Menanti akhir kisruh Freeport vs Pemerintah



JAKARTA. Tahun baru lumrah disambut dengan suka cita. Namun tampaknya itu tidak berlaku bagi Freeport-McMorran Copper & Gold Inc. Induk usaha PT Freeport Indonesia yang memproduksi tembaga dan emas ini harus dipusingkan dengan aturan pemerintah yang terbit awal tahun ini tentang pertambangan mineral dan batubara (Minerba).

Ceritanya, Presiden Joko Widodo pada 11 Januari telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Pemerintah juga menerbitkan dua aturan turunannya berupa Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Sejumlah beleid itu menjadi payung baru pertambangan minerba, termasuk mengenai ekspor mineral mentah dan kewajiban pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) produk mineral pertambangan. Salah satu poin beleid ini adalah agar perusahaan pertambangan bisa mengekspor mineral mentah. Semua perusahaan pertambangan, termasuk pemegang kontrak karya, bisa mengekspor mineral mentah.


Selain ketentuan ekspor, PP No.1/2017 juga mengubah ketentuan divestasi saham pertambangan milik asing. Aturan lama hanya mewajibkan asing melepas minimal 20% pasca lima tahun beroperasi. Persentase saham divestasi juga berbeda mengikuti jenis mineral, serta porsi pemenuhan hilirisasi mineral.

Nah, aturan baru tak pandang bulu. Semua perusahaan tambang asing wajib menjual 51% saham secara bertahap, mulai dari tahun keenam sampai tahun kesepuluh. Artinya, PT Freeport Indonesia, misalnya, wajib melepas lagi 41% sahamnya di masa mendatang, setelah sebelumnya melepas sekitar 10% kepada pemerintah Indonesia.

Keluarnya aturan ini membawa konsekuensi langsung pada Freeport. Pertama, izin Freeport harus berubah menjadi IUPK jika ingin mengekspor mineral mentah. Kedua, Freeport wajib menambah porsi saham divestasi menjadi 41%, dari sebelumnya hanya 20%.

Sumber: www.esdm.go.id

Nah, dari sejumlah poin aturan yang tertera dalam PP maupun Permen yang telah terbit tersebut, ada beberapa poin yang masih sulit diterima oleh Freeport. Negosiasi pun berlangsung antara manajemen Freeport dan pemerintah. Freeport berusaha agar bisa tetap mengekspor konsentrat mineral yang mereka gali dari Papua. Sebab, otomatis sejak 12 Januari 2017 Freeport tidak boleh lagi mengekspor konsentrat mineral dari produksinya di Papua.

Kenapa Freeport tidak boleh mengekspor? Karena dari berbagai kewajiban yang sudah diatur dalam regulasi Indonesia tersebut ada yang belum mereka penuhi. Salah satunya soal pembangunan fasilitas pemurnian mineral tambang (smelter).

Kewajiban membangun smelter ini sudah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009. Khusus untuk pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi seperti Freeport, UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, itu mewajibkan mereka untuk melakukan pemurnian di dalam negeri paling lambat lima tahun sejak beleid ini diundangkan pada 12 Januari 2009. Namun hal itu belum direalisasikan oleh Freeport. Padahal, sejak bertahun-tahun lampau pula Freeport terus menggadang rencana membangun smelter senilai US$ 2,3 miliar di lahan milik PT Petrokimia Gresik.

Sejak tahun 1999 Freeport sebetulnya sudah memurnikan konsentrat tembaganya di PT Smelting di Gresik, Jawa Timur. Di perusahaan ini Freeport Indonesia punya 25% saham dan 75% lagi dimiliki konsorsium perusahaan Jepang yang dikomandoi Mitsubishi Materials Corporation.

Tapi hanya 40% konsentrat tembaga saja yang dimurnikan di fasilitas tersebut. Sebagian besar mineral tambang yang dikeruk Freeport dari tanah Papua dioper keluar negeri dalam bentuk mentah.

Selain itu, Freeport juga keberatan dengan poin ketentuan perpajakan yang harus prevailing, yakni mengikuti perubahan aturan perpajakan yang ada, setelah berstatus IUPK. Freeport Indonesia masih ngotot sistem perpajakannya tetap nail down atau tidak berubah seperti sebelumnya ketika masih berstatus Kontrak Karya (KK).

Pemerintah pun mencari jalan tengah dengan intens bernegosiasi dengan manajemen Freeport sejak saat itu. Namun dua belah pihak masih tarik-menarik hingga kini. Bahkan Freeport memanas dengan mengirimkan surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 17 Februari 2017 silam. Isinya, Freeport menyebut pemerintah sudah melakukan tindakan wanprestasi dan pelanggaran kontrak karya.

Sumber: Riset KONTAN

Untuk menyelamatkan bisnisnya di Indonesia, bos besar Freeport Inc, Richard C. Adkerson McMoran sampai harus datang ke Indonesia pada pertengahan Februari 2017 silam. Freeport mengancam akan membawa masalah ini ke arbitrase.

"Ada waktu 120 hari bagi pemerintah dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan itu," ujar Adkerson dalam konferensi pers di Jakarta.

Kontrak Karya Pasal 21 Ayat 2 menetapkan waktu 120 hari untuk bernegosiasi menyelesaikan sengketa kontrak sebelum masalah tersebut bisa dibawa ke arbitrase. Jika masih mentok, "Freeport bisa menyelesaikan ini ke arbitrase," ungkapnya.

Adkerson menegaskan, Freeport tetap berpegang dengan kontrak karya tahun 1991. Meski saat ini pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan rekomendasi ekspor konsentrat 1,7 juta ton, Freeport belum akan mengeksekusi putusan itu. Sebab, bila Freeport menyetujui ekspor itu, otomatis status kontrak karyanya bisa gugur dan berubah menjadi IUPK.

"Itulah kondisi yang pemerintah minta supaya kami bisa ekspor. Karena beberapa hal yang sangat penting, kami tak bisa menerima kondisi tersebut," tandasnya.

Freeport juga menebar ancaman dengan memilih opsi merumahkan karyawan Freeport jika aktivitas ekspor di area terbuka Grasberg, Tembagapura terus terganggu. Hal ini terjadi seiring penghentian produksi konsentrat tambang sejak 10 Februari lalu. Ini karena ekspor berhenti, serta gudang stock pile penuh. Ancaman ini ternyata bukan isapan jempol belaka.

Data Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Perumahan Rakyat Kabupaten Mimika, Provinsi Papua menyebutkan, Freeport sudah memecat 1.341 pekerja dari sekitar 30.000 pekerja yang ada. Adkerson dalam kunjungannya ke Jakarta pun pernah bilang akan merumahkan 12.000 pekerja.

Menteri ESDM Ignasius Jonan menegaskan, ada tiga alternatif penyelesaian sengketa kontrak dengan PTFI. Pertama, perusahaan itu patuh pada peraturan perundang-undangan. Freeport harus bisa menerima status IUPK, sambil tetap bernegosiasi tentang stabilisasi investasi selama maksimal enam bulan. Kata Jonan, untuk mengubah kontrak karya jadi IUPK, waktu yang diberikan enam bulan, bukan 3,6 bulan (120) hari seperti kata Freeport.

Kedua: menunggu perubahan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang diproyeksi memakan waktu lama. Jika dua opsi itu gagal, "Hak masing-masing untuk bisa bawa ke arbitrase," ujar Jonan.

Pengamat hukum sumber daya alam Ahmad Redi mengatakan, posisi Indonesia lemah di arbitrase lantaran pemerintah wanprestasi atas kontrak karya. Yakni melarang ekspor dan memaksa mengubah ke IUPK. Namun, "Pemerintah bisa menyerang lewat mangkirnya Freeport atas kewajiban melepas saham, tak membangun smelter serta tak taat hukum Indonesia," ujar Redi.

 

Tentang tambang Freeport

Opini Freddy Numberi, Tokoh Masyarakat Papua, Mantan Menteri Perhubungan yang terbit di harian KONTAN pada 26 Desember 2016 lalu bisa menjadi pengingat akan seberapa besar Freeport telah meraup untung dari tambangnya di Indonesia.

Freddy bilang, potensi yang tersimpan pada gunung Grassberg itu luar biasa dan menghasilkan tembaga, emas, dan perak. Ketiga jenis mineral ini telah membuat Freeport McMoran Copper and Gold Inc asal Amerika ini kaya raya.

Kesepakatan awal sesuai Kontrak Karya I (KKI) hanya disetujui untuk Ertsberg produksi tembaga. Ternyata, dalam produksinya ada emas. Dari produksi emas sejak tahun 1972 ini, tidak ada kejelasan berapa pendapatan Freeport. Tidak ada suatu badan yang ditunjuk pemerintah untuk mengawasi proses pemurnian konsentrat secara saksama. Selama lebih dari 40 tahun menambang di Papua, Freeport memperoleh keuntungan finansial besar sekali.

Sebaliknya yang didapat Indonesia dari Freeport: (1) Saham pemerintah tetap tidak berubah; (2) Papua tidak ada saham sama sekali; (3) Komisaris yang ditempatkan hanya independen; (4) Lebih ironis lagi presiden direktur pun bukan orang Papua; (5) Kerusakan lingkungan; (6) Pemusnahan kultur orang Papua; (7) Penyakit HIV/AIDS; (8) Pelanggaran HAM.

Wilayah penambangan PT Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektare, atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Padahal, awal beroperasinya Freeport hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektare.

Secara garis besar, wilayah penambangan yang luas itu dapat dianggap dieksploitasi pada dua periode, yaitu periode Ertsberg (1967-1988) dan periode Grasberg (1988-sekarang). Potensi bijih logam yang dikelola Freeport awalnya hanya 32 juta ton, sedangkan sampai 1995 naik menjadi hampir 2 miliar ton atau meningkat lebih dari 58 kali lipat. Data tahun 2005 mengungkap, potensi Grasberg sekitar 2,822 juta ton metrik bijih.

Dalam kisruh ini, kesejahteraan masyarakat asli Papua pun jadi salah satu isu yang ikut mencuat. Merasa tidak merasakan keuntungan yang setimpal dari pendapatan yang didapat Freeport selama ini, masyarakat Papua meminta haknya salah satu untuk bisa mendekap saham Freeport. Ini setelah ada aturan anyar tersebut mewajibkan Freeport Indonesia menyerahkan 41,64% saham lagi ke pemerintah. Sebelumnya pemerintah sudah mendapatkan 9,36%.    

Lewat Pemerintah Daerah Mimika, Papua mengetuk pintu kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman untuk meminta jatah 10%-20% saham divestasi Freeport Indonesia. Bupati Mimika Eltinus Omaleng mengklaim nanti saham tersebut dimiliki oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan pemilik hak ulayat, sisanya pemerintah pusat. Namun Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bilang, pemerintah daerah di Papua memang akan diberikan divestasi saham Freeport, tapi besarannya belum diputuskan.

Pemerintah pun telah memastikan akan mengambil sisa divestasi saham milik Freeport McMoRan di Freeport Indonesia sebesar 41,64%. Kepastian itu setelah amunisi dana untuk membeli sisa divestasi saham itu sudah didapatkan, yakni dari dana pensiun (dapen) badan usaha milik negara (BUMN).

Tampaknya drama negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan Freeport masih akan melewati episode yang lumayan panjang. Sebab Freeport hingga kini saja masih belum setuju terkait divestasi saham tersebut. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar bilang, yang jelas pemerintah berjuang dulu bagaimana Freeport mau melakukan divestasi 51% sahamnya itu.    

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini