Menaruh harap di e-Commerce



JAKARTA. Emiten ritel bersiap memasuki momentum puncak penjualan tahun ini. Mendekati lebaran, penjualan ritel terutama pakaian akan terdongkrak.

Tapi, belum tentu semua peritel mampu memaksimalkan peluang dari sentimen tersebut. Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada bilang, emiten yang sudah memiliki sistem jual beli online yang kuat akan mampu memaksimalkan peluang tersebut.

Alasannya, efisiensi. Memang, saat ini inflasi stabil dan daya beli membaik. Meski begitu, sentimen daya beli masih bersifat musimam. "Hanya pada momen tertentu saja konsumsinya meningkat," kata Reza kepada KONTAN akhir pekan lalu (17/3).


Selebihnya, kinerja para peritel masih stagnan cenderung tertekan. Ini terlihat dari rata-rata kenaikan pendapatan peritel yang cuma sekitar 7% dan kenaikan laba bersih sekitar 4% per tahun.

Peritel juga menghadapi persaingan yang makin ketat. Jumlah peritel kini menjamur, baik skala besar maupun kecil. Bagi pebisnis ritel, hal ini berpotensi membuat margin semakin tipis.

Hal ini memaksa perusahaan ritel melakukan efisiensi guna menjaga kinerja bottom line. Salah satu bentuk efisiensi yang dilakukan adalah menutup toko yang keuntungannya kurang optimal.

Contoh, PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) menutup satu gerai dan mengubah beberapa gerai lain menjadi gerai yang lebih kecil sepanjang tahun lalu. "Alasannya, mereka ingin reduce cost. Makanya, enggak heran juga afiliasinya (LPPF) juga masuk ke jual beli online," jelas Reza.

MPPA mempunyai mataharimall.com. Sementara, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) memiliki gerai penjualan fisik, Matahari. mataharimall.com bisa mengambil barang dari LPPF, begitu pula sebaliknya. "Sehingga, turn over barang akan meningkat," imbuh Reza. Dus, efisiensi pun naik.

Turnover barang juga menjadi salah satu hal yang penting diperhatikan. Karena keluar masuknya barang itu akan menentukan lancar atau tidaknya cashflow emiten.

Nah, konsep online to offline (O2O) yang digunakan dalam e-commerce, seperti yang diusung peritel Lippo Group, jadi menguntungkan. Dengan konsep ini, konsumen bisa membeli barang secara daring dan mengambil barangnya di toko peritel Lippo.

Konsep ini menetralisir sentimen negatif dari masih rendahnya infrastruktur logistik di Indonesia. Hal ini juga mendorong arus keluar masuk barang di toko, sehingga stok tidak menumpuk.

Merk Nevada telah menggunakan konsep O2O sejak tahun lalu. "Dengan rencana memakai konsep ini di tiga merek tahun ini, cashflow LPPF lebih solid," jelas Arnold Sampeliling, analis NH Korindo dalam riset 13 Maret.

Persaingan ketat

Analis Danareksa Sekuritas Adeline Solaiman dalam risetnya 8 Maret lalu menjelaskan, industri ritel saat ini memang mengarah pada sistem jual beli online atawa e-commerce.

Peluangnya cukup besar. Berdasarkan survei yang dilakukannya pada Februari kemarin, dari total 1.724 responden, baru sekitar 9,3% yang sudah melakukan transaksi online. Jadi, lanjut Adeline, tren digital boom tahun ini masih akan terjadi.

Tak heran, para perusahaan ritel beramai-ramai menggenjot divisi e-commerce. Contoh, ACES sudah mempunyai layanan Ruparupa.com. PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) juga memiliki MAP E-Mall. Tak mau ketinggalan, PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) punya Ramayana.co.id.

Potensi cashflow dari layanan ini juga cukup besar. Apalagi untuk segmen pakaian dan elektronik. "Karena sekali transaksi, rata-rata sekitar Rp 500.000 untuk transaksi pakaian dan perangkat elektronik," kata Adeline.

Masalahnya adalah, mereka tidak sendirian. Emiten ritel harus bersaing dengan pemain e-commerce lain, bahkan para pesaingnya punya nama besar. Ada Telkomsel yang menggandeng e-Bay. Lalu Sinarmas Group menggandeng Alibaba.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie