JAKARTA. Lengang mewarnai Jalan MH Thamrin, Minggu (3/8) pagi. Meskipun tidak ada hari bebas kendaraan bermotor, sejumlah warga tetap asyik bersepeda bersisian dengan kendaraan bermotor yang lalu lalang. Tidak ada kemacetan, meskipun sebagian lajur jalan digunakan untuk pembangunan stasiun. Stasiun itu rencananya akan digunakan untuk kereta mass rapid transit (MRT). Pembangunannya dilakukan PT MRT Jakarta. Di seputar Bundaran Hotel Indonesia, sejumlah perbedaan mulai terlihat seperti ”hilangnya” halte transjakarta Bundaran HI. Selain itu, jembatan penyeberangan orang yang ada di sisi timur juga dibongkar dan diganti dengan jembatan baru yang belum selesai pembangunannya.
”Ya, tidak apalah sekarang macet, tetapi nantinya kita punya kereta api yang bagus. Kalau tidak sekarang, kapan lagi,” ujar Bobby, warga Cinere, yang kemarin menikmati lengangnya Jakarta bersama koleganya. Dia menyatakan terjebak kemacetan saat mengendarai mobil melintasi ruas Jalan Sudirman-MH Thamrin pada hari kerja. Meskipun kesal karena menghabiskan waktu lebih banyak dan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli bensin, tetapi dia memiliki harapan akan moda transportasi massal yang jauh lebih baik di kemudian hari. Pemandangan jalan yang lengang ini memang kontras dengan lalu lintas kendaraan bermotor sehari-hari di hari kerja. Macet panjang biasanya berjajar dari Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin. Setelah pengerjaan fisik skala besar MRT dilakukan, pertengahan Juli, kemacetan kian parah karena penyempitan lajur jalan. Di Jalan MH Thamrin menjelang Bundaran HI, misalnya, tersisa tiga lajur kendaraan dan satu lajur transjakarta. Lebar setiap lajur juga tidak sebesar sebelumnya meskipun lebar jalan sudah mengambil sebagian trotoar. Kondisi saat ini diperkirakan akan berlangsung 1,5-2 tahun mendatang, sesuai dengan lama waktu pengerjaan fisik yang dilakukan. Direktur Utama PT MRT Dono Boestami, dalam konferensi pers pertengahan Juli, mengatakan, lahan yang digunakan untuk pengerjaan fisik MRT ini disesuaikan dengan alat yang digunakan. Alat bor bawah tanah yang besar, misalnya, membuat lahan yang diperlukan untuk pengerjaan fisik luas, yakni sekitar 29 meter. Pengerjaan fisik saat ini mulai dilakukan di tengah jalan sesuai dengan lokasi stasiun MRT yang akan dibangun. Sebelumnya, pengerjaan fisik dilakukan untuk mempersiapkan lahan yang akan dipakai untuk pekerjaan utama. ”Kami menyiapkan lahan di sisi kanan-kiri agar lajur kendaraan bisa digeser dan kami mulai bekerja di bagian tengah jalan dengan meminimalkan pengurangan lajur jalan. Jadi, pekerjaan yang lalu merupakan persiapan untuk pekerjaan utama yang kami mulai saat ini,” kata Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta M Nasyir. KRL dan MRT Sistem perkeretaapian yang akan diterapkan di MRT sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek yang sehari-harinya melayani sekitar 650.000 penumpang. KRL Jabodetabek pun sebenarnya termasuk MRT, sebuah sistem perkeretaapian berdaya angkut besar dan waktu tempuh yang cepat. Namun, karena nama KRL Jabodetabek sudah lebih dulu beken, sistem perkeretaapian ini disebut KRL, bukan MRT. Apalagi, KRL Jabodetabek yang beroperasi saat ini merupakan satu-satunya kereta api di Indonesia yang digerakkan dengan tenaga listrik. Menurut rencana, MRT dirancang menggunakan kereta dengan tenaga listrik. Begitu pula kereta Bandara Soekarno-Hatta yang juga tengah dipersiapkan. Perbedaan yang jelas terlihat antara KRL dan MRT hanyalah lokasi rel yang dilalui. Untuk rute Lebak Bulus-Bundaran HI, ada 5,9 km jalur kereta terletak di bawah tanah dan 9,8 km rel layang. Adapun KRL Jabodetabek memiliki sebagian besar rel di atas tanah dan sebagian kecil rel layang. Keberadaan rel bawah tanah ataupun rel layang ditujukan untuk mengurangi pelintasan sebidang dengan jalan raya. Dengan tidak adanya pelintasan sebidang ini, jalur kereta akan lebih steril sekaligus meminimalkan gangguan perjalanan. Kecelakaan antara kendaraan dan kereta api juga bisa dihindari sehingga keselamatan perjalanan kereta bisa lebih terjamin dan gangguan perjalanan bisa dikurangi. Nasyir mengatakan, kereta yang akan digunakan dalam MRT memiliki karakter yang mirip dengan KRL Jabodetabek. Selain memakai tenaga listrik, pantograf kereta juga berada di atap. Pantograf merupakan alat untuk menyalurkan listrik dari kabel listrik aliran atas ke komponen di dalam kereta. Selain itu, lebar rel yang digunakan MRT dan KRL sama, yakni 1.067 mm. ”Kesamaan bentuk fisik kereta ini memungkinkan ada interkoneksi antara KRL dan MRT. Kalau nanti ada interkoneksi, tidak perlu mengubah (bentuk fisik) lagi. Karena, mengubah fisik bukan biaya murah,” kata Nasyir. Setelah proses konstruksi rampung pada 2016, PT MRT Jakarta akan mengoperasikan 16 rangkaian kereta listrik untuk rute Lebak Bulus-Bundaran HI. Setiap rangkaian terdiri atas enam kereta berdaya tampung ideal 200 orang. Jadi, sekali perjalanan, MRT bisa mengangkut 1.200 orang. Waktu tempuh Lebak Bulus-Bundaran HI diperkirakan 30 menit dengan jarak antarkereta dipatok 5 menit. Dengan jalur yang dikhususkan untuk kereta MRT serta didukung prasarana dan sarana yang andal, target waktu tempuh ini seharusnya bisa lebih mudah ditepati. Ketepatan waktu perjalanan dan kedatangan kereta masih menjadi persoalan besar di sistem KRL Jabodetabek saat ini karena jalur yang tidak khusus serta kondisi prasarana dan sarana yang terbatas. Nasyir menambahkan, konstruksi stasiun didesain berumur 100 tahun dan tahan gempa, mengacu pada catatan kegempaan yang pernah dialami Jakarta selama ini. Selain itu, stasiun dan jalur rel didesain aman terhadap banjir termasuk untuk bangunan di bawah tanah. Daya tampung penumpang di stasiun berkisar 25.000-30.000 orang. Sejumlah stasiun juga didesain terkoneksi dengan stasiun KRL, antara lain di Dukuh Atas. Namun, desain detail koneksi kedua stasiun ini belum selesai. Tuntutan tinggi Dalam kesempatan terpisah, pengamat perkeretaapian Taufik Hidayat mengatakan, tuntutan pengguna kereta komuter sangatlah tinggi. Sebab, moda transportasi ini digunakan untuk mengakomodasi perjalanan kerja atau sekolah yang amat membutuhkan ketepatan waktu. Karena itu, kondisi sarana dan prasarana kereta komuter harus prima untuk mencegah terjadi gangguan. ”Begitu ada satu gangguan, semua perjalanan kereta komuter akan ikut terganggu,” katanya. Untuk mencegah terjadi gangguan, biaya investasi untuk pengadaan serta perawatan sarana dan prasarana yang andal sangat dibutuhkan. Apalagi, kereta listrik yang digunakan memakai teknologi berbeda dengan kereta api penumpang jarak jauh. Selain lebih rumit karena menggunakan komponen elektronik, biaya pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana kereta listrik lebih tinggi.
Tidak mengherankan, harga satu kereta listrik baru mencapai Rp 9 miliar. Sementara kereta penumpang yang digunakan untuk jarak jauh hanya sekitar Rp 3 miliar. Biaya perawatan kereta listrik juga mencapai tiga kali lipat dibandingkan kereta api penumpang jarak jauh. Perbedaan kebutuhan pengadaan dan perawatan sarana akan berimbas ke melambungnya biaya operasional yang berujung pada harga tiket. ”Operator kereta komuter tidak bisa melihat seluruh persoalan hanya dari sisi komersial. Sementara ada daya beli masyarakat yang tidak seimbang dengan biaya operasional,” kata Taufik. Karena itu, pemerintah mesti turun tangan untuk membantu perkeretaapian, khususnya kereta komuter di kota besar seperti Jakarta. Keterlibatan pemerintah akan mencerminkan keberpihakan pemerintah dalam transportasi massal. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie