Laporan Jajak Pendapat Kompas bertajuk Pemilih Muda Rentan Berubah (Kompas, 19/3/2018) menarik untuk diulas lebih lanjut. Dalam laporan itu disebutkan bahwa animo pemilih muda terhadap Pemilu 2019 terbilang tinggi namun preferensi mereka terhadap partai politik masih labil. Sebab, saat ditanya apakah pada Pemilu 2019 akan memilih partai yang sama dengan Pemilu 2014, maka sebanyak 35,2% responden memilih partai lain, 27,5% memilih partai yang sama, 23,1% mengatakan tidak tahu, dan 14,3% belum punya hak pilih. Pemilih muda yang dimaksud di sini adalah mereka yang punya hak memilih dalam pemilu dengan rentang usia 17-30 tahun. Mengutip pernyataan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi, jumlah pemilih muda pada Pemilu 2019 sekitar 70 hingga 80 juta dari total 193 juta pemilih, atau sekitar 35% hingga 40%. Dengan jumlah yang tidak sedikit itu, keberdaan pemilih muda tak boleh dipandang sebelah mata.
Selain dapat mengancam perolehan suara partai lawas, keberadaan pemilih muda juga sangat menentukan tingkat partisipasi pada Pemilu 2019 mendatang. Pasalnya, dalam banyak riset menunjukan, pemilih muda cenderung apatis. Apatisme di sini dapat dimaknai dalam dua hal. Pertama, sebagai ekspresi kemarahan anak muda dalam melihat masa depan politik Indonesia. Argumentasi ini didasarkan pada maraknya kasus korupsi yang menimpa elite partai. Sehingga para pemilih muda menghukum partai bersangkutan dengan cara tidak memilihnya dalam hajatan elektoral mendatang. Kedua, sebagai bentuk independensi anak muda. Argumentasi ini didasarkan bahwa soal partisipasi anak muda punya pandangan dan cara yang lain. Misalnya dengan membuat gerakan mempengaruhi kebijakan pemerintah, baik melalui sebuah petisi, gerakan di sosial media, uji materi di Mahkamah Konstitusi, dan lain sebagainya. Cara seperti itu mereka anggap sebagai bentuk partisipasi modern, sebuah partisipasi yang langsung menyentuh kepentingan rakyat. Sebab, mengutip Miriam Budiardjo (2009), partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Frasa mempengaruhi kebijakan pemerintah inilah yang kemudian dijadikan dasar bahwa apa yang mereka lakukan merupakan bagian dari partisipasi politik. Ancaman partisipasi Tentu kondisi tersebut kurang menguntungkan, bahkan cenderung menjadi ancaman. Apalagi harus diakui bahwa tren partisipasi pada tiga pemilu pasca reformasi mengalami penurunan. Jika pada tahun 1999 pemilu diikuti 92,7% pemilih, partisipasinya menurun menjadi 84% di tahun 2004. Penurunan berlanjut pada 2009 menjadi 70,9%. Memang partisipasi mengalami kenaikan pada Pemilu 2014 lalu, yakni mencapai 75,11%. Namun angka ini diprediksi bakal turun pada pemilu 2019 bila tidak ada strategi genuine dari segenap penyelenggara pemilu dan stakeholder terkait untuk antisipasi. Tentu menurunnya angka partisipai dapat menciderai kualitas demokrasi itu sendiri. Apalagi jika penyumbang terbesar penurunan partisipasi adalah pemilih muda. Bukan lantaran secara kuantitas jumlahnya banyak, namun sebuah partai politik butuh legitimasi para pemuda. Sebab, anak muda merupakan aset bangsa. Anak muda generasi kepemimpinan nasional. Anak muda menentukan arah demokrasi dan pembangunan bangsa. Apalagi Indonesia diprediksi akan mengalami puncak bonus demografi pada 2030 mendatang. Para pemilih muda yang pada pemilu 2019 berumur 17-30 tahun, maka pada tahun 2030 akan berumur 27-40 tahun. Sebuah usia paling menentukan, matang, dan strategis dalam posisi karier. Kondisi itulah yang menjadikan keberadaan pemilih muda hari ini sangat mempesona. Karena itu, paling tidak terdapat dua hal yang perlu dilakukan, baik oleh partai politik ataupun penyelenggara pemilu, dalam menyikapi kondisi di atas. Pertama, selain berusaha mencegah terjadinya praktik korupsi, partai juga harus adaptif dengan perubahan zaman. Ini penting lantaran audiensi politikpemilih mudahari ini adalah generasi internet atau digital. Jika ingin survive, partai politik harus mau merubah cara berpartai, baik sistem kaderisasi ataupun cara kampanye, yang sesuai dengan era digital. Fayakhun Andriyadi dalam buku Partisipasi Politik Virtual: Demokrasi Netizen di Indonesia (2017) membeberkan tiga hal yang harus dilakukan parpol di era digital, yakni memperkuat akuntabilitas, transparansi, dan integrasi operasionalisasi. Selain akan cenderung disukai oleh pemilih muda, tiga hal tersebut juga berfungsi untuk mencegah terjadi korupsi elite partai. Ingat bahwa pemilih muda merupakan kelompok yang memiliki singgungan politik agak berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Selain memiliki sedikit memori kolektif tentang Orde Lama dan Orde Baru, pemilih muda rata-rata adalah generasi pengguna internet, melek informasi, suka dengan transparansi, dan haus akan gelombang perubahan. Kedua, penyelenggara pemilu perlu aktif masif melakukan sosialisasi politik terkait pentingnya partisipasi. Menurut Almond (1990), sosialisasi politik merupakan proses penanaman nilai dan sikap politik yang dilakukan secara terus menerus, dari satu orang ke orang lain. Sosialisasi politik yang sukses dijalankan akan memicu seseorang untuk mengkritisi keadaan politik yang pada gilirannya dapat memberikan rangsangan untuk berpartisipasi politik secara aktif. Di era demokrasi digital, sosialisasi politik tidak hanya secara tatap muka lewat seminar ataupun pemasangan poster dan baliho, namun juga bisa melalui media sosial. Tidak seperti pada media umumnya yang bersifat satu arah dan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima pesan (Cangara, 2006), media sosial menyajikan komunikasi dua arah. Sehingga para penerima informasi bisa secara langsung melakukan klarifikasi ataupun menanyakan kembali terkait apa yang belum jelas.
Selain itu, salah satu karakteristik media sosial adalah tak lekang oleh waktu dan jarak, meluas, serempak, terbuka, memiliki kecepatan, dan punya daya ledak. Tak heran bila kemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat 2017 lalu disebut-sebut karena menggunakan media sosial sebagai sarana kampanye dan mempengaruhi perilaku pemilih. Tentu kesuksesan Donald Trump patut direplikasi. Artinya, melalui media sosial, para penyelenggara pemilu juga dituntut untuk mampu mempengaruhi mindset anak muda Indonesia untuk aktif berpartisipasi dalam hajatan demokrasi 2019 mendatang. Ali Rif'an Direktur Riset Monitor Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi