Menanti efek lahirnya PEI di pasar saham



JAKARTA. Sejak tahun lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) menggaungkan rencana memperkuat peran anggota bursa (AB) dan meningkatkan nilai transaksi. Direktur Utama BEI Tito Sulistio bahkan pernah berambisi menjadikan pasar modal Tanah Air menjadi indeks terkuat di ASEAN.

Demi menggairahkan pasar saham, BEI menelurkan aturan baru di awal Februari lalu, yakni relaksasi transaksi margin. Pilihan saham margin yang tadinya cuma 62 saham, naik jadi 180 saham. Cuma AB dengan modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) di atas Rp 250 miliar yang mendapat kelonggaran ini.

Agar MKBD sekuritas tidak tergerus, BEI bersama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan PT Kliring Penjamin Efek Indonesia (KPEI) membentuk PT Pendanaan Efek Indonesia (PEI). Tahap awal, PEI memiliki modal Rp 250 miliar dan tahun ini akan ditambah menjadi sebesar Rp 500 miliar.


Perusahaan yang diharapkan mulai beroperasi April ini bakal mengucurkan pinjaman untuk kebutuhan transaksi margin kepada sekuritas yang memiliki fasilitas transaksi margin.

Lantas, bagaimana dampak kehadiran BEI bagi sekuritas dan nilai transaksi nantinya? Kepada KONTAN, Alpino Kianjaya, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, menuturkan, hadirnya PEI bakal mendorong likuiditas di pasar dan meringankan cost of fund sekuritas.

Secara teknis, AB tetap bisa memberikan pinjaman ke nasabah yang ingin bertransaksi margin. Jika kekurangan dana, AB bisa meminjam dari PEI dengan bunga yang cukup murah. Ia menyebut, selama ini AB sulit mendapatkan akses permodalan, terutama dari perbankan. Nah, PEI bisa menjadi jalan keluar bagi AB untuk mendapat dana murah.

Pinjaman yang akan diberikan maksimum Rp 100 miliar dan hanya berlaku bagi AB dengan MKBD di atas Rp 250 miliar. "Bunga pinjaman belum ditentukan, tapi saya bisa pastikan bunganya satu digit," ujar Alpino.

Harapannya, bunga dari broker ke investor juga bisa dibatasi di kisaran 10%. "Sehingga, nasabah akan lebih tertarik dan kemampuan jual beli saham semakin tinggi, karena bunganya rendah," kata dia.

Alpino bilang, saat ini broker punya kendala di beban ongkos yang mahal. Alhasil, bunga pinjaman untuk transaksi margin yang dibebankan ke nasabah juga cukup tinggi. Misalnya, jika ada nasabah yang gagal bayar, beban bunga bisa mencapai 15%, bahkan ada yang mencapai 24%.

Alpino berharap hal ini bisa berimbas ke peningkatan frekuensi transaksi dan nilai transaksi harian. Ia bilang, di bulan Januari lalu nilai rata-rata transaksi margin sekitar Rp 148 miliar. Setelah diberlakukan relaksasi margin, ada kenaikan 180% menjadi Rp 400 miliar.

PEI juga bakal memiliki fungsi lain, yakni lending and borrowing saham. Nantinya, investor bisa meminjam saham untuk dijual. Namun, Alpino mengatakan transaksi ini bukan merupakan short selling. "Fungsi lending and borrowing ini belum akan dilakukan, karena akan dikaji kembali," imbuh dia.

Rencana BEI ini sempat mendapat kritik dari AB, yang diwakili Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI). Pasalnya, pengelompokkan AB sesuai MKBD dinilai hanya akan menguntungkan AB besar saja. "Sementara AB dengan MKBD di bawah Rp 250 miliar tak mendapatkan fasilitas yang sama," ujar Wientoro Prasetyo, Komite Ketua Umum APEI.

Namun, pengamat pasar modal Satrio Utomo menilai, dengan perluasan efek margin, risiko makin meningkat, sehingga sudah tepat jika BEI membatasi MKBD sekuritas yang bisa mendapatkan fasilitas. Di sisi lain, Satrio tak yakin aturan ini bakal mengerek signifikan nilai transaksi.

Sem Susilo, Pengelola Komunitas Saham Pemenang, menuturkan, perluasan efek margin mempunyai efek samping pada volatilitas pasar saham. Apalagi, jika diterapkan pinjam-meminjam saham. Ia menilai pinjam-meminjam saham bisa memiliki konsekuensi negatif yang mirip dengan short sell.

Transaksi margin memang sebaiknya hanya dilakukan oleh trader berpengalaman. Jangan sampai karena dilonggarkan, trader pemula lantas terjebak dalam risiko yang lebih besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini