Menanti masa panen sektor konsumer



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menetapkan kebijakan populis. Hingga tahun 2019, pemerintah tidak akan mengerek tarif listrik dan BBM bersubsidi. Demi mendukung langkah ini, maka subsidi kedua produk energi itu akan ditambah.

Pemerintah perlu menambah subsidi lantaran harga minyak mentah di pasar global sudah menembus level US$ 60 per barel. Sementara, harga minyak di APBN 2018 di posisi US$ 48 per barel.

Di atas kertas, kebijakan ini berpotensi mengerek kinerja emiten sektor konsumer. Lantaran tarif listrik dan harga BBM subsidi tidak naik, maka daya beli masyarakat bisa terkerek. Ini berarti tingkat konsumsi masyarakat akan meningkat.


Kepala Riset Koneksi Kapital Sekuritas Alfred Nainggolan menilai, meski beban masyarakat tidak akan naik karena subsidi bertambah, faktor ini tidak berpengaruh signifikan pada permintaan atau daya beli masyarakat terhadap produk consumer goods. "Jadi, dampaknya ke sektor konsumer hanya untuk mempertahankan daya beli," kata dia, pekan lalu.

Alfred justru melihat sektor konsumer lebih didorong momentum pilkada serentak tahun ini dan pemilu pada tahun depan. "Tahun pemilu jauh lebih berpengaruh terhadap kontribusi permintaan masyarakat. Pertumbuhan sektor konsumer bisa datang dari sentimen ini," ungkap dia.

Hal senada disampaikan Vice President Research Department Indosurya Bersinar Sekuritas William Surya Wijaya. Dia mengatakan, bertambahnya subsidi BBM dan listrik bukan menjadi satu-satunya faktor yang bisa mengerek sektor konsumer.

Selain subsidi BBM dan listrik serta momentum pilkada serentak, tahun ini sektor konsumer akan terdorong oleh ajang olahraga Asian Games dan momentum Ramadhan dan Idul Fitri. "Diperkirakan event tersebut banyak memberikan sentimen positif pada sektor konsumen, terutama masa kampanye bisa cukup mendorong kinerja sektor konsumer, dampaknya mulai terlihat di akhir kuartal II-2018," kata William.

Pada tahun ini, Alfred memprediksi pertumbuhan sektor konsumer cenderung flat dan naik tipis. Jika pemerintah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%, maka sektor konsumer diprediksi tumbuh 10%. Namun, dengan kondisi saat ini, Alfred berpandangan moderat sektor konsumer hanya tumbuh 7% sepanjang 2018.

Sementara, survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan, tingkat keyakinan konsumen di Februari 2018 turun menjadi 122,50 dibandingkan Januari 2018 sebesar 126,10.

Menurut Alfred, survei itu menandakan ekspektasi pasar dalam beberapa bulan ke depan akan menurun, mengingat ada sentimen yang cukup signifikan mempengaruhi sektor konsumer, seperti naiknya harga komoditas dan pelemahan nilai tukar rupiah.

Tantangan bisnis

Alfred juga berpendapat, tantangan bagi sektor konsumer di tahun ini akan datang dari ketatnya persaingan bisnis dan booming bisnis e-commerce. Sebelumnya, penjualan produk konsumer mengandalkan gerai konvensional. Akan tetapi, kini penjualan di toko fisik mulai melemah akibat selera dan pola belanja masyarakat bergeser ke dunia digital.

Agar bisa bertahan, Alfred menilai emiten konsumer harus berupaya menggenjot efisiensi biaya produksi dan operasional. Sebab, saat ini cukup berat apabila emiten hanya mengandalkan pertumbuhan pendapatan.

Di saham konsumer, Alfred menjagokan INDF. Alsannya, valuasi atau price earning ratio (PER) emiten ini baru 13 kali dan termasuk murah dibandingkan emiten konsumer lainnya. "Misalnya, valuasi ICBP sudah di atas 20 kali dan MYOR 30 kali," kata dia.

Alfred merekomendasikan buy INDF dengan target harga Rp 9.240 per saham. Tahun ini, Alfred memprediksi pendapatan INDF naik 10%-12%.

Sedangkan William lebih menyukai ICBP, MYOR dan UNVR. Alasannya, ketiga emiten tersebut memiliki produk yang sudah cukup familier dan diterima masyarakat.  William merekomendasikan buy ICBP dan UNVR, dengan target harga untuk masing-masing saham Rp 9.800 per saham dan sebesar Rp 55.000 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati