberanikan diri terjun ke bisnis mode saat berusia sekitar 20-an atas ajakan teman dekatnya. Modalnya tak sedikit untuk seumuran dia kala itu. Dia memberanikan diri merogoh kocek sekitar Rp 50 jutaan guna memproduksi beberapa lusin pakaian kemeja yang dia beri label Erigo. "Saya merasa, bisnis baju itu jangan tanggung-tanggung, agar bisa menutup biaya operasional. Modal Rp 50 juta itu sebenarnya lumayan tanggung, tapi sudah cukup besar," katanya membuka obrolan. Dari pelbagai pengalaman yang ia pelajari, kebanyakan pebisnis berhenti di tengah jalan karena kehabisan amunisi. Selain itu mereka menganggap uang Rp 10 juta sampai Rp 20 juta itu sebagai biaya belajar. Padahal, jika serius menyetor modal dalam jumlah besar akan membuat pebisnis merasa tertekan dan berupaya sekuat tenaga mengembalikan modal. Apalagi kalau modal tersebut adalah hasil pinjaman dari teman sampai orang tua teman.
Sadad membangun Erigo saat duduk di bangku kuliah semester tujuh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia atau sekitar awal 2012. Saat itu dia mempertaruhkan pendidikannya dengan menyeriusi bisnis. Namun, tekadnya berbisnis lebih kuat ketimbang melanjutkan pendidikan. Lelaki asal Aceh ini pun mulai belanja bahan dan memproduksi pakaian. Ternyata bisnis itu tak mudah. Sebab jika ingin menang dalam persaingan industri busana modalnya bukan cuma kualitas, tapi konsep produk harus konsisten, dan kuat. Produk pertama Sadad bernama Selected & Co. Produk ini cuma bertahan enam bulan lantaran tak banyak peminat. Dia pun mengganti brand dengan nama Erigo dengan mengubah seluruh konsep produknya menjadi batik. Sayang usaha kedua pun kurang mendapat sambutan pasar. Padahal, Sadad telah mengeluarkan investasi yang tak sedikit untuk melakukan pemotretan di Singapura. Tak menyerah begitu saja, lelaki kelahiran 15 Juni 1990 ini pun menjajaki konsep lain. Sampai menemukan konsep traveling dengan tema street style. Sadad merogoh kocek dalam-dalam untuk pemotretan produk di Jepang. "Di awal memang kami enggak membangun nama brand-nya dulu, tapi konsepnya. Jadi orang berpikir Erigo itu adalah produk Jepang padahal bukan," kata Sadad. Skala besar Bukan cuma konsep, Sadad yang tak punya ilmu bisnis di bidang mode harus belajar autodidak soal manajemen produksi. Kali pertama, ia memakai sistem maklun ke beberapa perusahaan konveksi. Walau murah, sistem maklun di konveksi punya kekurangan. "Konveksi itu satu penjahit satu produk. Kalau mereka capai sedikit, kualitas jahitan bisa jelek, beda dengan sistem garmen satu produk dikerjakan oleh banyak orang quality control-nya lebih terjamin", ujar Sadad. Ia pun mencari tambahan modal. Sebab, minimal order di garmen 5.000 6.000 potong pakaian untuk satu model. Walau enggan merinci lebih detail berapa suntikan modalnya, toh dengan modal itu Erigo bisa memproduksi ratusan ribu potong dalam setahun. Saat ini, Sadad memiliki lima vendor untuk memproduksi pelbagai jenis produk mulai topi, celana, kaos, jersey, sweater. Beberapa di antaranya masih sistem konveksi untuk produk kaos. Di sisi pemasaran, hingga saat ini Erigo masih mengandalkan jualan lewat pameran maupun sistem marketing dengan pop up store atawa membuka gerai dadakan di tempat-tempat tertentu dalam waktu singkat. Meski saat ini tren bisnis mengarah ke penjualan di dunia maya, hingga saat ini 80% sumber jualan Erigo dari pameran dan pop up store. Tak cuma di kota-kota besar di dalam negeri, negeri jiran juga disambangi. Hanya saja, cara marketing lewat pameran ini punya kelemahan, yaitu biaya operasional lebih tinggi lantaran harus menyewa lapak kepada penyelenggara, sekaligus memberikan diskon. Akibatnya, tak jarang Sadad merugi lantaran biaya operasional Rp 25 juta sementara penjualan cuma Rp 5 juta. Berawal dari empat sampai enam pameran per tahun, kini Erigo sudah menggelar 30 pameran per bulan Oktober 2016. Di sisi marjin jualan di pameran memang lebih tipis, tapi volume terdongkrak. Setahun, Erigo bisa menjual 100.000 sampai 120.000 potong. Adapun saat ini harga produk mulai Rp 130.000-375.000 per potong. Soal berapa omzet bisnis per tahun? Secara diplomatis ia hanya bilang, Silakan dihitung sendiri. Kualitas Brighspot Harga Distro Menjadi seorang wirausahawan memang cita-cita Muhammad Sadad sejak sekolah. Namun, lahir dengan latarbelakang keluarga pekerja, membuat Sadad harus bisa meyakinkan kedua orang tua bahwa pilihannya benar. Beruntung orang tuanya sangat demokratis. Walau berharap sang anak belajar hukum, namun toh mereka mengikhlaskan Sadad duduk di jurusan manajemen.
Di kampus, Sadad mulai menempa diri agar bisa berjualan. Dia memberanikan diri menjual apa pun dengan memutar uang hasil tabungannya dan pinjaman teman-temannya. Sebab, satu yang ia ingat bahwa menjadi pekerja kantoran seperti ayahnya berarti tak punya keleluasaan waktu. Meskipun mendapat fasilitas dan remunerasi bagus, namun dengan kerja keras yang sama seorang pengusaha bisa dapat hasil materi lebih banyak daripada jadi pekerja kantoran. Mentalnya pun diuji di tengah jalan, pilihannya hanya satu antara kuliah atau mengembangkan bisnis Erigo. Jika ingin wisuda, dia harus melepas Erigo beberapa bulan untuk fokus menambal kewajiban di kampusnya. "Tapi saat itu saya memilih Erigo karena tahu saya memiliki kelemahan di bidang akuntansi, kalau lanjut kuliah nilai saya yang bagus cuma mata kuliah marketing, dan belum tentu lulus juga bisa menjadi sarjana," katanya sambil tertawa. Kini Erigo mulai diperhitungkan. Dalam gelaran pop up store dan pameran yang ia ikuti, stan Erigo menjadi yang paling banyak menyedot massa. Saat ini Sadad tengah menyiapkan pemotretan produk ke London. "Saya ingin image Erigo itu sekelas produk-produk yang ada di Brightspot Market tapi tetap harga distro", katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dadan M. Ramdan