KONTAN.CO.ID - Memasuki November 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan data perihal indeks harga konsumen. Setelah selama Juli hingga September 2020 mencatatkan deflasi, kondisi di permulaan kuartal keempat tahun ini berangsur membaik. Inflasi bulanan atau
month on month (MoM) pada Oktober 2020 sudah menggeliat tipis yakni sebesar 0,07%. Tiga hari berselang, BPS merilis pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga 2020 yang mengalami kontraksi 3,49%. Kontraksi ekonomi yang diikuti dengan membengkaknya tingkat pengangguran terbuka (7,07%) resmi menegaskan status resesi yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia. Koreksi pertumbuhan yang dibarengi pula dengan inflasi yang rendah sah menyematkan atribut stagnasi. Fenomena resesi dan stagnasi seperti itulah yang dihadapi oleh Bank Indonesia (BI) dalam menggelar Rapat Dewan Gubernur pada 18-19 November 2020. Alhasil, suku bunga acuan bank sentral atau BI
7-day reverse repo rate, dipangkas 25 basis poin menjadi 3,75% setelah bertahan selama empat bulan di posisi 4%.
Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian, apakah kebijakan moneter BI mampu menanggulangi resesi dan stagnasi ekonomi Indonesia? Pertanyaan ini sering diapungkan. Kebijakan moneter BI diklaim pro-stabilitas sehingga terkesan mengesampingkan tujuan pertumbuhan. Secara teoretis, dampak kebijakan moneter dalam mendukung pertumbuhan bekerja secara tidak langsung. Kebijakan suku bunga acuan akan berimbas pada suku bunga kredit yang selanjutnya berpengaruh ke permintaan kredit perbankan. Pada gilirannya, permintaan kredit perbankan berefek pada pertumbuhan ekonomi. Suku bunga acuan ditetapkan untuk menjangkar inflasi. BI akan menaikkan suku bunga acuan ketika laju inflasi ke depan diperkirakan melebihi inflasi sasaran. Demikian pula sebaliknya, BI akan menaikkan suku bunga acuan jika laju inflasi ke depan diperkirakan diprediksi lebih rendah dari inflasi sasaran. Dengan mekanisme baku seperti ini, tren inflasi rendah (bahkan deflasi) merupakan momentum yang tepat bagi BI untuk memotong suku bunga acuan. Momentum tersebut agaknya tidak diambil. BI merasa aman berlindung di balik alasan ketidakpastian global ketika itu yang masih tinggi. Pertahanan pertama terhadap ketahanan eksternal, yakni cadangan devisa, menunjukkan tren penurunan selama dua bulan berturut-turut. Potensi penyusutan cadangan devisa masih sangat terbuka menjelang pergantian tahun. Alhasil, mandat stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi bisa berlawanan. Saat inflasi mulai menggeliat, harapan penurunan suku bunga acuan semakin redup. Pelaku pasar berekspektasi suku bunga acuan akan status quo sampai akhir tahun. Dalam pandangan mereka, pemangkasan suku bunga acuan akan mendorong aliran modal keluar yang berimplikasi lagi terhadap ketahanan eksternal, khususnya terhadap stabilitas nilai tukar mata uang. Sampai di sini, satu kebijakan yang diluncurkan dan berproses menuju sasaran yang dituju menyisakan ongkos yang harus ditanggung oleh BI. Semakin lama tenggat waktu yang dibutuhkan sebuah kebijakan untuk bekerja secara efektif, ongkos yang ditanggung pun semakin mahal. Alhasil, manfaat neto dari kebijakan menjadi minim. Ongkos yang paling mahal adalah ketika kebijakan itu sama sekali tidak efektif. Ongkos tersebut tidak gratis. Artinya dengan target yang sama, BI harus melunasinya dengan kebijakan lain. Cerita pun berulang. Kebijakan lain itu pun tidak luput dari risiko kegagalan dengan ongkos yang jauh lebih mahal lagi. Alhasil, BI berani mengambil risiko itu dengan memotong suku bunga acuannya. Dalam pandangan BI, kebijakan moneter akan efektif jika publik yang terkena kebijakan tidak mengantisipasinya terlebih dahulu. Kebijakan yang mengejutkan dan di luar prediksi pelaku ekonomi seperti itulah yang secara teoretis akan mujarab.
Efektivitas kebijakan Kebijakan tidak mainstream yang ditempuh oleh BI sejatinya masuk akal jika memperhitungkan kondisi yang tengah dihadapi oleh ekonomi negara ini. Produk domestik bruto masih didominasi oleh belanja dan konsumsi masyarakat yang memiliki porsi 57%. Daya beli untuk konsumsi selama triwulan kedua dan ketiga 2020 melorot masing-masing 5,51 % dan 4,04 % secara tahunan. Menukiknya konsumsi rumah tangga, pada kenyataannya, lebih dalam dari kontraksi pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Berangkat dari sini tesis yang berkembang adalah bahwa kausalitas bergerak dari daya beli menuju ke konsumsi. Logika dari daya beli ke konsumsi inilah tampaknya yang diadopsi oleh pemerintah. Alhasil, di masa pandemi Covid-19, pemerintah gencar menyalurkan aneka bantuan. Misalnya Program Keluarga Harapan, Bantuan Langsung Tunai, Dana Desa, Kartu Prakerja, Subsidi Gaji, Bantuan Sosial Produktif untuk Modal UMKM, dan skema bantuan sosial lainnya untuk merawat daya beli masyarakat. Hanya, nominal bantuan sosial barang kali terlalu kecil untuk menggantikan pendapatan rumah tangga yang hilang tersapu Covid-19. Konsekuensinya, berbagai jenis bantuan sosial tersebut habis teralokasi untuk memenuhi kebutuhan pokok. Padahal, kontribusi kebutuhan pokok dalam pembentukan konsumsi relatif kecil. Dengan keterbatasan efek pengganda bantuan sosial inilah yang BI coba menutupnya. BI mengimbangi dengan kebijakan moneter yang diturunkan dari jalur kausalitas konsumsi ke pertumbuhan, terutama rumah tangga golongan menengah-atas yang secara ekonomi cukup kuat sebagai sumber peningkatan konsumsi. Segmen masyarakat menengah-atas disinyalir menahan konsumsi. Tren kenaikan simpanan di perbankan yang menembus 12% di masa pandemi seakan mengamini. Apabila simpanan di perbankan tersebut bisa dibelanjakan niscaya akan membawa daya dorong yang sangat besar terhadap perekonomian nasional. Alhasil, pemangkasan suku bunga acuan niscaya akan menjadi disinsentif bagi pemilik dana menimbun uangnya di perbankan. Pilihan bagi pemilik dana adalah memegang barang yang berarti mengangkat belanja konsumsi. Kekhawatiran pada keseimbangan eksternal agaknya tidak setinggi bulan-bulan sebelumnya. Harus diakui, pengeluaran konsumsi tetap menjadi
exit strategy paling ampuh untuk memulihkan kondisi perekonomian. Tanpa 'intervensi' pemerintah sekalipun, perekonomian domestik masih bisa tumbuh 2%-3% asalkan stabilitas pertumbuhan konsumsi rumah tangga dapat dijaga. Dengan logika ini pula, peran kebijakan moneter BI yang pro-stabilitas (anti resesi) lebih kentara. Pengaruh pemangkasan suku bunga acuan ke suku bunga simpanan lebih terukur (daripada ke suku bunga pinjaman) sehingga ongkos kebijakan yang ditanggung BI pun kian terkontrol.
Pada akhirnya, hilal optimisme yang sudah mulai terlihat dalam menyongsong 2021 tetap terang memancar. Bukan begitu? Penulis : Haryo Kuncoro Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti