Menanti pagar pembatas asing di industri perbankan



JAKARTA. Menjelang detik-detik masa pergantian kekuasaan, para bankir tengah berharap-harap cemas. Pasalnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berambisi meresmikan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbankan. 

Achsanul Qosasi, Anggota Komisi XI DPR menyatakan, pihaknya tengah ngebut untuk memfinalisasi RUU Perbankan sebelum masa bakti DPR berakhir pada 30 September mendatang.

"Kalau tidak segera disahkan, DPR baru akan mulai dari awal lagi. Padahal perbankan kita sudah sangat mendesak untuk dibenahi,” tandas Achsanul saat dihubungi KONTAN, Selasa (12/8). 

Komisi XI DPR dijadwalkan membahas RUU Perbankan pada 18 Agustus - 20 Agustus mendatang. Achsanul optimisits DPR bisa merampungkan beleid itu. Dia bilang, dari segi konten, RUU Perbankan telah rampung 95%. 

Menurut dia, dalam sidang selanjutnya, tidak bakal ada perubahan siginifkan. Sisa 5% hanya akan menambahkan klausul tentang bank khusus. Bank khusus yang dimaksud adalah bank yang spesialis menggarap sektor kredit tertentu. Misal, bank infrastruktur. 

Senada dengan Achsanul, Ketua Panja RUU Perbankan Harry Azhar Aziz juga menargetkan RUU Perbankan akan selesai akhir September nanti.

Nah, salah satu poin menarik dalam bakal beleid itu adalah penyertaan investor asing di perbankan.  Maklum, jika dalam aturan sebelumnya asing bisa leluasa memiliki saham bank di Tanah Air, dalam aturan anyar nanti ruang geraknya dibatasi.

Kepemilikan asing di perbankan memang selalu menjadi sorotan masyarakat. Dari 34 bank yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia, ada 15 bank yang dikendalikan investor asing. Bahkan, enam bank dari 10 bank dengan aset terbesar yang menguasai 62,87% industri perbankan berada dalam kendali pemodal asing.

Bebasnya asing masuk perbankan tidak lepas dari kebijakan pemerintah sebelumnya. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1999, pemodal asing memang dibolehkan memiliki saham bank hingga 99%. Kala itu, kebijakan ini bertujuan mengundang masuknya modal asing pasca krisis ekonomi tahun 1997/1998. Kini, setelah kondisi ekonomi kita membaik, desakan untuk merevisi aturan tersebut menguat.

Berdasarkan pembahasan terakhir, kata Harry, seluruh anggota tim penyusun sepakat membatasi kepemilikan asing, baik individu atau badan hukum asing, di bank maksimal 40%.

Satu investor hanya bisa mengendalikan satu bank. Tujuannya agar bank lokal menjadi raja di negeri sendiri. “Kepemilikan asing yang terlalu dominan bisa membuat peran perbankan yang diinginkan pemerintah sulit berjalan,” kata pria yang juga menjabat Wakil Ketua Komisi XI DPR ini.

Yang menghebohkan adalah aturan tersebut bakal berlaku surut. Artinya, jika RUU itu diketok palu, maka semua bank yang saat ini dikuasai oleh pemodal asing lebih dari 40% saham harus mengurangi porsi kepemilikan sahamnya.

Christina Sani, Eselon I Otoritasa Jasa Keuangan (OJK), mengaku, pihaknya sudah memberi beberapa usulan. Usul OJK, pembatasan kepemilikan asing diatur di peraturan OJK saja agar lebih fleksibel. 

Joseph Abraham, CEO ANZ Indonesia sekaligus Ketua Forum Bank Asing Indonesia (FBAI), mengatakan, pembatasan saham investor asing merugikan iklim investasi bagi bank asing. "Dari perspektif basel III, bank akan mengalami tekanan modal inti," ujar dia.

Joseph bilang, pembangunan infrastruktur masih mengandalkan bank asing yang memiliki kapasitas pendanaan besar. "Bank lokal memiliki keterbatasan," ujarnya.

Arno Kermaputra, Head Corporate Affair Standard Chartered Bank Indonesia, mengatakan, pihaknya siap mematuhi regulasi. “Kami menunggu draf itu disahkan terlebih dahulu. Setelah itu melakukan kajian,” ujar dia.

Negara lain sudah menerapkan

Meski lebih ketat, kebijakan tersebut sejatinya tidak aneh bagi para investor asing. Pasalnya, negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga sudah menerapkan hal yang sama. Pemodal asing boleh menjadi pemegang saham pengendali, tapi tidak boleh menjadi pemegang saham mayoritas.

Di Malaysia, misalnya, Bank Negara Malaysia (BNM) membatasi kepemilikan kolektif maksimal 30%. Komposisinya: perusahaan asing tunggal maksimal 20%, sementara individu asing maksimal 10%.

Thailand dan Filipina juga menerapkan kebijakan yang hampir sama. Di Thailand, asing bisa memiliki saham bank hingga 100%. Tapi, dalam 10 tahun investor harus mendivestasikan sahamnya menjadi tersisa 49%.

Di Filipina, asing juga diperbolehkan memiliki saham hingga 100% tapi setelah tujuh tahun harus diturunkan menjadi 40%. Harry pun mengklaim, kebijakan ini sebenarnya tidak anti kepemilikan asing karena hanya berlaku bagi calon investor baru. Jadi, investor lama masih berpeluang mempertahankan kepemilikannya saat ini. Syaratnya, mereka punya rekam jejak baik, tata kelola yang baik, kecukupan modal, dan kontribusi terhadap perekonomian nasional atas persetujuan DPR. “Definisi kontribusi terhadap perekonomian nasional akan diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Masa transisi pelepasan saham belum final, kemungkinan antara 5 tahun– 10 tahun,” kata Harry.

Jika pemegang saham asing tidak mampu memenuhi hal tersebut, mereka baru wajib mendivestasikan kepemilikan sahamnya hingga maksimal 40%. Bahkan, jika pemegang saham pengendali tak lulus uji kemampuan dan kepatutan (fit dan proper test) maka wajib menurunkan kepemilikan sahamnya hingga 0%.

Pembatasan kepemilikan asing juga masih bisa ‘diakali’ jika si pemilik bank memakai special purpose vehicle (SPV) berbadan hukum Indonesia. Contohnya, Bank Danamon. Temasek memiliki 67,37% saham Danamon melalui Asia Finansial yang berbadan hukum Indonesia.

Waktu yang tepat

Hampir rampungnya beleid anyar tersebut mengundang tanggapan beragam dari para bankir. Rata-rata bankir lokal mendukung isi beleid tersebut, sementara bankir asing meminta DPR berhati-hati membuat pembatasan kepemilikan karena dapat berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia.

Sekretaris Perusahaan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Budi Satria menilai, draf RUU Perbankan itu menggambarkan penerapan asas resiprokal atau kesetaraan. Pasalnya, bank lokal selama ini memang kesulitan berekspansi ke luar negeri, sementara bank asing leluasa berekspansi di Tanah Air.

Pembatasan itu juga berguna meningkatkan daya saing perbankan lokal. Maklum, selama ini banyak bank asing yang masuk ke Indonesia untuk mengincar laba gede karena margin tinggi.

Namun menurut Managing Director, Senior Economist and Head of Government Relations Standard Chartered Indonesia Fauzi Ichsan, DPR juga harus menghitung kemampuan investor lokal dalam membeli saham jika pemodal asing harus memangkas porsi kepemilikan sahamnya.

Maklum, investor lokal selama ini lebih suka berinvestasi di sektor riil, seperti properti dan infrastruktur. Tidak banyak investor lokal yang berinvestasi di bank karena membutuhkan modal besar yang menuntut keseriusan dari para pemiliknya.

Pengamat perbankan, Tony Prasetiantono, menilai, aturan tersebut bertujuan baik karena bank dituntut meningkatkan tata kelolanya. Namun, perlu memikirkan waktu tepat untuk penerapannya. Apalagi, saat ini Indonesia masih membutuhkan dana asing karena kondisi ekonomi tengah tertekan oleh pelemahan nilai tukar dan likuiditas yang ketat.

“Sekarang bukan waktu yang tepat memberlakukan aturan tersebut. Jika sekarang mereka (asing) diminta keluar akan berdampak bagi iklim investasi,” ujarnya.

Christina menambahkan, kunci sukses aturan anyar perbankan yang berlaku surut adalah jangka waktu transisi dan kemampuan pasar untuk menyerap saham bank yang dilego asing. “Kami belum bisa pastikan, apakah 5 tahun hingga 10 tahun masa transisi yang cocok. Yang pasti harus dilakukan secara bertahap,” katanya.

Kantor cabang

Pembatasan lain adalah kantor cabang bank asing (KCBA) harus berbadan hukum Indonesia untuk melindungi nasabah. Hal ini dinyatakan dalam Bab IV mengenai Bentuk Badan Hukum, Perizinan, dan Kepemilikan, bagian kesatu pasal 16 yang berbunyi, "Kantor cabang bank asing yang berkedudukan di Indonesia harus berbadan hukum Perseroan Terbatas."

Pertimbangannya, jika masih berbentuk cabang, krisis yang terjadi pada induk akan bisa merambat ke cabang dan mempengaruhi ekonomi nasional. Selain itu, karena bentuknya cabang, kantor pusat bank asing itu bisa bebas memindahkan seluruh aset di cabang.

Namun, bila berbadan hukum Indonesia, cabang tersebut harus tunduk pada hukum Indonesia dan bank asing harus mengendapkan modal untuk menunjang bisnisnya. Sekadar informasi, saat ini ada 11 KCBA yang beroperasi di Indonesia.

Status KCBA ini akan berlaku surut. Maka, pemerintah memberikan masa transisi 5 tahun bagi KCBA untuk berubah jadi PT.

Aturan perubahan status KCBA berbadan hukum Indonesia juga masih menggantung. Perlakukan bagi KCBA yang sudah berdiri masih dibahas karena terbentur aturan “Grand Fathering Law”. Aturan internasional ini menyatakan korporasi asing tidak boleh dikenai aturan yang baru jika korporasi tersebut sudah berdiri sebelum aturan baru berlaku.

Menurut Harry, untuk aturan KCBA, akan berlaku qualified ASEAN bank (QAB) yang ingin membuka cabang di Indonesia. Yaitu, bank nantinya boleh bebas berekspansi di seluruh kawasan ASEAN. Untuk bisa menjadi QAB, bank harus memiliki modal yang kuat ditunjang dengan likuiditas yang memadai.

Saat ini, otoritas keuangan di ASEAN sedang merampungkan syarat-syarat tersebut. “QAB tidak akan bertentangan dengan RUU Perbankan, karena yang masuk Indonesia harus tunduk pada hukum Indonesia. Kami mengutus OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan Bank Indonesia (BI) dalam rapat penyusunan QAB untuk membawa semangat ini, bukan membenturkan,” ujar Harry.

Fauzi Ichsan juga mengatakan hal senada. Menurutnya, kewajiban cabang menjadi badan hukum Indonesia akan bertabrakan dengan Grand Fathering Law.

Hal itu juga akan membuat persepsi investor tidak baik terhadap negara ini. Padahal, pada awal 1970-an, pemerintah yang mengundang bank asing masuk Indonesia dengan janji statusnya tidak diubah. “Peraturan OJK dan BI sudah benar untuk merangsang KCBA jadi berbadan hukum Indonesia dengan memberikan insentif. Mereka tak pernah mewajibkan perubahan status,” ujarnya.

Tak hanya itu, kebijakan ini kata Fauzi juga akan membuat funding cost bank asing akan naik. Ketika masih berstatus kantor cabang bank asing, si nasabah yang memiliki rekening dan berada di Indonesia bisa mengambil uang dari simpanan miliknya yang berada, misalkan di Amerika Serikat. “Ketika ini berubah menjadi PT, ini tidak bisa lagi dilakukan,” ujarnya.

Kondisi ini menimbulkan situasi dimana funding cost (biaya dana) Dollar Amerika Serikat (AS) akan mengalami kenaikan demi mempertahankan likuiditas dari nasabah yang memiliki dollar. Akibatnya beban ini akan dipikulkan kepada nasabah dengan cara menaikkan bunga kredit bagi debitur yang meminjam dana dari bank asing yang berbentuk PT. “Tentu konsekuensi inilah yang akan terjadi,“ tuturnya.

Lain lagi kata Grup Head Mass Banking Bank Mandiri Riza Zulkifli. Menurutnya, RUU Perbankan memiliki semangat untuk menyamakan level of playing field.

Ia mencontohkan, agar bank bisa beroperasi di Malaysia harus berbentuk anak usaha dan bukan cabang. Belum lagi bank harus memiliki modal yang cukup dan dibatasi ekspansinya. “Mereka (Malaysia) saja menerapkan perlindungan terhadap perekonomiannya, kenapa Indonesia tidak bisa,” tukasnya.

Poin-Poin Penting RUU Perbankan

  • OJK dan/ BI harus memperhatikan prinsip resiprokalitas dalam menjalankan tata hubungan perbankan internasional.
  • Bank diperbolehkan melakukan penyertaan pada perusahaan jasa keuangan dan perusahaan penunjang jasa keuangan.
  • KCBA harus berbadan hukum Indonesia dan tunduk pada aturan hukum Perseroan Terbatas. Masa transisinya maksimal 5 tahun.
  • Warga negara asing atau badan hukum asing yang memiliki saham bank umum lebih dari 40% harus menyesuaikan pembatasan kepemilikan saham sesuai dengan undang-undang ini paling lama 5/10 tahun.
  • Pemegang saham pengendali yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan wajib menurunkan kepemilikan sahamnya hingga 0% saham.
  • OJK dapat memaksa bank dalam pengawasan untuk melakukan penggabungan atau merger.
  • OJK meminta pertimbangan BI dalam hal menetapkan bank gagal tidak berdampak sistemik.
  • Dalam rangka pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan, OJK bisa mengeluarkan perintah tertulis agar bank memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan