Industri hiburan yang makin meriah menjadi ladang subur para koreografer. Profesi ini pun terlihat makin menjanjikan. Koreografer pun dituntut memiliki idealisme, serta mengikuti perkembangan dunia koreografi. Kian harum nama si koreografer, pendapatan pun kian menari-menari.Dunia hiburan dan panggung pertunjukan menjadi ruang kreativitas sekaligus tempat mencari penghidupan bagi para pelaku seni. Salah satunya, penggiat seni tari dan koreografer menjadi tokoh sentral di dalamnya.Seni tari dan koreografi panggung ini juga erat kaitannya dengan seni musik dan akting. Tak heran, seiring meriahnya industri musik dan film, para pengatur gerak tari atau koreografer ini bisa turut terciprat rezeki. Johan Jaffar, koreografer profesional yang juga pemilik Johan Jaffar Dance School, mengatakan bahwa sinergi yang tinggi antara seni tari dan panggung hiburan mengakibatkan tren industri koreografi makin baik. "Kini banyak koreografer andal di Indonesia, karena mereka melihat bergelut di industri seni sangat menjanjikan," tandas lelaki yang kerap disapa Uncle Joe ini.Menurut Johan, sisi kreativitas koreografi tak ubahnya seperti seni musik atau akting, yaitu penyampaian pesan dengan bercerita. "Tiap gubahan koreografer di atas panggung pasti mengusung tema dan konsep yang jelas," ujarnya.Daya tarik sekaligus tantangan koreografer Indonesia terletak pada pengolahan keragaman budaya seni tari tradisional untuk dipadukan dengan seni tari modern yang identik dengan seni tari asing. "Dalam koreografi tak mengenal tren, sang koreografer yang harus menciptakan tren tersebut," kata Johan.Lelaki 37 tahun ini juga mengatakan, karya koreografi pada dasarnya tak ada yang benar-benar original. Gerakan para penari itu biasanya telah dicampur dari berbagai tarian. "Itu sebabnya seorang koreografer harus selalu memperkaya referensi sebagai sarana improvisasi diri," tuturnya.Karena itu, koreografi sebaiknya dikemas oleh koreografer yang telah memiliki identitas dan jati diri sendiri. Tak heran jika setiap koreografer berusaha menciptakan gerakan khas yang dapat diingat oleh publik.Sejauh ini, Johan mengaku mendapatkan proyek koreografi dari berbagai kegiatan. Mulai dari pembuatan videoklip, teater, iklan, hingga pentas ajang pencarian bakat yang marak di televisi saat ini. "Untuk biaya yang diterapkan sifatnya tak jelas karena memakai harga kesepakatan tergantung durasi dan tingkat acara tersebut," ucapnya.Beberapa proyek koreografi yang dikerjakan oleh Johan memiliki nilai yang bervariasi, mulai dari Rp 10 juta hingga ratusan juta rupiah. "Seorang koreografer bukan pekerja kantoran yang memegang pendapatan pasti setiap bulan," tegasnya.Saban bulan, Johan pun mampu menggarap lima hingga enam proyek. Walau enggan menyebut secara detail omzetnya, lelaki yang telah berkarier sebagai koreografer sejak 2003 ini bisa mengantongi pendapatan lebih dari Rp 100 juta setiap bulan.Ia menyatakan, tak ada standardisasi tarif dalam industri koreografi memang menjadi hambatan tersendiri. Tarif seorang koreografer biasanya berdasar reputasi dan seberapa besar acara yang dipegangnya. "Makin harum reputasi koreografer di mata publik, pendapatannya pun semakin besar," ucap koreografer jebolan Amerika Serikat ini.Hartati, koreografer yang juga Dosen seni tari di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), mengakui bahwa koreografi saat ini sudah jauh berkembang. Hal itu tak lepas dari geliat industri pertunjukan seni seperti teater, drama musikal, film, acara musik, tayangan televisi bahkan event olah raga. Semua pergelaran acara itu kerap menggunakan jasa koreografi untuk memberikan makna dan pencitraan yang lebih dalam terhadap pertunjukan tersebut. Hartati, yang dikenal sebagai koreografer teater musikal Laskar Pelangi ini hanya sanggup membuat konsep koreografi untuk dua pertunjukan setiap bulan. Ia membatasi proyeknya, karena ingin menggarap konsep dan mempersiapkan pertunjukan dengan matang. Menurut perempuan 45 tahun ini, idealnya, setiap pertunjukan memerlukan delapan kali latihan atau waktu minimal satu bulan sebagai persiapan. Karena itu, tak berlebihan jika seni koreografi menelan biaya tinggi dalam proses pengerjaannya.Hartati bilang, dalam setiap proyek pementasan dibutuhkan dana berkisar Rp 15 juta sampai dengan Rp 300 juta. Dana ini digunakan untuk pengadaan kostum, transportasi, serta bayaran para penari dan koreografer. "Mungkin acara yang biayanya paling besar adalah rangkaian tari pembukaan untuk SEA Games saat ini, karena melibatkan 1.600 penari," ujarnya. Hartati pun senang, maraknya pertunjukan di tanah air mendorong industri kreatif koreografi makin menjanjikan. Namun begitu, seorang koreografer tetap harus memiliki idealisme sendiri, serta selalu mengikuti berbagai perkembangan dunia koreografi.Profesi koreografer bukanlah profesi yang bisa dikerjakan dengan separuh hati. "Menjadi koreografer membutuhkan dedikasi yang tinggi, fokus dan tajam untuk mengikuti setiap perkembangan di dunia koreografi," ujarnya.Meski jumlah koreografer muda sudah banyak, lanjut Hartati, masih sedikit koreografer yang konsisten berkarya. Ia pun menggarisbawahi, kaum hawa yang terjun dalam sebagai koreografer pun sedikit. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Menari bersama fulus dari kreasi koreografi
Industri hiburan yang makin meriah menjadi ladang subur para koreografer. Profesi ini pun terlihat makin menjanjikan. Koreografer pun dituntut memiliki idealisme, serta mengikuti perkembangan dunia koreografi. Kian harum nama si koreografer, pendapatan pun kian menari-menari.Dunia hiburan dan panggung pertunjukan menjadi ruang kreativitas sekaligus tempat mencari penghidupan bagi para pelaku seni. Salah satunya, penggiat seni tari dan koreografer menjadi tokoh sentral di dalamnya.Seni tari dan koreografi panggung ini juga erat kaitannya dengan seni musik dan akting. Tak heran, seiring meriahnya industri musik dan film, para pengatur gerak tari atau koreografer ini bisa turut terciprat rezeki. Johan Jaffar, koreografer profesional yang juga pemilik Johan Jaffar Dance School, mengatakan bahwa sinergi yang tinggi antara seni tari dan panggung hiburan mengakibatkan tren industri koreografi makin baik. "Kini banyak koreografer andal di Indonesia, karena mereka melihat bergelut di industri seni sangat menjanjikan," tandas lelaki yang kerap disapa Uncle Joe ini.Menurut Johan, sisi kreativitas koreografi tak ubahnya seperti seni musik atau akting, yaitu penyampaian pesan dengan bercerita. "Tiap gubahan koreografer di atas panggung pasti mengusung tema dan konsep yang jelas," ujarnya.Daya tarik sekaligus tantangan koreografer Indonesia terletak pada pengolahan keragaman budaya seni tari tradisional untuk dipadukan dengan seni tari modern yang identik dengan seni tari asing. "Dalam koreografi tak mengenal tren, sang koreografer yang harus menciptakan tren tersebut," kata Johan.Lelaki 37 tahun ini juga mengatakan, karya koreografi pada dasarnya tak ada yang benar-benar original. Gerakan para penari itu biasanya telah dicampur dari berbagai tarian. "Itu sebabnya seorang koreografer harus selalu memperkaya referensi sebagai sarana improvisasi diri," tuturnya.Karena itu, koreografi sebaiknya dikemas oleh koreografer yang telah memiliki identitas dan jati diri sendiri. Tak heran jika setiap koreografer berusaha menciptakan gerakan khas yang dapat diingat oleh publik.Sejauh ini, Johan mengaku mendapatkan proyek koreografi dari berbagai kegiatan. Mulai dari pembuatan videoklip, teater, iklan, hingga pentas ajang pencarian bakat yang marak di televisi saat ini. "Untuk biaya yang diterapkan sifatnya tak jelas karena memakai harga kesepakatan tergantung durasi dan tingkat acara tersebut," ucapnya.Beberapa proyek koreografi yang dikerjakan oleh Johan memiliki nilai yang bervariasi, mulai dari Rp 10 juta hingga ratusan juta rupiah. "Seorang koreografer bukan pekerja kantoran yang memegang pendapatan pasti setiap bulan," tegasnya.Saban bulan, Johan pun mampu menggarap lima hingga enam proyek. Walau enggan menyebut secara detail omzetnya, lelaki yang telah berkarier sebagai koreografer sejak 2003 ini bisa mengantongi pendapatan lebih dari Rp 100 juta setiap bulan.Ia menyatakan, tak ada standardisasi tarif dalam industri koreografi memang menjadi hambatan tersendiri. Tarif seorang koreografer biasanya berdasar reputasi dan seberapa besar acara yang dipegangnya. "Makin harum reputasi koreografer di mata publik, pendapatannya pun semakin besar," ucap koreografer jebolan Amerika Serikat ini.Hartati, koreografer yang juga Dosen seni tari di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), mengakui bahwa koreografi saat ini sudah jauh berkembang. Hal itu tak lepas dari geliat industri pertunjukan seni seperti teater, drama musikal, film, acara musik, tayangan televisi bahkan event olah raga. Semua pergelaran acara itu kerap menggunakan jasa koreografi untuk memberikan makna dan pencitraan yang lebih dalam terhadap pertunjukan tersebut. Hartati, yang dikenal sebagai koreografer teater musikal Laskar Pelangi ini hanya sanggup membuat konsep koreografi untuk dua pertunjukan setiap bulan. Ia membatasi proyeknya, karena ingin menggarap konsep dan mempersiapkan pertunjukan dengan matang. Menurut perempuan 45 tahun ini, idealnya, setiap pertunjukan memerlukan delapan kali latihan atau waktu minimal satu bulan sebagai persiapan. Karena itu, tak berlebihan jika seni koreografi menelan biaya tinggi dalam proses pengerjaannya.Hartati bilang, dalam setiap proyek pementasan dibutuhkan dana berkisar Rp 15 juta sampai dengan Rp 300 juta. Dana ini digunakan untuk pengadaan kostum, transportasi, serta bayaran para penari dan koreografer. "Mungkin acara yang biayanya paling besar adalah rangkaian tari pembukaan untuk SEA Games saat ini, karena melibatkan 1.600 penari," ujarnya. Hartati pun senang, maraknya pertunjukan di tanah air mendorong industri kreatif koreografi makin menjanjikan. Namun begitu, seorang koreografer tetap harus memiliki idealisme sendiri, serta selalu mengikuti berbagai perkembangan dunia koreografi.Profesi koreografer bukanlah profesi yang bisa dikerjakan dengan separuh hati. "Menjadi koreografer membutuhkan dedikasi yang tinggi, fokus dan tajam untuk mengikuti setiap perkembangan di dunia koreografi," ujarnya.Meski jumlah koreografer muda sudah banyak, lanjut Hartati, masih sedikit koreografer yang konsisten berkarya. Ia pun menggarisbawahi, kaum hawa yang terjun dalam sebagai koreografer pun sedikit. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News