Menanti kelanjutan Pelabuhan Tanjung Priok



Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta Utara memiliki sejumlah program pengembangan, salah satunya adalah New Priok Container Terminal atau NPCT. Tahap pertama proyek tersebut sudah beroperasi dan dikenal dengan sebutan NPCT 1.

Angka 1 (satu) pada nama korporasi itu menandakan pengembangan terminal baru di Pelabuhan Tanjung Priok baru menyelesaikan tahap pertama dengan total investasi lebih dari Rp 11 triliun. Ada beberapa tahap pembangunan lagi yang harus diselesaikan agar NPCT sempurna sebagai fasilitas yang dapat disandingkan dengan fasilitas sejenis di dunia.

Berdasarkan master plan pengembangan, proyek NPCT tahap selanjutnya adalah pengembangan terminal 2 dan 3 (masih tetap terminal peti kemas) yang jika kelak tuntas dibangun akan menambah kapasitas bongkar-muat hingga 3 juta twenty foot equivalent unit (TEU). Digabung dengan kemampuan NPCT 1, terminal kontainer baru di Pelabuhan Tanjung Priok akan mampu mengelola 4,5 juta TEU. Bila NPCT1 menelan dana hingga lebih dari Rp 11 triliun untuk pembangunannya, NPCT 2 dan NPCT 3 disebut menelan dana Rp 8 triliun.


Kepada media, Direktur Teknik dan Manajemen Risiko PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Dani Rusli mengungkapkan, pengembangan NPCT 2 dan NPCT 3 sudah dimulai dengan pekerjaan reklamasi seluas 200 ha. Sayang tidak dijelaskan berapa investasi yang diserap untuk pekerjaan ini. Disamping terminal peti kemas, NPCT juga akan dilengkapi dengan terminal produk (untuk gas dan BBM) dan dinamai NPCT 4 dan NPCT 5. Seluruh proyek tersebut direncanakan akan beroperasi pada tahun2020.

Pengembangan NPCT yang tetap berlanjut tentu patut diapresiasi. Hanya saja, jika melihat kemampuan Pelindo II, gerak laju pembangunan fasilitas tersebut sebetulnya masih bisa digeber.

Tidak perlu menunggu sampai kapasitas NPCT 1 mencapai 70%. Dengan kondisi ekonomi dunia yang tidak menentu, ditambah persaingan ketat di antara operator terminal peti kemas serantau (Pelabuhan Singapura, Pelabuhan Klang dan Tanjung Pelepas di Malaysia), rasanya sulit mencapai target tadi.

Di samping itu, pangsa pasar angkutan kontainer dalam negeri masih terbatas; barang-barang break bulk dan general cargo masih mendominasi. Muatannya tidak bertumbuh. Contoh sederhana lihatlah bagaimana kapal tol laut kesulitan mengisi kontainer mereka, khususnya dari Indonesia timur ke Indonesia barat.

Harus ada langkah serius dari semua pemangku kepentingan agar muatan pelayaran peti kemas domestik berkembang. Giliran berikutnya, jika pelayaran kontainer sehat, terminal peti kemas di dalam negeri juga bisa sustainable.

Indonesia memang terbilang unik. Apapun tipe kapal tetap saja bisa dipakai untuk mengangkut kontainer. Bahkan, kapal kayu (pelayaran rakyat) sekalipun. Akhirnya peti kemas tersebar tidak menentu. Untuk mengumpulkan kembali diperlukan biaya repositioning empty container (repo) yang relatif tinggi.

Sejatinya, kontainer atau peti kemas memiliki karakteristik yang khas sehingga untuk mengangkutnya diperlukan kapal khusus. Dalam dunia pelayaran, dikenal dua jenis kapal kontainer: full container dan semi container.

Bedanya hanya pada keberadaan alat bongkar muat di atas kapal. Pada jenis pertama, tidak ada derek (crane) dan menggantungkan bongkar muat barang sepenuhnya kepada derek yang ada di pelabuhan. Sementara, jenis kedua memiliki derek di atas kapal. Sudah begitu, pengangkutan kontainer di Indonesia belum ada peta jalan (roadmap). Yang penting barang yang menumpuk di Jawa bisa diangkut keluar Jawa dengan harga diusahakan sama dengan di Jawa. Apakah barang itu diangkut dalam peti kemas atau break bulk tak jadi masalah.

Jika pun sudah terlanjur barang-barang itu dikemas dalam kontainer, mau diangkut menggunakan kapal khusus kontainer atau bukan juga tidak apa-apa. Tidak jelasnya postur bisnis pengangkutan kontainer di Indonesia karena lumayan jelimet menghitungnya.

Bisa lebih kencang

Tetapi, sebagai bagian dari komunitas kemaritiman global rasanya kita tidak bisa cuek bebek dengan praktik kontainerisasi ini. Di luar sana, kontainerisasi berjalan semakin pesat yang salah satu indikasinya adalah dibangunnya kapal-kapal pengangkut peti kemas berukuran jumbo, di atas 19.000 TEU.

Perhatian yang lebih intens mesti diberikan kepada pengangkutan kontainer di Indonesia. Alasannya cukup sederhana. Perhatian terhadap pengangkutan kontainer, mulai dari pencatatan, pemasaran dan lainnya, akan semakin teliti. Sehingga, pada giliran selanjutnya, akan tersusun sebuah data bank yang rapi terkait pergerakan peti kemas nasional. Jika kita ingin mendorong pelabuhan utama di Tanah Air melayani puluhan juta TEU setahun, atau pelabuhan lainnya, data ini penting.

Selama ini, semua aspek tersebut masih belum rapi tersusun. Karenanya, ketika berhadapan dengan perusahaan pengangkutan peti kemas kelas dunia atau main line operator, kita tidak bisa meyakinkan mereka supaya mau memindahkan operasinya dari negeri jiran ke Indonesia.

Data kontainer nasional yang tidak jelas yang menjadi pasal keengganan mereka menyahuti ajakan kita. Di sisi lain, negeri jiran memiliki data peti kemas yang sangat detil sehingga main line operator berbondong ke sana. Bisa saja data itu dikumpulkan dari pergerakan kontainer yang ada di Indonesia.

Seharusnya, pengembangan NPCT bisa lebih kencang jalannya karena Pelindo II telah menyiapkan dana yang didapat dari penerbitan obligasi global (global bond) perdana senilai total US$ 1,6 miliar atau setara Rp 20,8 triliun pada 23 April 2015. Sayangnya, menyaksikan bagaimana perusahaan pelat merah itu dijalankan saat ini bisa-bisa proyek NPCT "ke laut aja" nantinya. Karena, duit yang ada sepertinya dipakai untuk program, proyek atau kebijakan lain yang menjauh dari core business Pelindo II sebagai operator pelabuhan.

Dari berbagai pemberitaan media massa, number one (baca: direktur utama) Pelindo II melontarkan banyak jurus finance dalam mengelola perusahaan yang dia nakhodai. Untuk bidang yang satu ini Elvyn G Masassya memang jagonya dan track record kepemimpinannya mulai dari dunia perbankan hingga lembaga keuangan. Dengan sentuhannya berdirilah IPC Investama, meng-IPO-kan terminal kendaraan Pelabuhan Tanjung Priok, Indonesia Kendaraan Terminal (IKT), dan operator kapal pandu, Jasa Armada Indonesia.

Sah-sah saja apa yang dilakukan pria yang juga musisi jazz itu. Namun, bisnis pelabuhan adalah bidang usaha unik, jika tidak mau disebut berbeda 180 derajat dari apa yang ia pernah geluti sebelumnya. Bisa jadi apa yang dia jalankan tidak akan cocok dalam menjalankan IPC (branding baru Pelindo II). Sebagai anak usaha, IKT sebetulnya entitas yang amat sehat, ia tidak memerlukan suntikan dana pihak luar. Berharap untung, langkah ini alih-alih bisa menjebak perusahaan ini ke dalam utang. Entahlah.•

Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi