Menanti IPO Perusahaan dengan Kapitalisasi Jumbo di BEI pada Sisa Tahun 2024



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang akhir 2024, Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali diramaikan dengan rencana penawaran umum perdana saham alias Initial Public Offering (IPO) jumbo, salah satunya PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI). 

AADI sedang memulai masa penawaran awal atau bookbuilding sejak 12–18 November 2024. Anak usaha PT Adaro Energy Tbk (ADRO) ini memasang harga penawaran awal di kisaran Rp 4.590–Rp 5.900 setiap sahamnya. 

Dengan menawarkan 778,68 juta saham, AADI berpotensi meraup dana segar sebanyak-banyaknya Rp 4,59 triliun. Setelah IPO, jumlah modal ditempatkan dan disetor penuh mencapai 7,78 miliar.


Baca Juga: Adaro Andalan Indonesia (AADI) akan Gelar IPO, Ini Kisaran Harga Penawarannya

Dengan asumsi AADI menggunakan harga IPO di batas atas, maka kapitalisasi pasar atau market cap perusahaan holding di bidang pertambangan batubara ini mencapai Rp 45,94 triliun. 

Jika rencana hajatan ini berjalan langsung, maka AADI akan menjadi perusahaan dengan nilai IPO terbesar sepanjang 2024. Mengalahkan, PT Ancara Logistics Indonesia Tbk (ALII) senilai Rp 860,92 miliar. 

Berdasarkan data BEI, sudah tercatat 36 perusahaan yang mencatatkan sahamnya di bursa dengan dana yang dihimpun mencapai Rp 5,42 triliun hingga 8 November 2024. Namun dalam sepekan terakhir, sudah ada tambahan tiga perusahaan anyar. 

Yakni, PT Daaz Bara Lestari Tbk (DAAZ) dengan dana yang terhimpun Rp 264 miliar, PT Newport Marine Services Tbk (BOAT) sebesar Rp 100,04 miliar dan yang paling baru ada PT Adiwarna Anugerah Abadi Tbk (NAIK) dengan dana Rp 80,25 miliar. 

Baca Juga: Adaro Andalan Indonesia (AADI) akan Gelar IPO, Ini Kisaran Harga Penawarannya

I Gede Nyoman Yetna, Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia menyampaikan dalam pipeline BEI ada dua calon perusahaan tercatat dalam kategori lighthouse, yaitu perusahaan dengan market cap minimal Rp 3 triliun dengan free float minimal Rp 15%. 

Namun dia masih enggan untuk memberikan detail informasi mengenai perusahaan mercusuar yang sedang berproses. Kendati begitu, Nyoman optimistis gelaran IPO dari perusahaan mercusuar itu bisa dieksekusi di sisa 2024. 

"Bursa optimistis perusahaan yang masuk dalam pipeline dengan kategori lighthouse tersebut dapat tercatat pada tahun ini serta memperoleh pendanaan yang optimal di pasar modal," jelasnya, Rabu (13/11).

BEI sendiri memasang target, setiap tahunnya akan ada gelaran IPO dari perusahaan lighthouse. Nyoman untuk tahun ini, sudah ada satu perusahaan mercusuar yang melantai di pasar saham, yaitu ALII. 

Baca Juga: Menakar Dampak Divestasi Adaro Andalan Indonesia (AADI) Ke Kinerja Adaro (ADRO)

Perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Bakrie itu resmi tercatat di BEI pada 2 Juli 2024. ALII mencatatkan saham sebanyak 15,82 miliar dengan harga Rp 272 saham, dengan demikian market cap ALII mencapai Rp 4,3 triliun. 

Nyoman menilai dengan usainya pesta demokrasi di Indonesia iklim politik yang kondusif dan pertumbuhan ekonomi yang stabil dapat mendorong optimisme dan ketertarikan investor domestik maupun asing untuk berinvestasi di perusahaan lighthouse. 

Memang jika dibandingkan dengan hajatan IPO tahun ini tergolong sepi. Jika dibandingkan tahun lalu, jumlah lighthouse yang melantai di Bursa lebih semarak di sepanjang 2023.

Setidaknya, ada empat yang berhasil melantai di BEI, yakni PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN). 

Direktur Infovesta Utama Parto Kawito menilai IPO emiten berkapitalisasi besar jelas lebih diinginkan karena bisa menarik investor domestik dan asing yang berdana besar dan mengutamakan likuiditas. 

Dia mencontohkan, IPO DAAZ yang mengalami kelebihan permintaan atau oversubscribed sebanyak 323 kali. Artinya, investor domestik memiliki kemampuan untuk menyerap IPO, jika yakin harga setelah IPO kemungkinan besar naik. 

Menurut Parto, gelaran IPO yang ideal adalah penawaran umum saham dari perusahaan besar dengan harga yang tidak terlalu mahal. Dia mencontohkan salah satu IPO emiten teknologi yang bias dengan adanya program MSOP di harga murah. 

Baca Juga: PGEO Tambah Kapasitas Panas Bumi

"Aturan nya harus ditegakkan dan denda dikenakan kemudian uang denda ini dibagikan kepada investor ritel yang dirugikan, sehingga menjadi adil," katanya saat dihubungi Kontan, Rabu (13/11). 

Senada, Pengamat Pasar Modal Lanjar Hafi mengatakan terkadang emiten yang lebih besar bisa mendorong IPO dengan nilai yang lebih tinggi. Dengan catatan, calon emitennya memiliki prospek yang menarik. 

Biasanya perusahaan jumbo sudah memiliki daya tarik sendiri karena kestabilan dan prospek jangka panjang yang mereka tawarkan. Namun Lajar menilai kondisi pasar yang tidak kondusif IPO besar juga kurang atraktif.  

"Karena jika kondisi pasar sedang tidak kondusif, bahkan perusahaan besar pun bisa kesulitan menarik investor dalam proses IPO," ucap Lanjar. 

Founder Stocknow.id Hendra Wardana menuturkan dalam proses secara IPO perusahaan besar, daya tarik bisa sangat tinggi jika nilai perusahaan terlihat atraktif dan investor melihat prospek jangka panjang yang menjanjikan.

Baca Juga: Simak Jadwal IPO Adaro Andalan (AADI) Beserta Skema PUPS dari ADRO

Perusahaan besar dengan fundamental yang baik cenderung memiliki ekosistem bisnis yang lebih stabil dan dapat memberikan dividen reguler atau potensi kenaikan nilai saham yang lebih tinggi.

Namun, lanjut Hendra, jika IPO dilakukan dengan valuasi yang terlalu tinggi atau jika fundamentalnya ternyata tidak mendukung, maka harga sahamnya bisa berpotensi tertekan setelah listing.

Dia mencontohkan, suksesi IPO PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) yang berhasil meraup Rp 22 triliun dari pasar modal. Memang ini menunjukkan antusiasme awal, namun harga sahamnya kurang atraktif di kemudian hari.

"Hal ini disebabkan karena investor mulai melihat bahwa kinerja fundamental perusahaan belum sesuai ekspektasi pasar dan profitabilitas yang diharapkan belum tercapai," kata Hendra. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli