Tidak bisa disangkal pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia zaman
now semakin seragam. Dari wilayah Timur ke Barat tidak asing lagi dengan produk olahan beras dan gandum. Peningkatan konsumsi kedua komoditas ini seakan tak bisa dilepaskan yang membuat potensi pangan lokal kian kandas. Fenomena itu sudah terbukti dengan dibukanya kembali keran impor beras baru-baru ini. Sejumlah 500.000 ton beras impor akan digelontorkan ke pasar untuk menurunkan harga dan memantapkan ketahanan pangan menjelang pilkada 2018 dan pilpres 2019. Mengatasi kenaikan harga beras yang terjadi setiap tahun, pemerintah lebih mengedepankan opsi impor beras dibandingkan berusaha keras meningkatkan stok beras di dalam negeri dengan memberdayakan petani lokal. Alasan klasik seperti serangan wereng, musim kemarau dan banjir menjadi justifikasi. Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana menata konsumsi pangan zaman now?
Lambatnya perkembangan teknologi pengolahan pangan lokal berbasis umbi-umbian di Indonesia menyebabkan bangsa ini terjebak dalam konsumsi beras yang amat tinggi. Padahal produksi beras yang melandai tidak mampu mengimbangi laju konsumsi yang mendorong pemerintah membuka keran impor beras setiap tahun. Mengimpor beras seolah menjadi candu bagi bangsa ini. Bisnis impor telah mengantarkan pelakunya acap ketagihan karena keenakan menikmati keuntungan. Pangsa pasar beras impor amat jelas! Sekitar 95% penduduk tergantung pada beras mulai dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia. Indonesia akan terus dibayang-bayangi krisis beras jika pola konsumsi pangan masyarakat tetap digiring untuk menyantap nasi tiga kali sehari. Masyarakat terus terobsesi “belum makan” jika belum mengonsumsi nasi. Implikasinya, tingkat konsumsi beras meningkat secara signifikan, dari 110 kg/kapita/tahun pada 1967 menjadi 139 kg/kapita/tahun pada 2017. Bandingkan dengan orang Jepang, Thailand, Malaysia yang mengonsumsi beras hanya 60 kg, 80 kg dan 90 kg per kapita per tahun. Warisan pemerintah orde baru yang menempatkan beras sebagai makanan pokok dikloning hingga sekarang dalam bingkai beras “murah” untuk orang miskin (raskin). Mampu tidaknya seseorang mengonsumsi beras menjadi indikator utama kemiskinan. Namun orientasi negara soal beras menjadi salah arah. Pemerintah bukan meningkatkan daya beli orang miskin, tetapi ”memaksa” harga beras murah agar terjangkau masyarakat miskin. Rakyat telah terjebak dengan prinsip yang dibangun negara, yakni romantisme beras murah. Pemerintah memberantas kemiskinan dengan memurahkan harga beras. Dengan jumlah keluarga penerima raskin yang bertambah setiap tahun, pemerintah mau tidak mau akan tetap membuka keran impor dan mengeluarkan subsidi yang amat besar untuk menyukseskan program ini. Lantas, untuk apa upaya pemerintah yang meningkatkan produksi gabah kering (GKG) 2017 yang mencapai 82,3 juta ton jika kemudian kebijakan pangan pemerintah pro impor beras? Apa gunanya petani diminta bekerja keras menaikkan produksi beras dengan alokasi anggaran subsidi pupuk puluhan triliunan rupiah triliun kalau akhirnya pemerintah tidak membelinya untuk memperkuat cadangan pangan, tapi justru mengimpor? Apalagi, harga beras impor masih lebih murah ketimbang beras produksi petani kita. Alasan klasik ini selalu direproduksi sebagai legitimasi kebijakan impor beras. Program belum jalan Pertanyaan, masihkah efektif mempertahankan program raskin di zaman now jika produksi beras nasional tidak mencukupi untuk itu? Meski produksi gabah kering giling diprediksi sejumlah ahli ketahanan pangan menurun di tahun 2018 dibanding dengan 2017, pemerintah masih mempertahankan program raskin sebagai garis kebijakan pangan untuk mengenyangkan perut rakyat. Paradigma lama yang menganggap bahwa beras impor masih tersedia di pasar global untuk menyukseskan raskin, patut dikoreksi. Di tengah perubahan iklim dan serangan hama yang semakin masif, kini para negara penghasil beras kesulitan menggenjot produksinya. Meski sudah hampir sembilan tahun diberlakukan Peraturan Presiden Nomor 22/2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal untuk menurunkan konsumsi beras 1,5% per tahun, pemerintah belum mampu mengganti program raskin ke program pangan non beras berbasis sumber daya lokal. Sayangnya, penganekaragaman konsumsi pangan justru beralih ke produk olahan terigu, terutama mi dan roti. Perpres yang merupakan ketentuan untuk mengalihkan konsumsi beras ke pangan lokal belum memiliki energi untuk mendorong percepatan penurunan konsumsi beras karena terganjal program raskin. Untuk mampu mengurangi ketergantungan konsumsi pada beras, arah kebijakan pembangunan pangan membutuhkan iklim yang kondusif untuk mentransformasi pembangunan pertanian yang konvensional ke pengembangan tekno agroindustri pangan modern berdaya saing tinggi. Selama ini pelaku tekno agroindustri pangan masih lebih suka mengekspor bahan baku. Muaranya, perkembangan teknologi pengolahan hasil pertanian berjalan lambat dan kita belum berhasil menciptakan produk pangan olahan yang memberi nilai tambah kepada petani. Sekedar contoh, produk pangan non beras berbasis sumber daya lokal seperti sagu dan umbi-umbian belum optimal pemanfaatannya. Kita berharap pemerintahan Joko Widodo yang usianya tersisa 1,5 tahun lagi bisa lebih serius memperhatikan pembangunan tekno agroindustri pangan berbasis sumber daya lokal. Terlalu riskan jika untuk urusan pangan kita tetap menggantungkan diri kepada pihak asing padahal Indonesia memiliki sumber pangan lokal yang beragam. Berasisasi makanan pokok di Papua yang rakyatnya bukan pengonsumsi nasi, jelas suatu kebijakan pangan keliru dan beraroma kapitalistik yang mematikan potensi pangan lokal.
Di zaman now, sebagian warga sudah mulai menghindari konsumsi beras dan produk gandum karena alasan menjaga kesehatan. Maka pemerintah patut mengoreksi ulang kebijakan pangan dengan lebih berpihak pada percepatan penganekaragaman konsumsi pangan. Jebakan beras bisa dihindari dengan melakukan pendampingan masyarakat secara berkesinambungan supaya lebih mudah memanfaatkan sumber pangan non beras dengan menghadirkan komoditas ini ke rumah tangga dalam bentuk produk setengah jadi. Pengolahan umbi-umbian menjadi tepung harus digiatkan untuk memudahkan masyarakat mensubstitusi tepung terigu dengan pangan lokal non beras untuk bahan pembuatan roti. Ruang permintaan pangan non beras pun akan semakin luas sehingga merangsang produksi (on farm) dan meningkatkan daya ungkit ekonomi perdesaan. Hal ini akan mendorong percepatan perwujudan kedaulatan pangan dan menyejahterakan petani lokal. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi