Menanti pengganti BP Migas yang memakmurkan rakyat



Sehari setelah putusan Mahkamah Konstitusi, Raden. Priyono sudah berkemas-kemas. Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) ini sudah membereskan ruang kerjanya. Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sudah siap-siap angkat kaki dari kantornya yang berada di Wisma Mulia di Jalan Gatot Subroto, Jakarta sehari setelah Mahkamah Konstitusi membubarkan lembaga yang dipimpinnya.

Pada Selasa (13/11) lalu, Mahkamah Konstitusi telah mengakhiri nyawa BP Migas. Majelis hakim konstitusi yang dipimpin Mahfud MD menilai,  keberadaan BP Migas bertentangan Konstitusi karena tidak mengelola secara langsung sumber migas melainkan hanya mengendalikan dan mengawasi saja.  Hakim menilai fungsi dan peran BP Migas ini bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 yang mengharuskan negara menguasai dan mengelola sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  

Kendati BP Migas menjalin kontrak kerjasama pengelolaan migas, Mahkamah Konstitusi menilai penguasaan negara atas sumber daya migas tidak efektif untuk kemakmuran rakyat.  Ada tiga alasan menurut Mahkamah Konstitusi mengapa kontrak kerjasama ini tidak efektif. Pertama, pemerintah tidak bisa secara langsung mengelola atau menunjuk perusahaan untuk mengelola  sumber migas.


Kedua, setelah BP Migas meneken kontrak kerjasama, negara kehilangan kebebasan untuk mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan isi kontrak. Ketiga, negara tidak bisa memaksimalkan keuntungan untuk kemakmuran rakyat karena adanya prinsip persaingan usaha yang sehat, wajar dan transparan.

Sekedar berkilas balik,  BP Migas dibentuk pemerintah pada 16 Juli 2002 silam. Lembaga yang berfungsi sebagai pembina dan pengawas kontrak kerjasa sama ini dibentuk atas amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pendiriannya kemudian disahkan lewat Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang BP Migas.

Pembentukan BP Migas ini bertujuan mengakhiri peran PT Pertamina yang selama ini dianggap berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, sebelum Undang-Undang Migas itu berlaku, Pertamina mempunyai dua peran sekaligus yakni sebagai kuasa pertambangan dan pelaku bisnis di bidang pertambangan minyak.

Dengan undang-undang Migas yang baru, akhirnya BP Migas diberi peran kuasa pertambangan yang berfungsi pembina dan pengawas kontrak kerjama bidang pertambangan migas. Sementara Pertamina dipertahankan sebagai pelaku bisnis berbentuk badan usaha milik negara.

Namun, selama hidupnya, kinerja BP Migas dianggap tidak efektif mengelola sumber daya migas. Inilah salah satu alasan pengajuan uji materi terhadap Undang-Undang Migas tersebut.  Salah satu indikatornya produksi minyak dan gas yang terus merosot dan tak mencapai target yang dibebankan negara (lihat tabel). Di sisi lain, biaya produksi minyak dan gas (cost recovery) terus  membengkak.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghitung ada sekitar  US$ 1,7 miliar dari bagian pemerintah yang hilang dari kontrak kerjasama dengan kontraktor. Potensi kerugian itu berasal dari perhitungan cost recovery mulai dari tahap eksplorasi sampai biaya dalam tahap produksi yang tidak sesuai peraturan ataupun dibayar tidak dengan uang melainkan dengan minyak padahal cost recovery dikeluarkan sebelum minyak dihasilkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menemukan berbagai celah yang merugikan negara dalam kegiatan usaha hulu migas ini. Diantaranya seperti perhitungan dana bagi hasil yang tidak sesuai, pembayaran cost recovery yang akal-akalan, manipulasi pajak dan royalti serta pencatatan lifting.

Jika sistem ini tidak segera dibenahi, KPK menghitung potensi kerugian negara pada 2011 saja mencapai Rp 152,96 triliun. Berdasarkan laporan KPK tahun 2011, kerugian ini berasal dari keuangan dan kekayaan negara sebesar Rp 152,43 triliun dan pengalihan asset negara sebesar Rp 532,20 miliar.

Pertamina, pengganti BP Migas?

Putusan Mahkamah Konstitusi ini membuat pemerintah kalang kabut. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa segera memanggil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik dan Priyono.

Tak sampai sehari, rapat terbatas itu memutuskan untuk membentuk Unit Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas sebagai pengganti BP Migas. Sehari kemudian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2012 tentang Unit Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu  Minyak dan Gas Bumi.

Unit ini berada di bawah Kementerian ESDM dan bukan di bawah Pertamina selaku badan usaha milik negara di bidang migas. “Pertamina kan institusi bisnis. Sebaiknya di bawah pemerintah," kata Hatta.

Tugas unit ini sama seperti BP Migas, termasuk  dalam negosiasi kontrak migas. Bahkan seluruh aset dan pegawai BP Migas akan beralih ke unit ini, dan sumber dana unit ini ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Kami hanya ingin memastikan seluruh operasi dan kontraktor tetap berjalan," tandas Hatta.

Wakil Direktur Reforminer Institute  Komaidi Notonegoro menilai unit itu hanya solusi jangka pendek bagi pemerintah. Dia mendesak pemerintah seharusnya membentuk sebuah badan usaha milik negara (BUMN) untuk menggantikan peran BP Migas ini.

Mengapa BUMN? Dengan status berbadan usaha, Komaidi menilai “BP Migas” baru bisa secara langsung mengelola migas dengan menjalin kerjasama dengan kontraktor lainnya.  Menurutnya, fungsi BUMN ini sebagai manajerial.

Dia menyarankan pemerintah bisa saja mengalihkan seluruh sumber daya BP Migas ke PT Pertamina Hulu Energi (PHE). Katanya, PHE ini bisa menjadi bagian terpisah dari induk usahanya PT Pertamina.

Pengamat Perminyakan Kurtubi juga sependapat. Menurutnya, pemerintah sebaiknya membentuk satu badan usaha milik negara untuk menggantikan almarhum BP Migas. “Tunjuk saja langsung Pertamina daripada susah-susah. Kenapa mesti membuat yang baru?,” katanya.

Baginya, penunjukkan Pertamina sebagai badan usaha pengelola sumber migas tidak bisa disebutkan mengandung conflict of interest. Sebab, menurutnya, pengelolaan sumber daya alam bukanlah dalam konteks persaingan usaha.

Menurutnya, praktik ini juga dilakukan oleh Malaysia. Dia bilang, Negeri Jiran itu bahkan memberikan otonomi yang luas bagi Petronas untuk mengelola sumber migas.

Cuma, dia bilang, ada sejumlah PR yang mesti dilakukan pemerintah sebelum menunjuk Pertamina. Diantaranya, pemerintah harus merevisi Undang-Undang Migas untuk memberikan mandat bagi Pertamina mengelola migas dan merubah struktur perusahaan migas nasional tersebut.  

Pemerintah juga harus membersihkan perusahaan migas nasional itu dari oknum-oknum yang korup supaya Pertamina era 1975-an tak kembali menjelma. Caranya, Kurtubi bilang pemerintah harus mengisi jabatan direksi dan komisaris dengan orang-orang yang tepat.

Mengisi dengan orang-orang yang tepat inilah yang selalu menjadi masalah. Sebab, BUMN pengganti BP Migas ini sangat strategis sehingga tak pelak bakal banyak tarik-menarik kepentingan. Yuk, mari menanti wajah BP Migas yang baru yang memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can